Senin, 27 Januari 2014

Kaitan Antara Perang Suriah Dan Terorisme di Indonesia

Artikel komprehensif ini diterjemahkan dari liputan wartawan Associated Press. Penting dibaca untuk mengetahui data empirik kaitan antara Perang Suriah dan maraknya terorisme di Indonesia.
 
Aksi Dukung "Jihad Versus Bashar" di Solo
Aksi Dukung “Jihad Versus Bashar” di Solo

Anak muda itu, Muhammad Fakhri Ihsani, dibesarkan di keluarga berpaham radikal dan dia pun lulusan dari sebuah pesantren yang dikenal mengajarkan paham garis keras dan mendidik generasi muda untuk menjadi teroris. Jadi tak heran bila kemudian ketika ia meneruskan studi di Pakistan, iming-iming jihad semakin menyergapnya.

Tapi, pemuda berusia 21 tahun itu tidak menyusup ke Afghanistan atau daerah-perbatasan-tanpa-hukum, sebagaimana yang dilakukan orang-orang asing lain dalam beberapa tahun terakhir. Pihak berwenang Indonesia meyakini bahwa setelah terbang ke Turki, Ihsani dan tiga mahasiswa Indonesia lainnya melakukan perjalanan darat ke Suriah untuk bertempur di sana bersama rekan-rekan senegara dan jihadis dari seluruh dunia.

Perjalanan mereka pada bulan Agustus itu menunjukkan bagaimana bersemangatnya sebagian orang Indonesia untuk bergabung dengan medan baru yang dipilih para jihadis internasional, yaitu Suriah. Hal ini juga menunjukkan peningkatan ancaman bagi otoritas Asia Tenggara, yang selama beberapa tahun terakhir telah berupaya keras menundukkan kaum militan, sebagian besar dengan cara mencegah mereka menjalin kontak dengan jaringan mereka di luar negeri.

Sementara agen-agen keamanan di Eropa dan di kawasan lain mengkhawatirkan kembalinya para militan dari Suriah, Indonesia tahu betul bagaimana medan perang di negara asing, kesempatan pelatihan, dan kontak dengan al-Qaida akan membawa hasil yang mematikan. Orang-orang Indonesia alumni jihad Afghanistan telah memimpin serangan teror di tahun 2000-an terhadap target lokal dan Barat, termasuk pengeboman klub malam di pulau Bali yang menewaskan 202 orang.


Konflik Suriah juga menambah bahan bakar kampanye kebencian yang semakin memanas terhadap warga Syiah di Indonesia, negeri yang dihuni mayoritas Sunni. Padahal, sampai beberapa tahun yang lalu, perpecahan sektarian, apalagi konflik, hampir tidak pernah terdengar. Para alumni Suriah dipastikan akan memperburuk situasi ini.

“Kami harus belajar dari pengalaman pahit kami di masa lalu,” kata Ansyaad Mbai, Direktur badan antiteror Indonesia (BNPT). “Setiap orang Indonesia yang pergi ke Suriah perlu diwaspadai. Kami harus mengantisipasi fakta bahwa ketika mereka kembali, mereka pastilah memiliki kemampuan dan keterampilan baru dalam berperang.”

Mbai dan dua pejabat antiteror Indonesia lainnya memperkirakan ada sekitar 50 militan Indonesia yang bertempur melawan rezim Bashar Assad; mereka bergabung dengan 11.000 orang asing lainnya yang menjadi pasukan oposisi di Suriah. Jumlah ini pun diperkirakan akan meningkat. Banyak dari mereka yang sudah hidup atau belajar di Timur Tengah ketika pergi ke Suriah. Perkiraan ini didasarkan pada informasi dari pihak berwenang Suriah dan investigasi BNPT di Indonesia dan Turki.

personel jabhah al nusra di suriah
personel jabhah al nusra di suriah

Kelompok-kelompok kemanusiaan Indonesia yang dikelola oleh kelompok garis keras, atau mereka yang dikenal memiliki jaringan dengan kelompok ekstrim, telah menggalang dana di seluruh Indonesia, namun tidak transparan dalam penyalurannya. Beberapa dari mereka mendatangi wilayah Suriah yang berada di bawah kendali kelompok militan untuk memberikan bantuan medis kepada pasukan oposisi dan membagi-bagikan uang tunai kepada warga sipil dan penguasa lokal. Satu organisasi telah melakukan perjalanan setidaknya delapan kali ke garis depan di wilayah Latakia, basis kekuatan Jabhah Al Nusra yang terkait dengan al-Qaida, menurut informasi yang mereka (BNPT) dapatkan.

Indonesia memiliki penduduk muslim yang lebih banyak dibanding daripada bangsa-bangsa lain di dunia, tetapi ‘merek’ dan praktek ke-Islam-an mereka sangat berbeda dengan versi Islam radikal Timur Tengah dan Asia Selatan. Keberadaan Islam militan di Indonesia memiliki sejarah panjang, kembali ke era kemerdekaan tahun 1945, tetapi mereka harus berupaya keras untuk mendapatkan pengikut yang signifikan meskipun konsep jihad telah diwariskan dari generasi ke generasi.

Pondok Pesantren Ngruki di Jawa serta jaringan guru dan mantan santrinya telah menjadi pusat aktivitas militan di Indonesia sejak awal 1990-an. Bila diperhatikan lebih dekat siapa saja yang bergabung (atau mendorong untuk itu) dalam perang Suriah menunjukkan bahwa pesantren itu masih menjadi titik pusat ekstremisme di Indonesia dan tampaknya berniat membuat Suriah sebagai medan baru bagi mereka yang ingin ambil bagian dalam jihad .

Ihsani dan tiga warga Indonesia lainnya yang meninggalkan Pakistan bersamanya, merupakan keluaran Ngruki . Orang Indonesia pertama yang diketahui tewas dalam konflik Suriah, Riza Fardi, juga lulusan pesantren tersebut. Kematiannya dilaporkan oleh website jihad berbahasa Arab pada akhir November, yang juga menayangkan fotonya saat berada di wilayah Suriah, terlihat sedang tersenyum dengan pasukan lainnya.

Bambang Sukirno, lulusan Ngruki lainnya, dan merupakan rekan Abu Bakar Baasyir, ambil bagian dalam misi kemanusiaan ke Latakia tahun lalu, menurut wawancara video yang dia berikan kepada media Islam sekembalinya dari sana. Sukirno sebelumnya menerbitkan otobiografi pelaku Bom Bali, Imam Samudera, yang dengan ‘kasih sayang’ menulis pengalaman jihadnya di Afghanistan.

“Kami mengetahui bahwa beberapa alumni kami terlibat dalam perang di Suriah, tapi sekali lagi saya tegaskan bahwa kami tidak bisa memantau atau mengikuti aktivitas siswa kami setelah mereka lulus,” kata Wahyudin, kepala pesantren Ngruki. Ustad dengan nama tunggal ini menggunakan sikap defensif yang sama saat dihadapkan pada fakta bahwa mantan siswa dan guru pesantren ini dihukum karena melakukan dan merencanakan serangan teroris di Indonesia pada tahun 2000-an .

Ayah Ihsani, Sholeh Ibrahim, pernah menjadi guru di pesantren itu selama bertahun-tahun, dan mengepalai organisasi radikal Jamaah Ansharut Tauhid di Solo, di mana pesantren itu berada. JAT yang berkampanye untuk penegakan hukum Islam di Indonesia itu adalah organisasi anti-Kristen dan mendukung visi al-Qaida. Sedikitnya 30 anggota JAT telah dihukum karena aksi terorisme selama empat tahun terakhir, dan pada tahun 2012 Departemen Luar Negeri AS telah memasukkan nama organisasi ini ke dalam daftar teroris asing.

Pimpinan JAT, Abu Bakar Baasyir saat ini sedang menjalani masa 15 tahun hukuman penjara atas dakwaan mendukung pembentukan kamp pelatihan militan. Dari balik jeruji besi, Baasyir mengeluarkan seruan untuk jihad ke Suriah.

Ibrahim mengatakan, ia terakhir kali berbicara dengan putranya pada 21 Agustus. Putranya itu tidak menyebutkan rencana perjalanan, hanya bertanya tentang keluarganya di Indonesia dan berbicara tentang aktivitasnya di perguruan tinggi di Islamabad, Pakistan; negara yang menjadi tujuan favorit orang Indonesia yang ingin melanjutkan studi Islam berbiaya murah. Ibrahim mengatakan, sejak saat itu, baik dia maupun teman-teman anaknya, tak pernah lagi mendengar kabar darinya.

Meskipun pendukung jihad, Ibrahim tetap menyatakan khawatir atas nasib anaknya.

“Jujur, sebagai ayah, saya khawatir,” kata Ibrahim. “Tapi saya percaya kepada Allah dan kehendak-Nya , dan saya yakin dia (Ihsani) akan memilih jalan yang diberkati.”

Tindakan keras yang dilakukan pihak berwenang Indonesia sejak tahun 2002 telah mengurangi ancaman terorisme besar-besaran terhadap sasaran Barat atau sipil di Indonesia dan di tempat lain di wilayah ini.

Suriah memberikan sarana pelatihan yang langka dan kesempatan bertempur bagi generasi baru militan Indonesia.

Sebagian besar dari para petempur asing di Suriah berasal dari Timur Tengah. Perkiraan jumlah pejuang Eropa Barat berkisar dari 396 sampai 1937 orang, menurut penelitian Pusat Internasional untuk Studi Radikalisasi (PISR).

Tidak jelas di mana atau dengan siapa orang Indonesia bertempur di Suriah. Menurut PISR, sebagian besar orang asing bergabung Jabhah al-Nusra atau ISIS (Negara Islam Irak dan Syam), dua brigade oposisi yang paling dekat dengan al-Qaida .

“Siapa saja yang kembali dari Suriah akan memiliki kredibilitas dan legitimasi dalam gerakan jihad,” kata Sidney Jones, direktur Institut Analisis Kebijakan Konflik. “Ada kemungkinan mereka yang kembali akan melatih kelompok-kelompok ekstremis yang lemah, lalu memperkuatnya.”

Sementara kaum ekstrimis di Indonesia terus mengangkat isu Suriah, terlihat jelas bahwa sebagian besar Muslim arus utama Indonesia tidak mendukung kegiatan mereka karena inti dari konflik ini adalah sikap tidak kompromistis dan sektarian; sikap yang tidak popular di Indonesia.

Hanya sekitar 20 orang hadir pada pertemuan baru-baru ini di sebuah masjid di Jakarta barat, yang diselenggarakan oleh kelompok garis keras yang baru kembali dari misi kemanusiaan Suriah. Pertanyaan seorang reporter, mengapa Indonesia harus terlibat dalam perang sipil di negara muslim ketika isu lainnya, misalnya Palestina, masih belum terselesaikan, disambut oleh segelintir tepuk tangan dari hadirin.

Joserizal Jurnalis, seorang dokter yang telah memimpin misi kemanusiaan untuk membantu umat Islam di Afghanistan, Lebanon, dan kawasan lain, telah membuat marah banyak pihak jihadis Indonesia karena menolak pergi ke Syria atau mendukung kelompok jihadis. Joserizal mengatakan mereka yang menyerukan jihad ke Suriah adalah “mereka yang dekat dengan al- Qaida”.

“Ini adalah perang sektarian. Tidak jelas bagi saya, mengapa kita harus membantu dalam pembantaian sesama umat Islam, ” katanya. 

——-
 
Source : 
-diterjemahkan oleh Berita Harian Suriah, http://liputanislam.com/
-sumber asli: Associated Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon tinggalkan pesan dan komentar anda...