Kamis, 23 Januari 2014

Prediksi Amerika dan Arab Saudi Yang "SALAH" di Suriah

Foto: 30 menit menjelang Genewa II Ratusan warga Suriah berkumpul di depan tempat diselenggarakannya konferensi di Montreux, mereka  berdoa untuk Suriah dan Presiden Bashar al-Assad.

Like dan Sebarkan!!! 

Sebuah harian Saudi Asy-Syarq Al-Ausath menyatakan, berlawanan dengan prediksi Amerika dan Arab Saudi, Suriah tetap teguh menghadapi situasi perang. Meski pihak lawan mulai melemah, pemerintahan Suriah tetap tegak dan bersatu.

Asy-Syarq Al-Ausath menulis:

“Suriah menunjukkan resistansi luar biasa terhadap serbuan dari luar dan dalam. Tiga tahun sebelum api perang disulut, para analis yakin Suriah akan jatuh. Namun, apa faktor yang menyebabkan negara yang nyaris ambruk ini, bisa bertahan selama tiga tahun ? Padahal, berdasarkan prediksi, negara ini semestinya sudah jatuh dalam bulan-bulan pertama perang. Sebelumnya diramalkan akan muncul gerakan Alawiyyin di Suriah yang akan merebut kekuasaan dari tangan Assad, tapi ini tidak terjadi. 


Pertanyaannya, kenapa mereka masih tetap mendukung Assad?”

Harian ini menambahkan: ”Suriah bisa menjaga militer, badan intelijen, dan pasukan keamanannya tetap loyal. Benar bahwa Alawiyyin berada di pucuk lembaga-lembaga ini. Tapi harus diakui, banyak personel militer, intelijen, dan keamanan Suriah yang berasal dari kalangan Ahlussunnah, namun tetap mendukung Assad.”

Dalam lanjutan analisisnya, harian Saudi cetakan London ini menulis: ”Dukungan Iran dan Rusia kepada Suriah, dan sebaliknya, tercerai berainya kelompok oposisi, adalah salah satu faktor resistansi Suriah. Barat menunjukkan sikap ragu-ragu, yang kemudian dimanfaatkan Suriah.”

“Hal penting yang kita ambil dari masalah Suriah, adalah kekuatan aliansi Iran dan pemerintahan Assad. Mereka hanya fokus pada titik persamaan dalam hal keyakinan dan politik, serta menutup mata dari titik-titik perbedaan. Semua tahu bahwa mazhab Itsna Asyari berbeda dengan mazhab Nashiri (Alawi). Inilah yang menyebabkan aliansi ini masih bertahan sejak akhir dekade 70-an, yaitu sejak masa revolusi Khomeini.”

Menurut harian ini, Musa Shadr, pemimpin Syiah Lebanon, berpendapat bahwa perbedaan antara mazhab-mazhab Syiah harus dikurangi. Sebab itu, pada dekade 70-an, ia menyatakan bahwa mazhab Alawi adalah mazhab Syiah. Di masa itu, Hafez Assad juga memintanya untuk mendakwahkan mazhab Itsna Asyari di tengah kalangan Alawiyyin. Sebab, mereka berdua tahu, aliansi dengan Revolusi Khomeini akan memperkuat pemerintahan Assad di jantung kawasan. Di lain pihak, Iran juga mendapat jalan untuk menambah pengaruhnya. Demi tujuan penting inilah, dua negara ini menyingkirkan perbedaan mazhab dan menghimpun diri di bawah payung ke-Syiahan. Hal berbeda terjadi pada kelompok-kelompok sekuler dan Islam lain yang tak bisa bergabung mewujudkan satu tujuan hingga akhirnya kalah.

Dalam analisis lain, Asy-Syarq Al-Ausath menulis: ”Iran dan pasukan Pasdaran-nya memainkan peran luar biasa di Irak, yang tak bisa ditandingi Amerika. Qasem Solaemani dengan cara-caranya, sukses menyatukan banyak pemain-pemain politik. Kini, berbagai kelompok Irak bersama Hizbullah, laskar Yaumul Mau`ud, dan Rabithatul Haq berjuang membela Bashar Assad di Suriah (ISNA)

Source : http://liputanislam.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon tinggalkan pesan dan komentar anda...