Kebencian para pemimpin Saudi Arabia
terhadap Iran sudah sangat kentara. Tidak lagi dalam tataran “batin”,
melainkan sudah termanifestasikan dalam pernyataan-pernyataan resmi.
Sebut saja, misalnya, para pejabat Saudi yang secara terbuka menyatakan
dukungannya terhadap sanksi ekonomi dan politik yang dilakukan
negara-negara barat terhadap Iran.
Para pejabat Saudi bahkan secara terang-terangan menyatakan bahwa
sasaran utama mereka dalam melibatkan diri dalam konflik di Suriah
bukanlah pemerintahan Bashar al Assad, melainkan Iran yang merupakan
sekutu strategis Suriah.
Dalam satu wawancara dengan media Amerika New York Times pada bulan
Desember 2013 lalu, Dubes Saudi untuk Inggris Mohammed bin Nawaf bin
Abdulaziz al Saud bahkan secara membabi buta dan tanpa disertai bukti
apapun menuduh Iran telah “mendanai dan melatih milisia-milisia Irak,
teroris Hizbollah Lebanon, dan para militan Bahrain dan Yaman.”
Hal ini tentu sangat ironis, mengingat bahwa Saudi Arabia-lah yang
telah dikenal luas sebagai pendukung kelompok-kelompok teroris seperti
al-Qaeda, Jabhat al Nusra, dan ISIS, sebagaimana juga diktator Al
Khalifa di Bahrain.
Menurut analisis politik Finian Cunningham dalam tulisannya di Press TV
beberapa hari lalu berjudul “Why House of Saud fears/hates Iran?”,
kebencian Saudi kepada Iran adalah bentuk kebencian yang akut.
Lalu, mengapa demikian?
Menurut Cunningham, jawaban singkatnya adalah “self-preservation” atau
jaga diri. Namun sebenarnya setidaknhya ada 3 alasan spesifik tentang
hal ini.
Pertama adalah agama. Agama resmi Saudi Arabia adalah Wahhabism. Dalam
pandangan agama ini Syiah dipandang sebagai sebuah “penyimpangan yang
tidak bisa ditolerir”. Menurut mereka, Syiah lebih buruk daripada
“kafir”, yang biasa mereka tuduhkan tidak saja kepada orang-orang
non-Muslim, namun juga kepada penganut Islam non-Wahabi. Padahal status
“kafir” sendiri sudah cukup membuat seseorang dijatuhi hukuman berat
hingga hukuman mati. Secara historis Iran merupakan pusat dari agama
kaum Syiah, dan karenanya menjadi pusat kebencian Saudi.
Faktor kedua, menurut Cunningham, adalah Revolusi Islam Iran tahun
1979. Keberhasilan sebuah “revolusi rakyat” terhadap penguasa kerajaan
yang otoriter tentu menjadi model yang sangat dibenci Saudi. Saudi,
sebagaimana rezim Shah Reza Pahlevi, adalah model pemerintahan kerajaan
yang otoriter. Maka Revolusi Iran dianggap menjadi ancaman serius yang
suatu saat dapat menjungkalkan rezim Saudi. Tidaklah mengherankan jika
Saudi menjadi pendukung utama Irak saat negara ini menyerbu Iran tahun
1980 dan menandatangani pakta pertahanan bersama negara-negara kerajaan
di kawasan Teluk Parsi, yaitu Kuwait, Qatar, Bahrain, Oman dan Uni
Emirat Arab.
Tentu saja kebencian Saudi terhadap Iran makin kuat setelah terjadinya
Revolusi Iran. Model negara ideal, perpaduan antara demokrasi barat
pemerintahan Islam dengan kepemimpinan tertinggi di tangan para ulama,
membuat pemerintahan Saudi sebagai model yang ketinggalan jaman. Dan
semakin kuatnya pengaruh Iran di kawasan Timur Tengah, semakin besar
pula kebencian Saudi terhadapnya, sebagaimana diekspresikan oleh Dubes
Saudi untuk Inggris di atas.
Adapun faktor ketiga adalah ekonomi. Dari 12 anggota organisasi
produsen minyak bumi OPEC, 3 produsen terbesarnya adalah Saudi, disusul
Irak dan Iran. Iran memang tertinggal dibandingkan Saudi dalam hal
produksi minyak. Namun Iran memiliki sumber energi potensial lainnya
yang kemudian menjadi ancaman hegemoni Saudi, yaitu gas alam.
Gas alam merupakan sumber energi utama masa depan. Lebih efisien
menghasilkan energi, lebih mudah dialirkan dengan jaringan pipa, dan
lebih dari itu ramah lingkungan karena gas alam sangat sedikit
menimbulkan residu pembakaran sebagaimana minyak fosil.
Para ahli memperkirakan Iran adalah pemilik cadangan gas alam terbesar
di dunia. Jika hubungan perdagangan dan ekonomi Iran pulih kembali
setelah dicabutnya sanksi-sanksi ekonomi oleh Amerika dan
sekutu-sekutunya, tidak diragukan lagi Iran bakal menjadi kekuatan
energi raksasa dunia mengalahkan Saudi.
Hal ini tentu menjadi ancaman serius bagi Saudi yang selama ini
menggunakan kekuatan energinya untuk menanamkan pengaruhnya di kawasan
dan di antara negara-negara Islam di dunia. Jika kekuatan energi Iran
meningkat dan melampaui Saudi, maka otomatis pengaruh Saudi pun akan
bergeser menjadi milik Iran.
Atas alasan itulah, maka Saudi dengan segala daya berupaya agar sanksi
ekonomi terhadap Iran tetap dipertahankan. Saudi kini hidup dalam “masa
pinjaman”. Cepat atau lambat sumber minyak Saudi akan mengering
sementara gas alam Iran justru semakin membuncah. Dengan tingkat
kemiskinan dan pengangguran yang tinggi dan suara-suara ketidak puasan
di kalangan masyarakat yang semakin garang digaungkan, penguasa Saudi
merasa, masa depan mereka berada dalam ancaman serius.
Namun bukannya mencari cara cerdas untuk mengatasi ancaman tersebut,
penguasa Saudi justru melampiaskan semua ketakutan mereka dengan memupuk
kebencian terhadap Iran.
Sampai sejauh ini Saudi masih bisa bertahan karena dukungan Amerika
yang selama ini pun menikmati keuntungan besar dari produksi minyak
Saudi. Namun, setidaknya Amerika pun telah mulai menyadari, bahwa
mengandalkan Saudi sebagai mitra strategis adalah membahayakan Amerika
sendiri. Dan kini, tanda-tanda Amerika mulai meninggalkan sekutu
utamanya di Timur Tengah setelah Israel itu, telah terlihat nyata. Dalam
konflik Suriah, misalnya, Amerika sama sekali tidak meminta pendapat
Saudi untuk membatalkan rencana serangan militernya, serta keputusan
untuk memerangi kelompok-kelompok pemberontak terkait Al Qaida yang
selama ini menjadi agen kepentingan kedua negara.
Sebaliknya terhadap Iran, dunia kini menyaksikan bagaimana Amerika
berusaha menjalin hubungan yang lebih baik dengan Iran.
Source : LiputanIslam/MAHDI-NEWS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon tinggalkan pesan dan komentar anda...