Senin, 20 Januari 2014

Parasitisme Takfiri: Belati di Leher al-Qaeda

Takfiri saling bunuh
Takfiri saling bunuh

Dunia Takfiri Penuh Intrik Versi @wikibaghdadi
 
Mari kita lanjutkan sebentar saja kisah perseteruan Al-Daulah Al-Islamiyyah fi Al-Iraq wa Al-Syam (DAIIS) dan Jabhah Al-Nusrah (JN) seperti yang dituturkan oleh pemilik akun @wikibaghdady. Menurut @wikibaghdady, perseteruan antara kedua faksi utama yang membawahi puluhan faksi takfiri lain tersebut sebenarnya telah berlangsung cukup lama. Dimulai dengan adu dalil, adu legitimasi, adu ancam, adu saraf dan berakhir dengan adu gorok leher. Latarbelakang perseteruan berdarah antara banteng ketaton DAIIS dan kebo giras JN secara sederhana menguak karakteristik ideologis faksi-faksi wahabi salafi takfiri itu, yakni ideologi kekacauan yang tidak mungkin dapat hidup tanpa menghisap nutrisi dari segala yang di sekitarnya.

Setelah semua upaya mediasi gagal, takdir pertumpahan darah antara saudara kandung DAIIS (ISIS) dan JN pun terjadi. Keretakan serius bermula manakala dua komandan laskar Chechnya bernama Omar al-Syisyani dan Salahuddin al-Syisyani bertemu dengan dua militan Saudi bernama Abu Azzam al-Najdi dan Abdul-Wahhab al-Saqoub. Tergiur iming-iming rekan-rekan takfiri Saudi tersebut, dua komandan laskar Chechnya itu akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Abu Bakr Baghdadi (ABB) yang menjadi amir DAIIS berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh sejumlah ulama.

Tapi Omar al-Syisyani tidak mendapat persetujuan sejumlah perwira senior dalam laskar Chechnya. Omar lalu menyatakan tak bisa melanjutkan kesepakatan sebelumnya kepada sejawatnya, Salahuddin. Katanya, jiwanya bakal melayang bila dia benar-benar melepas baiat dari ABB. Pada saat yang sama, Omar menyatakan kepada Kolonel Haiji Bakr bahwa bila dia dipaksa membaiat ABB, maka setengah dari laskarnya yang terdiri atas 1.650 pasukan yang berbendera Jaisy Al-Muhajirin akan membelot. Haji Bakr tak peduli dengan ancaman itu dan memaksa Omar berbaiat. Lalu dia menyatakan kepada Salahuddin jika dia dan para pendukungnya berpaling dari DAIIS, maka mereka semua akan dinyatakan sebagai “khawarij” yang akan dikenai hukuman mati.

Di tengah tekanan, Omar menyatakan baiat kepad ABB, diiringi oleh lepasnya Salahuddin dari barisan DAIIS bersama 800 kombatan. Terkejut dengan besarnya jumlah laskar yang membelot, Hajji Bakr cepat-cepat kolonel memberi peringatan kepada Salahuddin agar bungkam soal pembelotan tersebut atau terancam fatwa mati. Omar menurut tapi dia tetap ingin menyebut laskarnya sebagai Jaisy Al-Muhajirin. (Catatan: Televisi Al-Manar dan sejumlah media Timur Tengah pernah mempublikasikan ratusan nama orang asing yang bergabung dengan Jaisy Al-Muhajirin, termasuk puluhan warga Indonesia). Untuk mengurangi bobot pembelotan itu, Hajji Bakr meminta sejumlah rekannya seperti Abu Bakr al-Qahtani, Utsman Nazeh, dan seorang warga Irak bernama Abu Ali al-Anbari untuk membesar-besarkan aksi baiat Omar al-Syisyan kepada DAIIS. Pada saat yang bersamaan, sang kolonel meminta mereka mengancam para komandan yang membelot dan sejumlah ulama yang berfatwa mengabsahkan pembelotan itu agar berdiam diri. Jika tidak, mereka semua akan dikenai hukuman mati.

Tapi, propaganda faksi ABB tampaknya gagal meredam dampak hengkangnya 800 prajurit sekaligus. Terlebih ketika beberapa saat setelahnya gelombang pembelotan kepada Salahudiin terus meningkat. ABB, Hajji Bakr, dan Abu Ali al-Anbari mencoba menahan gelombang itu dengan membeslah seluruh paspor asing dan menanam mata-mata untuk memantau gelagat pembelotan. Selain upaya-upaya taktis tadi, pimpinan DAIIS juga mengintensifkan propaganda mimbar dan masjid dalam rangka menjelaskan dosa pengkhianatan dan bahwa mereka kelak akan terbakar abadi di neraka.

Dari Negara Islam menuju Khilafah

Senyampang keretakan berangsur meluas, berbagai laporan sampai ke telinga para petinggi DAIIS tentang rencana pembentukan blok militer dengan nama Al-Jabhah Al-Islamiyyah (JI). Untuk mengantisipasi blok tandingan itu, pimpinan DAIIS berusaha untuk menanamkan mata-mata di berbagai brigade yang paling ditakuti di Suriah. Hajji Bakr paling berhasrat menyusupi dan menggembosi Harakah Ahrar Al-Syam (HAS), lantaran dia mengendus bahwa HAS adalah tantangan terbesar bagi proyek ekspansionis DAIIS. Untuk itu, Bakr memasang beberapa spion dalam HAS. Upaya Bakr berbuah manis saat komandan batalion HAS membelot ke DAIIS. Pada gilirannya, komandan itu memasok informasi tentang titik-titik kekuatan dan kelemahan HAS serta keseriusan rencana penggabungan HAS dengan sejumlah faksi militer di bawah nama JI.

Untuk menangkis ancaman serius itu, Bakr mengajukan dua usulan pada pimpinan DAIIS. Pertama, kampanye media untuk mendiskreditkan pembentukan blok itu dan melabelinya sebagai kelompok yang bekerja sama dengan rezim Assad seperti gerakan Al-Shahawat di Irak. Dan kedua, melakukan propaganda tentang rencana DAIIS menuju pembentukan khilafah. Ide terakhir ini kemudian digaungkan oleh tokoh senior bernama Firas Al-Absi yang menjabat sebagai gubernur negara Islam di Suriah. Tak lama berselang, Firas terbunuh setelah mengibarkan bendera al-Qaeda di area perbatasan Turki-Suriah yang dikuasai oleh Brigade Al-Farouq dan HAS. Adiknya, Amr al-Absi, menyimpan dendam kesumat terhadap brigade-brigade Tentara Bebas Suriah (Free Syrian Army) yang diyakininya bertanggungjawab atas kematian kakaknya. Amr lalu mengambil alih tugas Firas dalam Dewan Syura DAIIS dan terlibat lebih dalam mengumpulkan pasukan.

Hasilnya, dari 180 sebelum kematian kakaknya kini dia membawahi 540 jihadis. Amr juga kian gencar menggelorakan cita-cita kekhalifahan Islam di bawah kepemimpinan ABB dengan, antara lain, mengirim utusan ke Saudi untuk bertemu sejumlah ulama senior seperti Sulayman al-Alwan, Abdul Aziz al-Tarifi, Abdul-Rahman al-Barrak, dan Abdullah al-Ghunayman.

Puncaknya, tatkala JI benar-benar dideklarasikan sebagai blok jihad Suriah yang mewadahi HAS, Jaisy Al-Islam, Shuqur al-Syam, dan Liwaa al-Tawhid, Amr al-Absi merasakan sebuah ancaman nyata. Kontan dia mengusulkan kepada ABB sebagai Amir DAIIS untuk meningkatkan status DAIIS sebagai negara (daulah) menjadi khilafah. Dia pun langsung mengusung agenda besar pengangkatan ABB sebagai khalifah umat di Afghanistan, Chechnya, Yaman, Libya, Tunisia, Maroko, Aljazair, dan Sinai (Mesir). Tapi sebelum menerima mentah-mentah usulan bandang tersebut, ABB meminta pendapat pimpinan al-Qaeda di Yaman, Nasser al-Wahishi, yang segera menolaknya dengan tegas. Dia juga meminta pendapat pimpinan al-Qaedah di Afghanistan, yang juga menyepaknya. Demikian pula reaksi pimpinan al-Qaedah di Maroko. Meski demikian, ABB menerima sejumlah rekaman video baiat dari para jihadi di Sinai, Tunisia, dan Libya yang terus meluncur kian ke dalam ke jurang perang saudara. Dan memang begitulah adanya, gagasan besar itu terkubur bersamaan dengan para sponsor mereka.

Berkat kerja keras mendukung DAIIS dan kesetiaannya pada ABB, Amr Al-Absi berhasi merenggut jabatan penting dalam peta persaingan internal takfiri: gubernur DAIIS di Aleppo yang langsung diangkat oleh Sang Amir. Pengangkatannya itulah yang kemudian membuatnya langsung berhadapan dengan Liwaa al-Tawhid, sebuah kekuatan bandang yang terdiri atas 20,000 pasukan, sekitar lima kali lebih besar dari DAIIS. Absi merasa bahwa Liwaa al-Tawhid adalah rintangan terbesar bagi cita-cita kekhalifahannya, terutama karena komandannya, Abdul Qadir Saleh, terbilang sangat populer. Tak bisa tidak Absi bertekad menghabisi Saleh sesudah divonis sebagai komprador dan murtad. Absi juga menyatakan niatnya kepada ABB secara umum tanpa menguraikan rinciannya. Tak berapa lama, dia mengumumkan bahwa Saleh telah terbunuh. Seolah belum puas, dia mengajukan daftar sejumlah tokoh dari JI dan Tentara Bebas Suriah yang harus dibunuh, dengan alasan untuk mempreteli potensi kemunculan gerakan Al-Shahawat model Irak yang bekerjasama dengan rezim.

Berbagai peristiwa tadi akhirnya mencapai klimaknya pada nasib yang tak dapat ditolak bagi kalangan penganut ideologi takfiri: perayaan saling mengkafirkan, membunuh, dan membantai secara berjamaah. Kematian misterius Kolonel Hajji Bakr seolah menjadi tabuhan terakhir genderang perang saudara sekandung itu. ABB bersikukuh menyangkal kematian kolonelnya, hingga terdedah sebagai fakta yang tak mungkin lagi disembunyikan. Menghadapi kepanikan itu, ABB memerintahkan Absi untuk membunuh seluruh tawanan DAIIS sebelum menarik seluruh kombatannya dari pusat kota menuju pinggiran Aleppo. Rangkaian peristiwa selanjutnya membuat ABB berpikir serius untuk kembali ke Irak, mengingat nasibnya sebagai amir sudah kian tidak menentu.

Untuk menggantikan posisi Hajji Bakr, pimpinan DAIIS memungut beberapa komandan baru di samping Al-Anbari yang cukup lama berperan sebagai orang dalam ABB. Mereka adalah Abu Ayman al-Iraqi, anggota klan Bidour dari Iraq selatan, Utsman Nazeh, warga negara Saudi yang bertindak sebagai pelobi donatur di Teluk, dan terakhir namun yang paling gahar adalah Abu Yahya al-Iraqi. Orang yang disebut terakhi ini dikenal pendiam, misterius, penuh perhitungan dan confidant paling dipercaya ABB untuk menggantikan posisi Sang Kolonel.

Akhirul Kalam

Seperti sudah kita ketahui bersama meski dicoba-tutup-erat oleh media takfiri seperti arrahmah.com, voa-islam.com, nahimunkar.com, dan lain-lain, perang berdarah di antara sesama jenis takfiri mulai berlangsung sengit pada 4 Januari silam. Sejak hari itu hingga kini, menurut Syrian Observatory for Human Rights (SOHR), tidak kurang dari 1800 nyawa melayang. Sampai hari ini, pertempuran brutal di antara DAIIS di satu sisi dan JI dibantu oleh JN di sisi lain terus meluas dan mengeras. Sejauh ini tampaknya DAIIS bergerak lebih militan dan cekatan di lapangan dalam menghadapi musuh-musuhnya yang kian tidak berdaya. Kekuatan DAIIS sebenarnya didukung oleh pengalaman panjangnya bergerilya di Irak, akumulasi berbagai eksperimen dalam perang kota, kepakaran militer yang berasal dari sekian banyak eks tentara dan perwira militer Saddam, serta kesiap-siagan untuk menggunakan bom bunuh diri lebih daripada faksi-faksi lawannya.

Terbukti, meskipun terlebih dahulu digempur dalam suatu serangan mendadak oleh seterusnya di Aleppo, DAIIS kini pelan-pelan tapi pasti berhasil merebut kembali pangkalan-pangkalan yang lepas dari genggamannya. Seperti telah disebutkan, keterlibatan eks militer Irak era Saddam dalam struktur dan kader DAIIS, ditambah berjubelnya sumber daya manusia dari para gerilyawan Chechnya yang dikenal jago perang, DAIIS tak bisa dipungkiri merupakan organisasi tempur yang cukup sakti. Selain itu, DAIIS juga memiliki jaringan pendukung, suplai logistik dan aliran dana yang lebih stabil dan luas dibanding seteru-seterunya. Sejauh ini, DAIIS telah berhasil sepenuhnya menguasai wilayah Riqqah yang berbatasan dengan Irak yang dijadikan sebagai paru-paru untuk menyalurkan pasokan logistik. Meski begitu, serangan militer Irak atas basis DAIIS di wilayah Anbar dua pekan terakhir bakal memperlemah moral dan memecah konsentrasi kekuatannya di Suriah.

(Catatan: PM Nuri Maliki telah memutuskan memerangi DAIIS dan turunannya di wilayah Anbar yang didukung penuh seluruh anggota Dewan Keamanan PBB dan sejumlah negara regional. Aksi ini mau tidak mau akan mematahkan tulang punggung DAIIS dan simpatisan Al-Qaedah lain di wilayah Irak dan Suriah yang sering hilir mudik lintas negara untuk bersembunyi dan melakukan teror-lari di berbagai wilayah kedua negara tersebur. Sejumlah sumber media Timur Tengah menyebutkan bahwa Irak dan Suriah telah menjalin koordinasi intelijen dan keamanan untuk memutus jalur logistik DAIIS).

Upaya Saudi untuk mengkambinghitamkan DAIIS sebagai biang aksi teror selama lebih dari 2 tahun di Suriah dan menampilkan seterus-seterunya sebagai kawanan revolusioner yang beraliran moderat lebih jauh dapat memperlemah posisi DAIIS di kawasan. Meski tidak bertujuan mengguncang Irak dan Suriah, kesalahan strategis Suadi memperkuat blok JI dan JN untuk mengalahkan DAIIS yang secara nyata merupakan organisasi teror paling kuat dalam jangka menengah dan panjang dapat memperlemah jaringan teror ini secara keseluruhan. Dukungan Saudi pada seteru DAIIS praktis akan membuat dua kubu itu cukup berimbang untuk dapat saling menghabisi dalam sebuah zero sum game di Suriah, di saat yang sama mereka terus tergerus di Irak. Bukan tidak mungkin perangkap ini dibuat sejumlah pihak intelijen Barat yang selama ini mengendalikan jaringan teror tersebut, agar mengganggu pekarangan mereka sendiri.

Apalagi, secara ideologis, kedua pihak yang berperang itu sama-sama merasa paling mewakili Allah di muka bumi sebagai pembawa panji kebenaran mutlak yang datang langsung dari-Nya. Bagi mereka, kebenaran itu tunggal, setunggal Allah itu sendiri. Walaupun agaknya mereka keberatan disebut sebagai kaum panteis yang percaya bahwa Allah manunggal dengan manusia, tapi sikap dan kelakuan mereka sebenarnya praktis mengungkapkan keyakinan itu secara blak-blakan dan lebih psikopatik dari kaum panteis itu sendiri. Mereka merasa demikian dekat dengan Allah hingga mereka percaya bahwa Kebenaran Allah itu sudah bersatu dalam diri mereka, bukan sekadar manusia atau hamba biasa yang tiap saat meminta diberi petunjuk jalan yang lurus sebagaimana umumnya Muslim memahami Ihdinash-shiratal-mustaqim.

Ya, lantaran jalan pikir yang tidak mengenal kompromi politik, di mana sekelompok manusia yang merasa punya kekurangan duduk mencari titik temu berbagai kepentingan mereka demi kemaslahatan bersama. Bagi kaum takfiri, kepentingan itu terlalu duniawi sehingga mereka selalu disibukkan oleh hal-hal yang tidak penting dalam benak orang yang waras; kerusakan dan kebinasaan pihak lain yang tidak sepaham adalah kebaikan tertinggi yang dapat mereka capai. Inilah sekelompok manusia yang, sebagaimana pernah kita jelaskan pada tulisan “Absurditas Takfiri”, tidak meyakini sebab-akibat, tidak percaya akal manusia sebagai karunia Ilahi, tidak mengenal bahasa, dan tidak bisa melihat titik-titik tengah dalam garis hidup ini sekaligus gagal menangkap gradasi yang menampung beragam warna. Singkatnya, inilah ajaran agama yang anti agama, ideologi yang kontra ideologi, dan logika yang sama sekali tidak logis serta mustahil dipahami kecuali dengan membekap pemahaman dan menukar-guling kegilaan dengan kewarasan.

Demikianlah, perang muspra di antara takfiri ini boleh jadi berakhir dengan dua kemungkinan: berhenti secara absurd seperti ia bermula secara absurd atau berlanjut terus secara absurd seperti ia bermula secara absurd. Toh, para penganut ideologi ini selalu bisa mencari ilusi atau dalil palsu ihwal dalil-dalil “jihad” dalam kitab-kitab fantastik mereka. Dengan mudah mereka bisa mengumbar omong kosong konspirasi untuk menjelaskan kebrutalan mereka. Puak-puak takfiri yang tertipu ini sekarang sudah dapat merayakan upacaya saling bunuh di antara mereka dengan melontarkan tuduhan bahwa musuh-musuh yang berasal dari kalangan mereka sendiri itu adalah syabiha rafidhoh Syiah Nusairiyya bla-bla-bla yang pro rezim Assad.

Sebagai sesama manusia, tentu kita semua kasihan dan bersimpati pada apa yang terjadi pada penganut mazhab wahabi salafi takfiri ini. Tapi, sebagai orang berakal yang dikarunia daya analisis dan kritis, kita dapat dengan mudah menyimpukan kesudahan berdarah-darah ini pada mereka berdasarkan kausalitas yang sederhana: penganjur ideologi kekerasan, kebencian dan keranjingan perang itu suatu saat di suatu tempat juga akan termakan dengan ideloginya sendiri.

Allah yang Maha Adil telah menciptakan alam ini dengan hukum yang juga adil dan sempurna. Jika ada orang yang suka bermain api, meskipun dia rajin shalat malam hingga berjidat hitam legam dan istiqomah berpuasa Senin-Kamis hingga pucat pasi, suatu saat dia akan terpercik api itu juga atau bahkan terbakar gosong olehnya. Demikian pula orang yang setiap saat dan di semua tempat mengumbar kebencian dan kekerasan, jangan menyalahkan Allah jika berdasarkan hukum sebab-akibat suatu saat mereka akan terkurung dalam labirin kebencian dan kekerasan yang demikian mereka puja itu. [IT/MK]
 
source : http://www.islamtimes.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon tinggalkan pesan dan komentar anda...