Rabu, 05 Februari 2014

ISIS Vs al Qaeda : Sengketa Ideologis atau Rebutan Kavling Kekuasaan...?

Takfiri Suriah
Takfiri Suriah
Negara Islam Irak, yang kemudian menjelma menjadi jaringan Negara Islam Irak dan Levant atau Syam (ISIS), tidak pernah menjadi bawahan al-Qaeda. Riset teranyar lembaga tanki pemikiran Fajr Media Center menyebutkan al-Qaeda tidak pernah diberitahu dan tidak pernah diajak konsultasi mengenai berdirinya ISIS. Tak heran, menurut lembaga, jika belakangan al-Qaeda menyerukan pembubaran ISIS. Organisasi itu bahkan menekankan bahwa ISIS bukanlah cabang dari Qaedat al-Jihad [al-Qaeda].

Pada November 2013, Ayman al-Zawahiri, tokoh sentral gerakan teroris global menyerukan pembubaran ISIS, dan menyatakan bahwa ISIS adalah saingan utama Front al-Nusra. Yang terakhir, lahir dari rahim ISIS, dibaptis sebagai cabang resmi al-Qaeda di Suriah.

Seperti diketahui, Front al-Nusra belakangan mengambil alih beberapa medan pertempuran di Suriah dengan menggandeng Front Islam yang didukung intelijen Arab Saudi. Tujuannya, apalagi jika bukan untuk melawan ISIS yang lebih dulu menyatakan perang pada al-Nusra yang dianggap memberontak.

Menurut Fajr, cerita pertikaian sebenarnya tidak dimulai dari urusan itu. Pangkal soalnya malam bukan sekadar perselisihan antara emir teroris; siapa yang harus memimpin di medan \'jihad\' Suriah. Menurut lembaga, perselisihan justru berpangkal pada soal ideologi. Inilah yang dianggap sebagai inti dari semua episode pertempuran barbarik -- mencakup pemenggalan kepala musuh -- antara Front Islam dan ISIS.

Memang, Front Islam kental menyuarakan perlawanan pada ISIS. Mereka menyamakan perang melawan ISIS dengan episode "Pertempuran Nahrawan" di zaman Nabi. Di sisi lain, ISIS mengaitkan pertempuran dengan Front Islam sebagai "Peperangan Murtad".

Menariknya, bahkan intelijen negara setersohor Arab Saudi, gagal mendamaikan dua organ takfiri yang berada di balik pembunuhan massal orang-orang sipil di Suriah dalam dua tahun terakhir. Pertikaian keduanya belakangan sebegitu runcingnya hingga perlu diintervensi oleh para ideolog Salafi. Termasuk di sini adalah Sheikh Abu Iyad al-Tunisi, emir Ansar al-Sharia di Tunisia, yang menghimbau jihadis mendukung orang-orang yang dia gambarkan sebagai "Mujahidin di Levant (Syam)".

Tapi lain ladang, lain bekicot. Direktur al-Maqrizi Center for Historical Studies Mesir, Sheikh Hani al-Sibai, justru menyerang Front Islam. Di sisi lain, Sheikh Issam al-Barqawi asal Yordania, yang dikenal sebagai Abu Mohammed al-Maqdisi, mengirimkan surat kecaman terhadap ISIS. Dan pada gilirannya, Sheikh Omar Othman yang dikenal sebagai Abu Qatada al-Filastini menyerukan kepada emir ISIS, Abu Bakr al-Baghdadi, untuk menarik diri dari Suriah atau bergabung dengan Front al-Nusra.

Intervensi para ideolog Salafi ini ternyata justru memperdalam perpecahan di antara organ pembunuh takfiri. Kemudian datang inisiatif perwakilan Arab Saudi Sheikh Abdullah al-Mohisni untuk membentuk \'pengadilan arbitrase Islam\' antar pihak-pihak takfiri yang saling bunuh hingga detik ini. Sebagian faksi Takfiri yang bertikai menyetujui inisiatif itu. Tapi ISIS, kendati mengapresiasi inisiatif Mohisni, menolak dengan tegas. Kata ISIS, pertempuran melawan Front Islam di Suriah bukanlah dipicu keretakan antar faksi-faksi mujahidin. Yang sebenarnya terjadi adalah perang yang dilancarkan oleh \'faksi sesat\' terhadap mujahidin. Well done!

Di tengah posisi yang saling bertentangan ini, yang ditingkahi dengan penerbitan berlebihan fatwa kemurtadan satu sama lain, publik kiranya perlu kembali ke awal pertikakain. Sebenarnya semua indikasi menunjukkan bahwa pemimpin Front al-Nusra, Abu Mohammed al-Golani, memberontak melawan pimpinan ISIS, al-Baghdadi. Sebab al-Baghdadi lah yang faktanya mengirim al-Golani untuk memperluas wilayah kekuasaan ISIL hingga Suriah.

Lalu apa tepatnya hubungan antara al-Qaeda dan ISIS? Hubungan antara keduanya bisa merujuk pada invasi Amerika Serikat atas Irak pada 2003. Saat itu, 16 kelompok ekstremis bertempur melawasan pasukan koalisi pimpinan Amerika di Irak. Mereka termasuk Jaysh Ahl al-Sunna, Ansar al-Islam, Jaysh al-Sahaba, Jaysh al-Khilafah, Jaysh Mohammad, dan al-Tawhid wal Jihad yang dipimpin oleh Abu Musab al-Zarqawi. Yang terakhir, berasal dari Yordania, sudah lebih dulu menyatakan baiat (sumpah setia) kepada pemimpin al-Qaeda saat itu, Osama bin Laden.

Setelah al-Zarqawi berjanji setia kepada al-Qaeda, dia mengubah nama kelompoknya menjadi al-Qaeda di Mesopotamia. Kemudian, al-Qaeda yang terbentuk dari kelompok-kelompok takfiri ke dalam aliansi ini disebut Hilf al-Mutayibin dan Abu Bakr al-Baghdadi terpilih sebagai emirnya. Belakangan, Baghdadi membentuk Negara Islam Irak dengan tujuan untuk mendirikan sebuah kekhalifahan di daerah di mana umat Sunni merupakan mayoritas di Irak (Propinsi Fallujah).

Menurut pemahaman para Takfiri, langkah itu diperlukan karena Fallujah praktis telah berada di bawah kendali mereka. Mereka perlu tangan-tangan \'negara\' untuk mengelola urusan mereka yang banyak. Nah, gagasan inilah yang belakangan menjadi benih perselisihan dan inti masalah perpecahan antar faksi takfiri. Faktanya: Negara Islam Irak didirikan di masa damai dan bukan dalam situasi perang.

Seorang ulama Salafi membagi dua jenis emirat. Pertama emirat Islam secara umum, yaitu negara Muslim dengan nama khalifah seperti di zaman Nabi Muhammad. Berikutnya adalah emirat Islam secara khusus yang dapat berupa jihad dan dakwah atau untuk memerintah.

Nah, yang pasca pembentukan ISIS adalah al-Baghdadi naik level dari seorang emir kelompok menjadi seorang emir negara. Dengan hadirnya ISIS, al-Baghdadi menyatakan bahwa kelompoknya akan mengelola semua urusan umat Islam di daerah kekuasaan ISIS. Namun, "Emirat Jihad" sebaliknya, akan fokus pada pertempuran sampai musuh dikalahkan, dan tidak menyibukkan dirinya dengan mengelola urusan rakyat.

Seiring pecahnya konflik di Suriah, al-Baghdadi mengincar perluasan wilayah kekuasaan. Karena motif itulah, dia menciptakan Front al-Nusra dan menugaskan al-Golani untuk mengomandani seluruh operasi teror takfiri di Suriah. Nah, ketika al-Golani belakangan diminta untuk mengintegrasikan kembali kelompok dengan ISIS, ia menolak dan inilah pangkal keretakan mengemuka ke publik.

Terkait pendeklarasian negara ISIL, al-Baghdadi mengatakan wilayah yang di bawah kekuasaannya memerlukan keberadaan seorang gubernur. Dan itu sangat penting dari perspektif syariah. Selanjutnya, dewan Syura dibentuk yang kemudian diangkatlah al-Baghdadi sebagai emir umat beriman. al-Baghdadi kemudian menunjuk para menteri, gubernur, dan pejabat lain untuk mengumpulkan uang zakat dan menggariskan kebijakan dalam dan luar negeri. Masih terkait dengan semua itu, al-Baghdadi mewajibkan semua faksi bersenjata berada di bawah kendali ISIS dan harus berjanji setia kepada al-Baghdadi. Mereka juga diminta untuk meninggalkan peperangan di daerah lain dan meletakkan senjata.

Dengan semua langkah itu, al-Baghdadi mengikuti jejak pemimpin Taliban Mullah Omar saat mendeklarasikan Emirat Negara Islam di Afghanistan. Ini semacam metamorfosa politik al-Baghadadi, dari seorang emir kelompok untuk menjadi seorang emir negara. Hal yang sama dapat dikatakan terjadi pada kelompok Ansar al-Sharia di Yaman, dan emirat al-Qaeda di Mali.

Jumawa lalu meningkahi. Baghdadi menganggap dirinya sebagai emir berkuasa yang levelnya di atas al-Zawahiri yang digambarkanya sekadar emir kelompok -- sekalipun al-Zawahiri notabene emir global jaringan teroris di seluruh dunia. Gambaran itu dilatari fakta al-Zawahiri tidak mengontrol suatu wilayah geografis yang di dalamnya Syariah ditegakkan. 
 
Source : islamtimes.org/IT/ONH/Ass

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon tinggalkan pesan dan komentar anda...