Senin, 20 Januari 2014

Parasitisme Takfiri Suriah: Ketika Pion Saling Terkam

Ketua ISIS di Baghdad
Ketua ISIS di Baghdad
Parasitisme adalah fenomena makhluk yang hidupnya bergantung dengan menghisap sumber hidup makhluk lain. Inilah yang persisnya menimpa pelbagai milisi salafi wahhabi takfiri yang “berjihad” di Suriah. Lebih tepatnya antara Al-Daulah Al-Islamiyyah fi Al-Iraq wa Al-Syam (DAIIS) pimpinan Abu Bakr Baghdadi (ABB) dan berbagai milisi salafi takfiri lain di bawah payung Jabhah Al-Nusra (JN) pimpinan Abu Muhammad Julani (AMJ) dan Al-Jabhah Al-Islamiyyah (JI) pimpinan Zahran Allousy. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa ideologi salafi wahabi takfiri ini dengan mudah membuhuh anak-anaknya sendiri sebelum mampu berkembang biak?

Ada banyak jawaban. Tapi gampangnya begini: Ideologi takfiri yang bersifat jumud dan anti adaptasi ini sejak dalam konsep sesungguhnya sudah mati, karena salah satu ciri hidup adalah berubah dan beradaptasi. Kejumudan, seperti kita ketahui, adalah sifat benda mati. Sifatnya mirip dengan sifat senjata apapun: tidak berkehendak, memilih, dan berikhtiar sendiri. Maka itu, ideologi ini hanya dapat berfungsi jika dan hanya jika ada elit pengendali di luar dirinya. Jika elit itu terancam, maka ideologi ini akan dilepaskan untuk membuat fitnah, kekacuan atau kehancuran massal demi menyelamatkannya atau setidaknya menepis energi perubahan yang datang menghunjam tuannya. Dari sinilah kita bisa memahami mengapa beberapa kekuatan yang kita kenal sebagai sekuler bahkan mungkin anti agama begitu dekat dengan ideologi macam ini.

Lebih jauh, meski tampak sebagai makhluk hidup, para penganut ideologi ini sebenarnya sudah kehilangan ciri utama kehidupan manusia: kemampuan untuk berpikir dan berubah. Parahnya, otak yang menjadi pengendali seluruh sistem saraf dalam dirinya juga digenggam oleh kekuatan dari luar dirinya. Tak ayal bila mereka sebenarnya telah berubah menjadi senjata pemusnah massal yang dikendalikan dari jarak jauh, siap melumat apa saja, meledakkan apa pun, semata-mata demi menyelamatkan pengendalinya nun jauh di tempat lain.

Tapi, apa bukti bahwa kelompok-kelompok semacam ini tak lebih dari senjata pemusnah yang dikendalikan elit lain atau produk operasi intelijen yang licik? Jawabannya banyak. Tapi indikator sederhananya yang tampak adalah berikut ini: nyaris semua pimpinan tertinggi kelompok takfiri wahabi itu adalah orang-orang yang tidak dikenal oleh lingkungannya. Tampang amir mereka seperti Baghdadi dan Julani malah sama sekali tidak pernah terlihat oleh khalayak. Ini seharusnya pertanda yang mencurigakan manusia yang berakal. Bagaimana mungkin gerakan keagamaan yang menuntut baiat dan ketaatan mutlak dipimpin oleh orang-orang yang tidak dikenal oleh umatnya, bahkan oleh lingkungan terdekatnya sendiri? Bukankah ada ijmak jumhur ulama Islam yang melarang baiat pada pemimpin yang tidak dikenal? Bukankah asal-usul imam atau amir, menurut jumhur ulama, tidak boleh berasal dari turunan anak haram misalnya? Lalu, mengapa mereka yang tidak dikenal itu dapat dengan mudah memimpin gerakan-gerakan ekstremis takfiri itu? Jawaban sederhananya begini: visi, misi, desain, strategi, struktur, logistik dan taktik gerakan-gerakan tersebut memang datang dari dalam ruang gelap sebuah operasi intelijen yang canggih.

Lebih anehnya lagi, hampir seluruh unsur pimpinan gerakan itu, di mana pun mereka timbul dan tumbuh, berasal dari luar lingkungan sekitar. Mereka ibarat benalu yang menghisap sumber hidup sekitarnya, memunculkan berbagai kontradiksi, gesekan dan ketegangan di lingkungan hidupnya. Karakteristiknya bertolak belakang dengan semua gerakan perlawanan lain. Gerakan perlawanan seperti Hizbullah, misalnya, merupakan gerakan yang tumbuh dalam mileu yang secara ideologis dan sosial-politik memang mendukungnya. Segenap unsur pimpinannya juga tumbuh dari bawah, dikenali dan dihormati sekelilingnya. Ideologi, strategi, taktik dan logistik Hizbullah pun mengalami mutualisme simbiosis dengan sekelilingnya, sehingga segenap tahap dan pencapaiannya merupakan refleksi dari situasi alam sekitarnya.

Sebaliknya, gerakan-gerakan wahabi salafi takfiri ini semuanya tumbuh secara abnormal dalam situasi pertentangan yang akut, sedemikian rupa sehingga wajar bila akhirnya berujung pada kanibalisme sebagai hasil puncak dari proses parasitisme yang menakjubkan itu. Jika keamanan yang menjadi dalih utama segala rupa ketersembunyian dan kerahasian mereka, maka tantangan serupa sebenarnya dihadapi oleh seluruh gerakan pembebasan dan perlawanan lain seperti Hizbullah yang sejak puluhan tahun dicap sebagai organisasi teroris internasional di berbagai belahan dunia. Akibat parasitisme akut itu maka tak heran bila di antara berbagai faksi yang menganut ideologi Wahabi Takfiri kerapkali terjadi saling klaim baiat, saling caplok imarah (wilayah kekuasaan), saling kafir, saling tuding pengkhianatan dan akhirnya saling bunuh untuk mempertahankan watak kejumudan dan parasitismenya sendiri.

Akar Dendam

Marilah kita telusuri latarbelakang pertikaian antara DAIIS pimpinan ABB dan JN pimpinan AMJ menurut pemilik akun twitter @wikibaghdady yang agaknya merupakan mantan anggota DAIIS yang membelot ke JN. Menurut @wikibaghdady, ABB adalah orang yang tidak dikenal. Namanya sekonyong-konyong muncul pasca tewasnya Abu Umar Baghdadi, pemimpin Al-Daulah Al-Islamiyyah fi AL-Iraq (Negara Islam Irak sebelum kemudian berubah menjadi DAIIS berarti Negara Islam Irak dan Suriah) yang tewas tahun 2010. Orang yang pertama memunculkan nama ABB adalah seorang mantan kolonel militer Irak era Saddam bernama Hajji Bakr. Fase baru DAIIS dimulai oleh duet ABB dan Hajji Bakr. Kolonel Bakr yang semula tak berjenggot dan menyebabkan banyak pihak terganggu, menurut @wikibaghdady, sontak mengubah penampilan dan gayanya. Dalam organisasi ini, anggota tak boleh menyelidiki pimpinan, "lantaran penyelidikan berarti keraguan, dan keraguan dapat memecah barisan, yang dapat berujung dengan hukuman mati.”

Medan Jihad di Suriah

Saat krisis Suriah meletup, sejumlah anggota DAIIS mulai menengok ke Suriah. Kolonel Bakr khawatir pasukannya bakal meninggalkan Irak menuju Suriah dan meruntuhkan DAIIS dari dalam. Maka itu, Kolonel Bakr menyarankan ABB melarang siapapun pergi ke Suriah dan yang menentang akan ditindak sebagai pembelot. Alasannya bahwa situasi belum jelas dan perlu waktu untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi di bumi Syam.

Pada saat yang sama, Kolonel Bakr mengusulkan ide pembentukan batalion yang terdiri dari prajurit non-Irak untuk pergi ke Suriah di bawah komando warga Suriah. Tujuannya agar tak ada perwira Irak yang dapat bergabung dengan fron Suriah tanpa persetujuan pimpinan DAIIS lebih dulu dan menjamin tidak adanya alasan bagi mereka yang ingin keluar dari barisan. Dalam usulan itu, batalion Suriah itu nantinya dapat merekrut militan asing non-Irak.

Dari sinilah lantas Jabhah An-Nusrah (JN) terbentuk di bawah komando Abu Muhammad Julani (AMJ). JN pun kemudian kesohor ke seantero dunia, menjadi bintang baru kelomok takfiri dunia dan menarik simpati “jihadis" dari kawasan Teluk, Afrika Utara, Yaman, Asia Tenggara (termasuk Indonesia) dan bahkan Eropa. (Catatan: salah seorang ustad dan dai pop di Indonesia berinisial BN pun mengikuti akun twitter JN @JbhatALnusra).

Kolonel Hajji Bakr dan ABB merasa khawatir dengan melesatnya popularitas JN dan AMJ, dan dalam jangka menengah hal ini dapat mereduksi kekuatan DAIIS di Irak yang tetap menjadi salah satu prioritas jihad yang tak mungkin diabaikan. Karena itu, keduanya bertekad untuk meminta JN dan AMJ menyatakan secara terbuka keharusan seluruh anggota baru JN berbaiat kepada ABB dan siap berjihad di bawah struktur DAIIS. Hajji Bakr usul ke ABB untuk menyuruh AMJ menyatakan dalam rekaman suara bahwa JN secara resmi di bawah kepemimpinan DAIIS dan ABB. AMJ berjanji untuk segera memikirkan saran itu. Berbulan-bulan kemudian AMJ tak juga memberikan pengumuman itu hingga ABB memberinya peringatan. AMJ kembali mengulang janjinya untuk memikirkan saran itu dan bermusyawarah dengan para “mujahidin” dan ulama di sekelilingnya. Akhirnya AMJ mengirim surat jawaban buat ABB yang menjelaskan bahwa pengumuman seperti itu bertentangan dengan kemaslahatan “revolusi”, bersandar pada pendapat dewan syura JN.

ABB dan Kolonel Bakr naik pitam, apalagi surat itu datang justru setelah Amerika Serikat memasukkan JN dalam daftar organisasi teroris dan menjadikan AMJ sebagai orang paling dicari di Suriah. Dalam pikiran kedua petinggi DAIIS itu, popularitas JN di tingkat nasional, regional dan internasional bakal menggusur DAIIS sebagai organisasi payung dan menjadikannya suatu saat sebagai pesaing utama DAIIS di kawasan--sesuatu yang tak bisa diterima ABB yang merasa mengeram AMJ sekian lama di Irak, mendidik, melatih dan membesarkannya di medan jihad Irak.

Secara politik, langkah AMJ sebenarnya cukup pragmatis. Tapi kemarahan dan kekhawatiran ABB dan Hajji Bakr jauh lebih besar dari jaminan-jaminan yang diberikan AMJ, sehingga memaksa para petinggi DAIIS mengambil inisiatif menggabungkan JN dengan DAIIS. Dalam sebuah pertemuan di Turki, ABB meminta AMJ untuk melakukan operasi militer atas pimpinan Tentara Bebas Suriah (Free Syrian Army atau yang biasa disingkat dengan FSA), dengan dalih "menghabisi potensi agen-agen AS yang sebelum membesar di Suriah." Dewan syura JN bertemu dan memutuskan secara bulat menolak perintah ABB tersebut. ABB dan Sang Kolonel menganggapnya sebagai pembangkangan yang tegas. ABB mengirim surat kecaman keras kepada AMJ dan memberinya dua opsi: kembali taat atau JN dibubarkan dan diganti dengan organ yang sama sekali baru. Mereka menanti jawaban AMJ yang tak pernah datang. Bahkan, saat mereka mengutus seseorang untuk menemui AMJ, utusan itupun tak ditemuinya.

ABB kian merasakan ancaman dari AMJ yang berubah sebagai aktor yang tidak dapat dikendalikan. ABB lantas mengirim sejumlah komandan DAIIS dari Irak untuk menemui sejumlah perwira JN, membujuk mereka dengan impian negara Islam yang merentang dari Irak sampai Suriah, di bawah satu kepemimpinan tunggal. Sebagian dari mereka akhirnya terbujuk, terutama mereka yang datang dari faksi muhajirin (yang datang dari negara-negara asing). Orang-orang itupun lalu dibuang ke terungku oleh pimpinan JN dengan dalih menyebarkan takfir dan penyesatan terhadap sesama Muslim.

Melihat situasi yang terjadi, ABB pun mengambil langkah berani mengumumkan penyatuan JN dengan DAIIS. Dewan pimpinan DAIIS menyetujui agar ABB pergi ke Suriah dan mengumumkan merger di sana, demi menciptakan momentum baru bagi DAIIS. Amir DAIIS itu pun bertemu dengan sejumlah petinggi JN untuk meyakinkan mereka bahwa pengumuman merger itu tak lain hanyalah untuk menyatukan barisan mujahidin sambil memanggil AMJ untuk datang dalam acara pengumuman tersebut. AMJ menolak hadir dengan alasan keamanan, sehingga ABB memintanya menerbitkan pernyataan atas namanya, dalam rangka menjaga persatuan barisan mujahid, mengumumkan pembubaran JN dan penggabungannya dengan entitas baru bernama DAIIS (Negara Islam Irak dan Suriah). AMJ menentang keras ide itu dan menganggapnya sebagai kesalahan besar, yang akan mengoyak popularitas JN di tengah rakyat Suriah dan dunia Islam.

Pada saat ini, Kolonel Bakr menyarankan agar ABB menyatakan pembubaran JN atas namanya sendiri, tanpa mengisolasi AMJ, dengan harapan dia bakal kembali dalam barisan. Para petinggi DAIIS dan sejumlah pimpinan JN menyepakati tanggal pengumunan, supaya mereka bersiap menyatakan baiat pada ABB dalam kehadirannya di Suriah. ABB memanfaatkan kenyataan bahwa AMJ senantiasa bersembunyi dari para komandan dan syaikh utama yang bergabung dengan NJ.

Pasca pengumunan penggabungan itu, JN pecah dalam tiga kelompok. Pertama ikut dengan ABB, kedua memilih AMJ, yang ketiga bersikap netral. Dari sinilah awal saling lempar tuduhan memecah barisan jihad di kalangan umat Islam. Dalam keadaan kacau ini muncul mantan perwira militer Saudi bernama Bandar al-Syaalan yang menjadi penghubung antara ABB dan beberapa petinggi JN yang lantas bergabung dengan DAIIS. Kolonel Bakr dan ABB percaya bahwa AMJ tidak akan tinggal diam dan mempersiapkan pernyataan sikap terbuka atas situasi yang terjadi.

Sang Kolonel mulai main kayu dan menyarankan ABB membentuk satuan keamanan dengan dua tugas utama. Pertama, mengambil alih seluruh gudang senjata JN dan menembak mati siapa saja yang menolak penyerahan senjata. Cara ini akan melucuti loyalis AMJ dari amunisi dan persenjataan, sehingga akhirnya terpaksa meninggalkan JN untuk bergabung dengan DAIIS. Tugas kedua ialah untk menghabisi AMJ dan lingkaran dekatnya melalui sejumlah bom yang dipasang dalam mobil mereka. Keadaan ini memaksa AMJ meminta bantuan Pemimpin al-Qaeda, Ayman al-Zawahiri, untuk memecahkan persoalan dan menjaga jaringannya dari kehancuran. Zawahiri mengundang sejumlah tokoh dari Yaman dan Saudi untuk menengahi perselisihan kedua pihak tersebut, tapi ABB selalu menghindar bertemu dengan mereka. Situasi makin memburuk saat ancaman konstan terus diarahkan kepada AMJ, yang menyatakan terang-terangan menolak pembubaran JN dan meletakkan keputusan di tangan Zawahiri.

Pernyataan Zawahiri yang meminta masing-masing tetap bertahan di posisinya menambah perseteruan antara ABB dan AMJ. Amir DAIIS menolak solusi Zawahiri, yang diperkuat oleh dukungan mutlak Sang Kolonel dan ulama Saudi bernama Abu Bakr al-Qahtani. Untuk memperkuat posisi DAIIS, Qahtani meminta Bandar bin Syaalan sebagai perwakilan di Arab Saudi dan penghubung dengan kelompok inti salafi di Teluk untuk mendukung ABB. Syaalan mulai menghimpun para pendukung ABB. Berita gembira yang pertama ialah keberhasilannya meyakinkan Nasser al-Thaqil, seorang mufti Saudi, yang menyatakan bahwa dia telah menemui ABB beberapa kali saat membantunya di Irak. Syaalani meluaskan aktivitasnya di Bahrain, bertemu dengan Turki Binali, yang berminat mendukung gagasan ABB dalam DAIIS. Utusan Saudi itu terus mengukuhkan usahanya dan membentuk dewan Syariah yang khusus mendukung DAIIS. Syaalan juga aktif menarik donor dan mengkoordinasikan mobilisasi pasukan dari seluruh dunia, selain bertanggungjawab urusan media dan pendukung teguh DAIIS. [IT/MK/K-014]

Bersambung
 
Source : http://www.islamtimes.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon tinggalkan pesan dan komentar anda...