Sayyid Hasan Nasrallah |
Dalam pidato Sayyid Hassan Nasrallah di bulan
September 2013, Sekjen Hizbullah tersebut menyerukan kepada Arab Saudi,
Turki dan negara-negara Teluk yang mendukung pemberontak di Suriah untuk
merubah sikap mereka. Telah hampir tiga tahun perang berkecamuk di
Suriah dan sudah lebih dari seratus ribu nyawa melayang, solusi damai
harus segera diupayakan sebelum terlambat.
“I call on Saudi Arabia, Turkey, and other Gulf states to revise your stance. You won’t reach anywhere by relying on a military victory. Put this hatred (for Hezbollah) aside and think with your minds. Think about your interests, the interests of the region, the survival of the region.”
“For two and a half years, they used everything in their disposal to control Syria and they failed. Of course [Hezbollah] are foreigners, we are not Syrian, but [what about] the tens of thousands of foreign fighters who you brought from all over the world? Are they occupying Syria?”
“Saya serukan kepada kalian wahai Arab Saudi, Turki, dan
negara-negara Teluk agar kalian merubah sikap. Anda tidak akan
mendapatkan apa-apa dengan mengandalkan kekuatan militer. Lupakan
sejenak kebencian Anda kepada Hizbullah dan berpikirlah dengan jernih.
Pertimbangkanlah tentang kepentingan dan kestabilan kawasan.”
“Telah dua setengah tahun lebih berlalu mereka menggunakan segala
sesuatu untuk mengontrol Suriah dan mereka gagal. Memang, kami
Hizbullah adalah tentara asing, kami bukan berasal dari Suriah, lalu
bagimana halnya dengan puluhan ribu pejuang asing yang Anda kirimkan
dari seluruh dunia? Apakah mereka penduduk Suriah?”
Saat itu, kekalahan Arab Saudi masih berupa pernyataan dari sekjen
Hizbullah, bukan pengakuan langsung dari pihak Arab Saudi. Namun hari
ini kekalahan itu, benar-benar terungkap. Menjelang perundingan Jenewa
II, Arab Saudi sangat berambisi bisa merubah kondisi di medan
pertempuran. Pemberontak yang didanai Arab Saudi, melancarkan serangan
militer ke selatan dan barat Damaskus – termasuk area strategis Qalamoun
yang membentang di sepanjang perbatasan Lebanon – serta di Deraa dan
Aleppo, namun serangkaian serangan itu tidak sukses karena kokohnya
pertahanan Tentara Suriah yang bahu membahu bersama Tentara Pertahanan
Nasional dan Hizbullah. Hanya di beberapa titik di Allepo yang berhasil
mereka kontrol, namun sama sekali tidak berarti signifikan secara
keseluruhan.
Dan sikap terkini Arab Saudi terhadap perundingan Jenewa II yang
buntu, dan pertikaian di kubu pemberontak menyiratkan; Arab Saudi kalah !
Ya, meski tidak blak-blakan mengakui kekalahannya, peristiwa demi
peristiwa dalam beberapa waktu terakhir ini telah berbicara banyak.
Jihadis menyerahkan diri di al Rayyan |
Arab Saudi kini sudah tidak lagi menyebut-nyebut ‘jihad Suriah’
secara detail dan malah cenderung mengabaikan para jihadis di Suriah
yang merupakan hasil perselingkuhannya dengan Barat. Disinyalir, ini
adalah tekanan dari Amerika Serikat, yang hendak membatalkan
kunjungannya ke kerajaan pada bulan Maret. Jika Arab Saudi mengabaikan
jihadis (maksudnya tidak lagi membiayai dan menyuplai logistic mereka di
Suriah), maka besar kemungkinan jihadis ini akan kembali ke negara asal
mereka. Apakah ini sebuah kebetulan dengan fakta adanya 191 jihadis di
Al-Rayyan, yang menyerahkan diri dan menerima amnesti yang ditawarkan
pemerintah Suriah? Mereka yang menerima pengampunan, diizinkan kembali
hidup dengan normal kembali di rumah mereka, dengan persyaratan tidak
akan pernah lagi mendukung terorisme di masa mendatang.
Arab Saudi sepertinya mulai ‘mendengar’ seruan Sayyid Hassan Nasrallah untuk merubah sikapnya, dengan mengeluarkan dekrit, sebagaimana yang disampaikan oleh kedutaan di Ankara;
“The Saudis are afraid of an uncontrolled return of those fighters to their country. Two conditions have been set. The first would be a return, under security precautions via the Saudi embassy in Turkey, as mentioned by the ambassador in Ankara on February 6. The second means their dispersal along the frontlines, a repeat of what Saudi fighters in Afghanistan experienced. The following is just some of what is known about the kingdom’s abandonment of its fighters in Syria.”
“Arab Saudi khawatir akan kembalinya para jihadis yang tidak bisa
mereka kontrol ke negaranya. Untuk itu, Arab Saudi menyiapkan dua opsi.
Yang pertama adalah, jika para jihadis ini akan pulang kampung, maka
pihak kemananan Saudi melalui kedubesnya di Turki, akan melakukan
pencegahan. (Artinya, para jihadis ini akan ditahan di Turki dan tidak
bisa kembali ke Arab Saudi – pen) . Kedua, para jihadis yang masih
bertahan di Suriah akan diupayakan untuk ‘disebarkan’ di garis depan
pertempuran. (Artinya, jihadis ini diskenariokan agar tewas di dalam
pertempuran dengan Tentara Suriah, secara umum, yang berada di garis
depan peluang tewasnya jauh lebih besar karena harus berhadapan langsung
dengan lawan – pen). Kedua opsi itu, merupakan pertanda bahwa kini Arab
Saudi tengah mengulangi apa yang telah pernah mereka lakukan di
Afghanistan. Mendukung para jihadis, lalu mencampakkannya.”
Apakah kedua opsi dalam dekrit yang dikeluarkan tanggal 3 Februari
tersebut merupakan pertanda bahwa kini mereka mulai bertindak rasional?
Para jihadis di Suriah, sudah tidak perlu lagi ditanyakan
kekejamannya. Mungkin hanya di Suriah, di abad ini kita bisa menjumpai
seorang manusia memakan hati manusia. Hanya di Suriah kita menemukan
permainan sepak bola dengan menggunakan kepala manusia. Hanya di Suriah
kita bisa menemukan kepala manusia tergeletak di atas alat pemanggang
daging. Gerakan mereka tidak terkontrol, melindas habis nilai-nilai
kemanusiaan dan cinta kasih, dan apakah yang akan terjadi jika manusia
bengis ini harus kembali ke Arab Saudi? Ini terlalu beresiko dan
berbahaya, dan karenanya, Arab Saudi memilih ‘membuang’ mereka.
Bagaimana dengan kondisi psikologis dari jihadis terhadap dekrit tersebut?
Ini memunculkan masalah baru. Mereka yang kecewa karena merasa
dicampakkan, kemungkinan akan ‘balas dendam’ kepada kerajaan dengan
melakukan aksi terror yang lebih ganas dan mematikan untuk menunjukkan
kepada dunia internasional; ‘inilah teroris binaan Arab Saudi’, yang
dengan sendirinya akan semakin memperburuk citra arab Saudi di mata
dunia.
Dan pasca dikeluarkannya dekrit tersebut, Gedung Putih pun memberikan
tanggapan yaitu kepastian kunjungan Obama ke Arab pada bulan Maret
mendatang. Dengan begitu, benar bahwa tekanan Amerika merupakan faktor
lain akan perubahan sikap Arab Saudi atas Suriah.
Pihak Amerika secara resmi menunjukkan bukti-bukti dukungan Arab
Saudi dalam mendukung terorisme di Irak, Suriah, Lebanon, Yaman, dan
bahkan Rusia. Berita buruknya, berkas itu sekarang dipegang oleh lembaga
internasional, yang dapat menyebabkan kecaman di Dewan Keamanan PBB dan
bisa saja akan menobatkan Arab Saudi sebagai state sponsor of global
terrorism (negara pendukung terorisme global) yang mungkin akan berefek buruk terhadap kelangsungan rezim Saud.
Mungkinkah Arab Saudi benar-benar mengikuti keputusan Turki yang
menarik dukungannya terhadap pemberontak di Suriah, dan malah
menandatangani kesepakatan dengan Iran untuk memerangi terorisme? Atau
mungkinkah rezim Saud ini sedang memainkan peran ganda? Di satu sisi
sepertinya sudah bersikap seharusnya yaitu keluar dari gelanggang
konflik dan menghentikan dukungannya kepada para jihadis namun disaat
yang sama di sisi lain tengah menyiapkan skenario yang lebih besar
seperti yang pernah terjadi di Ghouta? Terlepas dari semua itu, Arab
Saudi hari ini sudah cukup ketakutan jika kebrutalan jihadis didikan
mereka di Suriah, akan melakukan hal yang sama di kerajaannya cepat atau
lambat. Kita masih harus menunggu.
Source :
Al Akhbar.com
LiputanIslam.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon tinggalkan pesan dan komentar anda...