Senin, 06 Januari 2014

Teroris vs Densus 88: Logika Tabrir?

Oleh : Dina Y. Sulaeman

Penggerebekan terhadap ‘terduga’ teroris di Ciputat pada malam Tahun Baru oleh Densus 88 yang mengakibatkan kematian enam orang, memunculkan tuduhan bahwa Densus 88 telah melanggar HAM. Bahkan Kontras telah merilis pernyataan bahwa “Berangkat dari temuan awal dan informasi media massa, KontraS menganggap kematian enam terduga teroris; Hidayat, Nurul Haq, Fauzi, Rizal, Hendi, dan Edo- tidak wajar dan mengandung unsur-unsur pelanggaran prosedur hukum serta hak asasi manusia, termasuk hak asasi warga yang terkena dampak.”

Bahwa Densus 88 sangat berkepentingan dengan ‘proyek’ terorisme dan menerima dana asing untuk proyek ini, memang menimbulkan kecurigaan besar. Apalagi, seperti diungkapkan KontraS dalam pernyataannya, terlihat memang banyak kejanggalan dalam operasi terorisme ini.

Sayangnya, fakta kejanggalan ini kemudian ‘digoreng’ pihak-pihak tertentu untuk mengaburkan fakta soal terorisme itu sendiri. Mereka menggunakan kesalahan Densus 88 sebagai argumen bahwa: (1) korban ‘terduga’ teroris adalah orang-orang tak bersalah,  (2) korban tidak ada kaitan sama sekali dengan terorisme, (3) dan bahkan ‘teroris’ itu sendiri sebenarnya tidak ada, hanya buat-buatan Densus 88 untuk mencari dana besar dari luar negeri.


Untuk kesekian kalinya di blog ini, saya mengajak kita semua untuk menjauhi logika ‘tabrir’ (menganggap kesalahan si A sebagai bukti dari ketidakbersalahan si B). Bukankah sangat mungkin, A dan B sama-sama salah?

Selain info soal kejanggalan operasi Densus, bukankah ada info lain yang mengindikasikan bahwa memang para ‘terduga’ teroris itu ada kaitannya dengan organisasi Islam transnasional? Coba perhatikan, sebuah group di facebook bernama “Khilafah Solusinya” memposting foto ini:

anak-anak pendukung teroris Ciputat (salah satu teroris itu ternyata punya paspor dan sedang bersiap ke Suriah)
“selamat jalan kafilah syuhada ciputat, kami akan meneruskan perjuanganmu”
Jadi, mereka yang tewas di Ciputat disebut syuhada dan ‘berjuang‘. Berjuang apa? Kalau mereka sekelompok orang innocent, orang biasa, apakah akan disebut ‘berjuang’ atau ‘syuhada’? Bukankah selama ini banyak juga warga biasa yang jadi korban salah tembak polisi, tapi mengapa tidak muncul spanduk semacam ini? Mengapa untuk warga-warga lain yang korban salah tembak, tidak ada pembelaan gigih yang dilakukan kelompok-kelompok Islam transnasional itu?
Selain itu, di televisi pun ditayangkan, dalam pemakaman korban penembakan Densus 88, sebagian yang hadir membawa bendera hitam khas Al Qaida. Dan bahkan, membawa spanduk juga, lagi-lagi menyebut para terduga teroris ini sebagai syuhada.

sumber foto: Tribunnews
sumber foto: Tribunnews

Baiklah, katakan saja itu bendera netral, siapa saja bisa pakai. Tapi, para pemerhati konflik Timteng akan sangat familiar dengan jenis-jenis bendera. Bahkan bendera menjadi penanda yang sangat jelas, dari mana sebuah kelompok berasal. Bendera hitam yang satu  itu sedemikian khas, sangat identik dengan Al Qaida dan afiliasinya.
Di Libya, yang disebut sebagai perjuangan NATO dan rakyat Libya untuk ‘menegakkan demokrasi’ melawan rezim ‘Qaddafi yang diktator’, tak lama setelah Qaddafi terguling, bendera Al Qaida berkibar di Benghazi.
sumber foto: dailymail
sumber foto: dailymail

Di Suriah, anak-anak direkrut jadi tentara ‘jihad’ untuk menumbangkan rezim ‘kafir’ Assad. Lihat benderanya.

sumber foto: Islamtimes.com
sumber foto: Islamtimes.com

Di Indonesia, anak-anak pun disuruh berfoto membawa pistol, dengan latar belakang bendera hitam dan tulisan dukungan terhadap mujahidin Suriah dan Irak.

anak-anak kecil yang sedang dididik jadi agen perang kebencian
“kepada pahlawan kami di negara Islam Irak dan Suriah’, kami anak-anakmu dan mendukung dari Indonesia; panjang umur Negara Islam”
Selain itu, bila diperhatikan apa saja pernyataan, artikel, dan pemberitaan yang dilakukan oleh organisasi-organisasi radikal atau organisasi Islam transnasional Indonesia, terlihat sekali dukungan mereka terhadap aksi-aksi Al Qaida di Suriah dan Irak. Puluhan ‘mujahidin’ asal Indonesia juga telah tewas di Suriah, sementara entah berapa ribu lagi yang masih ada di sana. Perekrutan para ‘mujahidin’ itu dilakukan sangat terang-terangan di internet. Tapi pemerintah tak melakukan apa-apa. Setelah terlambat, barulah Direktur BNPT mengeluarkan pernyataan, ‘Ada kekhawatiran kepulangan mereka akan membawa konflik di Indonesia. Ini mencontoh kasus para ‘alumni’ Afghanistan yang kemudian membentuk kelompok teror di Indonesia.’

Jadi, apa masih mau berlogika “tabrir”?

Artikel berikut ini, menurut saya memuat analisis yang berimbang, dan ditulis oleh pengamat yang kompeten. Betul, Densus 88 memang layak diinvestigasi atas pelanggaran HAM. Tapi kesalahan Densus tidak bisa dijadikan argumen bahwa paham Islam radikal yang menghalalkan darah ‘thoghut’, ‘kafir Kristen’, ‘kafir Syiah’, ‘kafir liberal’, dll, hanya omong kosong belaka.


Pemberantasan Terorisme
Oleh: Masdarsada, M.Si

(alumnus pasca sarjana Kajian Strategik Intelijen (KSI), Universitas Indonesia. Peneliti senior di Forum Dialog (Fordial))

Pada malam tahun baru 2014, terjadi operasi penggerebegan atas enam orang terduga teroris di rumah kontrakan di Gang H Hasan di Jalan KH Dewantoro, RT/ RW 04/07, Kelurahan Sawah, Ciputat, Tangerang Selatan yang dilakukan oleh Densus 88 Anti Teror Mabes Polri. Dikabarkan Kapolri Jenderal Pol Sutarman sempat mendatangi lokasi operasi, tetapi tidak ada sesuatu elaborasi atas berita ini.

Terakhir operasi dikabarkan berhasil membunuh lima orang yang diduga teroris dan satu orang ditangkap. Para terduga teroris yang digerebek ini terkait dengan penembakan polisi di Pondok Aren, Tangerang Selatan, dan bom di Vihara Ekayana. Para terduga juga diperkirakan punya kaitan dengan kelompok Abu Roban. Polisi menyebutkan para terduga memiliki enam rangkaian bom dan menyebutkan di rumah itu ada enam ruangan yang dapat dipakai untuk para terduga bersembunyi.

Fakta-fakta yang terjadi sebagai akibat penembakan pasukan Densus 88 terhadap sekelompok orang  yang diduga teroris, telah terjadi korban semula seorang yang berusaha melarikan diri terbunuh dan seorang tertangkap, selanjutnya ketika Densus 88 berhasil mendobrak sasaran terdapat korban yang bersembunyi dalam kamar mandi lima orang.  Jadi sesuai versi terakhir ini total ada enam orang terbunuh dan seorang tertangkap. Berita sebelumnya seluruhnya ada lima orang yang menjadi sasaran untuk titangkap, seorang terbunuh ketika akan melarikan diri dan satu tertangkap, sisanya tiga orang bersembunyi dalam sebuah rumah kontrakan. Menurut versi  pertama ini, tentunya didalam kamar mandi hanya terdapat tiga orang mayat bukan lima orang.

Diberitakan tembak menembak selama sepuluh jam, tetapi setelah gerombolan dilumpuhkan dan enam orang meninggal dan satu tertangkap tidak disebut senjata api apa yang digunakan dan dapat dirampas dari gerombolan yang digunakan utuk melawan selama sepuluh jam . Bahkan dikabarkan seorang anggota Densus 88 kakinya terluka kena tembakan. Pertempuran sepuluh jam juga dapat mengakibatkan daerah sekitar rumah kontrakansangat rawan. Disebutkan ada ledakan dan dugaan ada enam bom rakitan. Kalau benar telah terjadi ledakan bom seluruh bom pasti sudah meledak semua dan rumah tempat persembunyian hancur. Ciri bahan peledak akan ikut meledak apabila terjadi ledakan. Detonator adalah alat peledak untuk meledakan bahan peledak yang lebih besar. Polri sendiri masih ragu terhadap besarnya bom yang diduga dimiliki gerombolan yang bersembunyi dalam rumah tersebut.

Rasanya ada beberapa kejanggalan faakta-fakta yang perlu klarifikasi dalam peristiwa pnggerebegan ini  utamanya untuk memastikan siapa  lima atau enam korban jiwa yang terjadi dalam penggerebegan tersebut. Pertama, tembak menembak selama sepuluh jam tetapi tidak disebutkan senjata api satu pucukpun dalam rumah tersebut. Disebutkan gerombolan membawa senjata api, tetapi tidak jelas jenis dan macamnya (pistol, laras panjang, otomatis atau tidak dsb). Kedua, lima orang yang meninggal dalam satu kamar mandi nampaknya bersembunyi dari berondongan senjata api Densus 88, bukan dalam posisi bersembunyi untuk melawan. Ada laporan disebut yang diketemukan mati dalam kamar mandi tersebut tiga orang. Ketiga, enam bom yang disebut-sebut tidak ada konfirmasi beritanya. Kalau enam bom ini sudah meledak maka rumah itu sudah hancur, kalau ada ledakan tetapi tidak ada sesuatu yang hancur maka yang meledak bukan bom tetapi sekedar petasan. Ledakan yang tedengar ada kemungkinan suara ledakan yang dilakukan untuk menjebol dinding.

Untuk mengklarifikasi masalah yang terjadi kali ini,  BIN didalamnya BNPT harus mencari klarifikasi  atas beberapa kejanggalan tersebut. Komisioner Komnas HAM, Nurcholis kepada http://www.republika.co.id  mengatakan, Komnas HAM langsung mengirim tim khusus ke lokasi penggrebekan terduga teroris di Ciputat, Tangerang Selatan, untuk mengumpulkan informasi terkait penggrebekan yang sampai menewaskan enam terduga teroris. Menurutnya, Komnas HAM mendukung pemberantasan terorisme yang dilakukan Polisi, tetapi tidak ingin tindakannya diluar prosedur.

Pendapat senada dikemukakan Ketua Komnas HAM, Siti Noor Laila kepada http://www.tempo.co.id menilai tewasnya enam terduga teroris Ciputat sebagai hal yang wajar, karena para teroris melakukan perlawanan. Komnas HAM membentuk tim untuk memantau kerja tim Densus 88 agar tidak asal tembak, karena selama ini banyak yang diduga teroris, tidak membawa senjata, ditembak di tempat meski tidak ada perlawanan. Laila menyarankan agar Densus 88 melakukan pendekatan persuasif dan komunikatif, agar tidak ada salah tembak.

Menurut catatan penulis, sebenarnya Densus 88 tidak asal menembak mati teroris, karena mereka berkepentingan menangkap teroris hidup-hidup, karena berdasarkan data sejak tahun 2002, dari 900 teroris yang dibekuk, hanya 90 teroris yang ditembak mati.

Sementara itu, Polri berusaha mengulangi berbagai berita yang sudah tersiar dalam media massa dalam upaya meluruskannya pada 1 Januari 2014 siang dan sore hari. Penjelasan Polri yang dimaksudkan untuk meluruskan berita-berita yang menimbulkan berbagai pertanyaan sebelumnya. Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri Brigjen (Pol) Boy Rafli Amar mengatakan, semua jenazah terduga teroris ditemukan di ruangan paling depan rumah kontrakan yang mereka tempati. Hal itu dikatakan Boy saat melihat lokasi penggerebekan di kawasan Kelurahan Sawah, Ciputat, Tangerang Selatan, Rabu (1/1/2014).  “Ditemukan semuanya di ruangan paling depan setelah terjadi baku tembak dengan petugas,” kata Boy, kepada wartawan, Rabu.

Menurut Boy, semua terduga teroris itu ditembak petugas tim Detasemen Khusus Antiteror 88 Mabes Polri setelah menolak menyerahkan diri. Saat permohonan penyerahan diri itu ditolak, katanya, petugas tim Densus 88 menembaki rumah kontrakan dalam keadaan gelap. Pernyataan Boy itu meluruskan informasi sebelumnya yang menyatakan para terduga teroris ditemukan di kamar mandi. Disebutkan bahwa tembok kamar mandi, tempat jenazah terduga teroris itu ditemukan, hancur. Diduga, ada sebagian dari para teroris yang tewas akibat tertimpa reruntuhan tembok. Namun, ada pula yang tewas akibat terkena tembakan.

Berbicara mengenai kejanggalan, ternyata  mereka yang diduga teroris hanya bersenjata beberapa pistol dan revolver, sehingga daya tembaknya sangat rendah dibanding senjata milik Densus 88 yang bersenjata senapan laras panjang otomatik. Tembak menembak sangat tidak seimbang, para teroris sangat mudah dilumpuhkan dengan tembakan senapan laras panjang. Banyak kalangan mempertanyakan, mengapa Densus 88 tidak menembakan granat asap supaya terduga teroris yang bersembunyi atau tidak mau menyerah dapat keluar.

Ancaman Terorisme

Terlepas dari cara Densus 88 Anti Teror Mabes Polri ataupun BNPT dalam meminimalisir ancaman terorisme, namun faktanya ancaman terorisme masih cukup tinggi dapat terjadi di Indonesia sewaktu-waktu. Walaupun, harus diakui juga akibat operasi dan kegiatan penggalangan yang dilakukan jajaran intelijen khususnya BIN, maka kalangan teroris juga semakin sulit untuk melancarkan serangannya, karena sudah mendapat cegah dini dan antisipasi secara dini.

Menurut pengamat masalah terorisme, Noorhuda Ismail, sejumlah pelaku teror masih akan muncul, baik dari Mujahidin Indonesia Barat maupun Mujahidin Indonesia Timur. Noorhuda menilai, terduga teroris yang digrebek di Ciputat adalah teroris generasi baru, yang mekanisme perekrutannya diawali dengan debat di salah satu situs jejaring sosial, sehingga karena proses perekrutannya sangat instan, maka loyalitas mereka sangat kurang.

Sedangkan, Ali Fauzi yang juga adik kandung terpidana mati kasus terorisme Bom Bali I, Amrozi dan Ali Gufron alias Muchlas, tidak ada aksi teror selama perayaan Natal menandakan kekuatan teroris di Indonesia sudah melemah, yang disebabkan karena empat faktor yaitu melemahnya kelompok radikal dalam 5 tahun belakang, kelompok garis keras kekuatannya sudah jauh menurun, meskipun tetap melakukan kaderisasi, kelompok teroris kesulitan mendapatkan alat pemicu bom atau detonator, disebabkan karena pasokan detonator dari luar negeri semakin menipis, juga karena lokasinya dijaga ketat Polisi dan diawasi oleh BIN ataupun aparat intelijen lainnya, sehingga jalurnya mulai terhambat.

Menurut catatan BNPT, masih ada sekitar 100 orang yang berpotensi menjadi teroris, sedangkan menurut catatan penulis dari informasi berbagai kalangan, masih ada sekitar 200 orang menjadi teroris yang belum tertangkap, walaupun sepanjang 2012 ada sebanyak 100 orang teroris tertangkap, serta 87 teroris diringkus selama 2013.

Menurut penulis, para teroris telah bermetamorfosis menjadi seperti masyarakat kebanyakan, tidak lagi menonjolkan simbol-simbol khusus seperti yang sudah-sudah. Para teroris hadir kian susah dan nyaris tidak dikenali, tapi tiba-tiba merancang aksi yang besar. Ancaman terorisme tetap ancaman yang nyata. (sumber: The Global Review)

Sumber : http://dinasulaeman.wordpress.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon tinggalkan pesan dan komentar anda...