Perang pernyataan berlangsung antara Amerika dan Rusia tentang
Ukraina. Rusia menganggap pemerintahan baru yang menggulingkan Presiden
Yanukovych sebagai “ilegal”, sedangkan Amerika justru membelanya.
“Legitimasi seluruh organ kekuasaan yang berfungsi di sana (Ukraina)
menimbulkan keraguan besar,” kata Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev
di Moskow, Senin (24/2).
“Jika Anda mempertimbangkan orang-orang bersenjata Kalasnikov dan
berpenutup kepala hitam itu menjadi pemerintah, maka sulit bagi kami
untuk bekerja sama dengan mereka,” tambahnya.
Sementara jubir kepresidenan Amerika Jay Carney, membenarkan langkah kudeta terhadap Yanukovych tersebut.
“Ketika ia (Yanukovych) memerintah sebagai pemimpin yang terpilih
secara demokratis, ia telah menghancurkan legitimasinya dan kini ia
tidak lagi aktif memimpin negara itu,” kata Jay Carney di Washington,
Senin (24/2).
Medvedev mengecam keputusan negara-negara barat untuk mengakui
pemerintahan baru Ukraina dan menganggapnya sebagai suatu kesalahan yang
“mengganggu kesadaran”.
Lebih jauh Medvedev menyatakan bahwa Rusia tidak bisa berhubungan
kerja dengan “para pemberontak”. Hubungan tersebut baru bisa dilanjutkan
lagi saat Ukraina kembali memiliki pemerintahan yang “normal dan modern
berdasarkan hukum dan konstitusi,” demikian sebut Medvedev.
Saat ini Rusia telah memanggil pulang dubesnya dari Ukraina.
Agen CIA Tertangkap dalam Demonstrasi Berdarah Ukraina
Dalam video tersebut terlihat seorang agen CIA tertangkap aparat keamanan Ukraina dalam demonstrasi di Ukraina 18 Februari lalu.
Dari identitas yang berhasil didapatkan aparat keamanan Ukraina, sang
agen tersebut berasal dari divisi khusus Special Activities Division
(SAD), sebuah divisi dalam National Clandestine Service (NCS) yang
merupakan bagian dari Central Inteligent Agency (CIA), yang
bertanggung-jawab untuk melaksanakan operasi-operasi rahasia yang
dikenal dengan sebutan ”special activities”. Demikian keterangan BIN.
Dalam SAD, ada dua kelompok terpisah, SOG untuk operasi paramiliter taktis dan PAG untuk aksi-aksi politik rahasia.
Special Operation Group (SOG) atau Kelompok Operasi Rahasia adalah
departemen khusus di dalam SAD yang bertanggung jawab untuk operasi
pengumpulan intelijen-intelijen asing dari negara-negara dan wilayah
yang berseteru, dan juga koordinator semua aksi militer kelas tinggi
atau operasi intelijen dimana Amerika tidak ingin terlihat
terang-terangan bekerja-sama. Karenanya, anggota unit yang juga disebut
petugas operasi paramiliter dan petugas berkeahlian khusus ini biasanya
tidak berseragam resmi yang bisa menunjukkan bahwa mereka terkait dengan
pemerintahan Amerika.
Jika mereka membelot saat berada dalam suatu misi, maka pemerintah Amerika bisa menyangkal dan mengelak dengan mudah.
SOG umumnya dianggap sebagai pasukan operasi khusus yang paling
rahasia di Amerika. Kelompok ini merekrut anggotanya dari unit-unit misi
khusus terkait seperti Delta Force, DEVGRU dan ISA, juga pasukan
operasi khusus Amerika yang lain seperti USNSWC, MARSOC, USASF dan
24thSTS.
Video yang dirilis BIN tersebut di atas bisa dilihat di sini:
Sebagaimana disebutkan oleh Paul Craigh Roberts dalam artikelnya di Globalresearch
tgl 17 Februari lalu, Amerika telah mengeluarkan dana tidak kurang dari
$5 miliar untuk membangun jaringan politik pro-Amerika di Ukraina untuk
menjadikan Ukraina sebagai negara “demokrasi”, sekaligus menjadi
pangkalan rudal-rudal Amerika yang diarahkan ke Rusia.
Bagi yang pernah belajar ilmu politik tentu tidak akan mengerti,
mengapa para demonstran di Ukraina tetap saja melancarkan aksi-aksi yang
justru semakin hari semakin keras. Padahal pemerintah Ukraina telah
memenuhi hampir semua tuntutan mereka tanpa memaksakan satu syarakatpun
yang memberatkan. Mulai dari pengunduran diri perdana menteri dan
tawaran jabatan eksekutif bagi para pemimpin demonstran, pencabutan
undang-undang larangan demonstrasi hingga pemberian amnesti bagi para
demonstran yang ditangkap.
Dalam ilmu politik diajarkan bahwa politik adalah “seni tawar menawar
untuk meraih kekuasaan”. Maka apa yang dilakukan para demonstran di
Ukraina telah melenceng jauh dari prinsip dasar politik.
Jawaban baru bisa ditemukan jika kita mengetahui apa yang dikatakan
Asisten Menteri Luar Negeri Amerika, Victoria Nuland dalam pertemuan
Nasional Press Club bulan Desember 2013 lalu, bahwa Amerika telah
menginvestasikan $5 milyar untuk “mengorganisir jaringan guna memuluskan
tujuan Amerika di Ukraina” selain untuk memberikan “masa depan yang
layak bagi Ukraina.”
(http://www.informationclearinghouse.info/article37599.htm)
Nuland pula, pejabat yang “tertangkap tangan” membicarakan nama-nama
calon pejabat tinggi Ukraina mendatang jika pemerintahan Presiden Viktor
Yanukovych berhasil ditumbangkan oleh para demonstran, setelah
pembicaraan teleponnya dengan dubes Amerika di Ukraina bocor ke publik
bulan lalu.
Johannes Loew dari situs elynitthria.net menulis tentang sebagian dari dana yang dikeluarkan Amerika untuk “mengorganisir jaringan” di Ukraina:
”Aku baru saja kembali dari Ukraina. Rata-rata mereka di sana (demonstran) mendapat 100 grivna, 300 untuk yang mahasiswa.”
Menurut Paul Craig Roberts, mantan Asisten Menkeu Amerika dan editor The Wall Street Journal, dalam artikelnya berjudul “US and EU Are Paying Ukrainian Rioters and Protesters” di situs Globalresearch
tgl 17 Februari lalu, apa yang dimaksud Nuland dengan “masa depan yang
layak bagi Ukraina” di bawah kekuasaan Uni Eropa sebenarnya adalah untuk
menjarah Ukraina seperti yang telah mereka lakukan terhadap Latvia dan
Yunani, serta untuk menjadikan Ukraina sebagai tempat pangkalan rudal AS
melawan Rusia.
Nyatanya media Amerika dan Eropa tidak pernah menyinggung dana $5
miliar itu dan justru memberitakan bahwa pemerintah Ukraina membayar
para pengunjuk rasa pendukung pemerintah.
(http://www.usatoday.com/story/news/world/2014/02/16/ukraine-government-protests/5435315/).
Kalau pun hal ini benar, tentu pemerintah Ukraina akan kesulitan untuk
menandingi $5 milyar yang digelontorkan Washington.
Seperti pernah ditulis Karl Marx, uang mengubah segalanya menjadi
komuditas untuk dijual atau dibeli. Tentu tidak mengherankna bila ada
beberapa pengunjuk rasa yang bekerja untuk kedua belah pihak di waktu
yang sama.
Namun demikian tidak semua pengunjuk rasa adalah orang-orang bayaran.
Banyak juga dari mereka adalah orang-orang lugu yang tertipu untuk ikut
turun ke jalan karena merasa bahwa mereka tengah mendemo pemerintah
Ukraina yang korup. Pengunjuk rasa Ukraina berfikir bahwa mereka bisa
selamat dari korupsi dengan bergabung bersama Uni Eropa. Sayangnya
pengunjuk rasa yang tertipu ini tidak tahu laporan Komisi Uni Eropa
untuk Urusan Rumah Tangga pada tanggal 3 Februari, tentang korupsi di
dalam Uni Eropa.
Laporan itu menyebutkan bahwa korupsi politik-bisnis mempengaruhi 28
negara anggota Uni Eropa dan menguras ekonomi Uni Eropa sebesar $16,2
milyar per-tahun.
(http://www.aljazeera.com/news/europe/2014/02/eu-report-corruption-widespread-bloc-20142313322401478.html). Menurut laporan Bank Dunia, biaya ekonomi yang dikorupsi dalam Uni
Eropa bahkan hampir sebesar PDB Ukraina.
Jadi jelas sudah, bahwa Ukraina tak akan selamat dari korupsi bila
bergabung dengan Uni-Eropa. Bahkan Justru, Ukraina akan mengalami
korupsi yang lebih parah.
Mungkin orang orang lugu itu bisa diuntungkan dari pelajaran yang
akan mereka terima nantinya begitu negara mereka dikuasai Brussels dan
Washington.
Menurut Paul Craigh Robert apa yang terjadi di Ukraina adalah “sebuah
kebodohan”, sama seperti saat Amerika dan Eropa memainkan sebuah
permainan besar dan membuat kita merasakan Perang Dunia I. Namun kali
ini Perang Dunia III akan jadi perang terakhir. Upaya Washington untuk
menguasai setiap kesempatan guna membangun hegemoninya ke seluruh dunia
telah mengantar kita semua pada perang nuklir. Paul merefer pada Rusia
yang kemungkinan tidak akan tinggal diam melihat “sekutu”-nya, Ukraina
jatuh ke tangan Amerika.
“Seperti Nuland, sebuah prosentasi signifikan dari populasi Ukraina
Barat menunjukkan mereka adalah Anti-Rusia. Tapi emosi warga Ukraina
yang tersulut uang Washington tidak seharusnya merubah sejarah. Tidak
akan ada sejarawan yang tersisa yang bisa mendokumentasikan betapa bodoh
dan dungunya warga Ukraina menyebabkan kehancuran dunia,” tulis Paul
Craig Roberts dalam artikelnya.
Karena alasan itulah maka Amerika, melalui Penasihat Keamanan Susan
Rice, mengingatkan Rusia untuk tidak melakukan intervensi militer atas
Ukraina. Hal itu disampaikan Susan dalam wawancara acara “Meet The
Press” di televisi NBC, hari Minggu (23/2).
“Itu akan menjadi kesalahan besar. Bukan kepentingan Ukraina, Rusia,
Eropa atau Amerika untuk melihat negeri itu pecah. Bukan kepentingan
siapapun untuk melihat kerusuhan kembali dan situasi bertambah buruk,”
kata Susan.
Ketika disinggung tentang kemungkinan Rusia akan memandang Ukraina
dalam perspektif “perang dingin” dengan barat, Sudan menjawab hal itu
“mungkin saja”. Namun menurut dia, perspektif seperti itu tidak lagi
sesuai dengan aspirasi rakyat Ukraia, meski ia juga mengakui terdapat
hubungan sejarah dan budaya yang tinggi di antara sebagian negara
Ukraina dengan Rusia.
Pro-Rusia Demo di Ukraina Timur
Sementara itu pada hari Minggu (23/2) penduduk kota Kerch yang
terletak di Ukraina timur dan berdekatan dengan Rusia, melakukan aksi
demonstrasi dengan menurunakan bendera Ukraina dengan bendera Rusia.
Penduduk kota ini, sebagaimana sebagian besar kota-kota di wilayah
timur dan tenggara Ukraina, memiliki hubungan kultural yang kuat dengan
Rusia, bahkan mereka menggunakan bahasa Rusia dalam kesehariannya.
“Intervensi (barat) yang memalukan!”, “Krimea untuk Kedamaian”,
“Fascisme Dilarang!” Demikian bunyi beberapa spanduk yang dibawa para
pengunjuk rasa.
Protes tersebut terjadi sehari setelah polisi setempat bentrok dengan
massa pro-Uni Eropa. Pengunjuk rasa meminta mereka untuk pergi.
Aksi-aksi tersebut terjadi pada saat berbagai rumor menyebutkan
presiden terguling, Victor Yanukovych bersembunyi di Ukraina timur
setelah gagal menyeberang ke Rusia. Namun keberadaan pastinya masih
belum jelas hingga sekarang.
Pada hari Sabtu (22/2) Yanukovych mengatakan bahwa ia telah dipaksa
untuk meninggalkan Kiev oleh apa yang disebutnya sebagai “vandalisme,
kriminal dan kudeta.”
“Saya tidak ingin meninggalkan negeri ini. Saya tidak ingin mundur.
Saya presiden yang syah,” katanya dalam rekaman video yang disiarkan
televisi lokal.
Pada hari yang sama, pelaksana presiden yang ditunjuk parlemen
sepeninggalnya Yakunovych, Oleksander Turchinov, menyerukan parlemen
untuk segera membentuk pemerintahan sementara pada hari Selasa (25/2)
hingga dilaksanakannya pemilu bulan Mei mendatang.
Source :
LiputanIslam.com, beforeitsnews, press tv, bbc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon tinggalkan pesan dan komentar anda...