Oleh : Dina Y. Sulaeman
Penggerebekan terhadap ‘terduga’ teroris di Ciputat pada malam Tahun
Baru oleh Densus 88 yang mengakibatkan kematian enam orang, memunculkan
tuduhan bahwa Densus 88 telah melanggar HAM. Bahkan Kontras telah merilis pernyataan
bahwa “Berangkat dari temuan awal dan informasi media massa, KontraS
menganggap kematian enam terduga teroris; Hidayat, Nurul Haq, Fauzi,
Rizal, Hendi, dan Edo- tidak wajar dan mengandung unsur-unsur
pelanggaran prosedur hukum serta hak asasi manusia, termasuk hak asasi
warga yang terkena dampak.”
Bahwa Densus 88 sangat berkepentingan dengan ‘proyek’ terorisme dan
menerima dana asing untuk proyek ini, memang menimbulkan kecurigaan
besar. Apalagi, seperti diungkapkan KontraS dalam pernyataannya,
terlihat memang banyak kejanggalan dalam operasi terorisme ini.
Sayangnya, fakta kejanggalan ini kemudian ‘digoreng’ pihak-pihak
tertentu untuk mengaburkan fakta soal terorisme itu sendiri. Mereka
menggunakan kesalahan Densus 88 sebagai argumen bahwa: (1) korban
‘terduga’ teroris adalah orang-orang tak bersalah, (2) korban tidak ada
kaitan sama sekali dengan terorisme, (3) dan bahkan ‘teroris’ itu
sendiri sebenarnya tidak ada, hanya buat-buatan Densus 88 untuk mencari
dana besar dari luar negeri.
Untuk kesekian kalinya di blog ini, saya mengajak kita semua untuk menjauhi logika ‘tabrir’ (menganggap kesalahan si A sebagai bukti dari ketidakbersalahan si B). Bukankah sangat mungkin, A dan B sama-sama salah?
Selain info soal kejanggalan operasi Densus, bukankah ada info lain
yang mengindikasikan bahwa memang para ‘terduga’ teroris itu ada
kaitannya dengan organisasi Islam transnasional? Coba perhatikan, sebuah group di facebook bernama “Khilafah Solusinya” memposting foto ini:
Jadi, mereka yang tewas di Ciputat disebut syuhada dan ‘berjuang‘. Berjuang apa? Kalau mereka sekelompok orang innocent,
orang biasa, apakah akan disebut ‘berjuang’ atau ‘syuhada’? Bukankah
selama ini banyak juga warga biasa yang jadi korban salah tembak polisi,
tapi mengapa tidak muncul spanduk semacam ini? Mengapa untuk
warga-warga lain yang korban salah tembak, tidak ada pembelaan gigih
yang dilakukan kelompok-kelompok Islam transnasional itu?
Selain itu, di televisi pun ditayangkan, dalam pemakaman korban
penembakan Densus 88, sebagian yang hadir membawa bendera hitam khas Al
Qaida. Dan bahkan, membawa spanduk juga, lagi-lagi menyebut para terduga
teroris ini sebagai syuhada.
Baiklah, katakan saja itu bendera netral, siapa saja bisa pakai.
Tapi, para pemerhati konflik Timteng akan sangat familiar dengan
jenis-jenis bendera. Bahkan bendera menjadi penanda yang sangat jelas,
dari mana sebuah kelompok berasal. Bendera hitam yang satu itu
sedemikian khas, sangat identik dengan Al Qaida dan afiliasinya.
Di Libya, yang disebut sebagai perjuangan NATO dan rakyat Libya untuk
‘menegakkan demokrasi’ melawan rezim ‘Qaddafi yang diktator’, tak lama
setelah Qaddafi terguling, bendera Al Qaida berkibar di Benghazi.
sumber foto: dailymail |
Di Suriah, anak-anak direkrut jadi tentara ‘jihad’ untuk menumbangkan rezim ‘kafir’ Assad. Lihat benderanya.
sumber foto: Islamtimes.com |
Di Indonesia, anak-anak pun disuruh berfoto membawa pistol, dengan
latar belakang bendera hitam dan tulisan dukungan terhadap mujahidin
Suriah dan Irak.
Selain itu, bila diperhatikan apa saja pernyataan, artikel, dan
pemberitaan yang dilakukan oleh organisasi-organisasi radikal atau
organisasi Islam transnasional Indonesia, terlihat sekali dukungan
mereka terhadap aksi-aksi Al Qaida di Suriah dan Irak. Puluhan
‘mujahidin’ asal Indonesia juga telah tewas di Suriah, sementara entah
berapa ribu lagi yang masih ada di sana. Perekrutan para ‘mujahidin’ itu
dilakukan sangat terang-terangan di internet. Tapi pemerintah tak
melakukan apa-apa. Setelah terlambat, barulah Direktur BNPT mengeluarkan
pernyataan,
‘Ada kekhawatiran kepulangan mereka akan membawa konflik di Indonesia.
Ini mencontoh kasus para ‘alumni’ Afghanistan yang kemudian membentuk
kelompok teror di Indonesia.’
Jadi, apa masih mau berlogika “tabrir”?
Artikel berikut ini, menurut saya memuat analisis yang berimbang, dan
ditulis oleh pengamat yang kompeten. Betul, Densus 88 memang layak
diinvestigasi atas pelanggaran HAM. Tapi kesalahan Densus tidak bisa
dijadikan argumen bahwa paham Islam radikal yang menghalalkan darah
‘thoghut’, ‘kafir Kristen’, ‘kafir Syiah’, ‘kafir liberal’, dll, hanya
omong kosong belaka.
—
Pemberantasan Terorisme
Oleh: Masdarsada, M.Si
(alumnus pasca sarjana Kajian Strategik Intelijen (KSI), Universitas Indonesia. Peneliti senior di Forum Dialog (Fordial))
Pada malam tahun baru 2014, terjadi operasi penggerebegan atas enam
orang terduga teroris di rumah kontrakan di Gang H Hasan di Jalan KH
Dewantoro, RT/ RW 04/07, Kelurahan Sawah, Ciputat, Tangerang Selatan
yang dilakukan oleh Densus 88 Anti Teror Mabes Polri. Dikabarkan Kapolri
Jenderal Pol Sutarman sempat mendatangi lokasi operasi, tetapi tidak
ada sesuatu elaborasi atas berita ini.
Terakhir operasi dikabarkan berhasil membunuh lima orang yang diduga
teroris dan satu orang ditangkap. Para terduga teroris yang digerebek
ini terkait dengan penembakan polisi di Pondok Aren, Tangerang Selatan,
dan bom di Vihara Ekayana. Para terduga juga diperkirakan punya kaitan
dengan kelompok Abu Roban. Polisi menyebutkan para terduga memiliki enam
rangkaian bom dan menyebutkan di rumah itu ada enam ruangan yang dapat
dipakai untuk para terduga bersembunyi.
Fakta-fakta yang terjadi sebagai akibat penembakan pasukan Densus 88
terhadap sekelompok orang yang diduga teroris, telah terjadi korban
semula seorang yang berusaha melarikan diri terbunuh dan seorang
tertangkap, selanjutnya ketika Densus 88 berhasil mendobrak sasaran
terdapat korban yang bersembunyi dalam kamar mandi lima orang. Jadi
sesuai versi terakhir ini total ada enam orang terbunuh dan seorang
tertangkap. Berita sebelumnya seluruhnya ada lima orang yang menjadi
sasaran untuk titangkap, seorang terbunuh ketika akan melarikan diri dan
satu tertangkap, sisanya tiga orang bersembunyi dalam sebuah rumah
kontrakan. Menurut versi pertama ini, tentunya didalam kamar mandi
hanya terdapat tiga orang mayat bukan lima orang.
Diberitakan tembak menembak selama sepuluh jam, tetapi setelah
gerombolan dilumpuhkan dan enam orang meninggal dan satu tertangkap
tidak disebut senjata api apa yang digunakan dan dapat dirampas dari
gerombolan yang digunakan utuk melawan selama sepuluh jam . Bahkan
dikabarkan seorang anggota Densus 88 kakinya terluka kena tembakan.
Pertempuran sepuluh jam juga dapat mengakibatkan daerah sekitar rumah
kontrakansangat rawan. Disebutkan ada ledakan dan dugaan ada enam bom
rakitan. Kalau benar telah terjadi ledakan bom seluruh bom pasti sudah
meledak semua dan rumah tempat persembunyian hancur. Ciri bahan peledak
akan ikut meledak apabila terjadi ledakan. Detonator adalah alat peledak
untuk meledakan bahan peledak yang lebih besar. Polri sendiri masih
ragu terhadap besarnya bom yang diduga dimiliki gerombolan yang
bersembunyi dalam rumah tersebut.
Rasanya ada beberapa kejanggalan faakta-fakta yang perlu klarifikasi
dalam peristiwa pnggerebegan ini utamanya untuk memastikan siapa lima
atau enam korban jiwa yang terjadi dalam penggerebegan tersebut.
Pertama, tembak menembak selama sepuluh jam tetapi tidak disebutkan
senjata api satu pucukpun dalam rumah tersebut. Disebutkan gerombolan
membawa senjata api, tetapi tidak jelas jenis dan macamnya (pistol,
laras panjang, otomatis atau tidak dsb). Kedua, lima orang yang
meninggal dalam satu kamar mandi nampaknya bersembunyi dari berondongan
senjata api Densus 88, bukan dalam posisi bersembunyi untuk melawan. Ada
laporan disebut yang diketemukan mati dalam kamar mandi tersebut tiga
orang. Ketiga, enam bom yang disebut-sebut tidak ada konfirmasi
beritanya. Kalau enam bom ini sudah meledak maka rumah itu sudah hancur,
kalau ada ledakan tetapi tidak ada sesuatu yang hancur maka yang
meledak bukan bom tetapi sekedar petasan. Ledakan yang tedengar ada
kemungkinan suara ledakan yang dilakukan untuk menjebol dinding.
Untuk mengklarifikasi masalah yang terjadi kali ini, BIN didalamnya
BNPT harus mencari klarifikasi atas beberapa kejanggalan tersebut.
Komisioner Komnas HAM, Nurcholis kepada http://www.republika.co.id
mengatakan, Komnas HAM langsung mengirim tim khusus ke lokasi
penggrebekan terduga teroris di Ciputat, Tangerang Selatan, untuk
mengumpulkan informasi terkait penggrebekan yang sampai menewaskan enam
terduga teroris. Menurutnya, Komnas HAM mendukung pemberantasan
terorisme yang dilakukan Polisi, tetapi tidak ingin tindakannya diluar
prosedur.
Pendapat senada dikemukakan Ketua Komnas HAM, Siti Noor Laila kepada http://www.tempo.co.id
menilai tewasnya enam terduga teroris Ciputat sebagai hal yang wajar,
karena para teroris melakukan perlawanan. Komnas HAM membentuk tim untuk
memantau kerja tim Densus 88 agar tidak asal tembak, karena selama ini
banyak yang diduga teroris, tidak membawa senjata, ditembak di tempat
meski tidak ada perlawanan. Laila menyarankan agar Densus 88 melakukan
pendekatan persuasif dan komunikatif, agar tidak ada salah tembak.
Menurut catatan penulis, sebenarnya Densus 88 tidak asal menembak
mati teroris, karena mereka berkepentingan menangkap teroris
hidup-hidup, karena berdasarkan data sejak tahun 2002, dari 900 teroris
yang dibekuk, hanya 90 teroris yang ditembak mati.
Sementara itu, Polri berusaha mengulangi berbagai berita yang sudah
tersiar dalam media massa dalam upaya meluruskannya pada 1 Januari 2014
siang dan sore hari. Penjelasan Polri yang dimaksudkan untuk meluruskan
berita-berita yang menimbulkan berbagai pertanyaan sebelumnya. Kepala
Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri Brigjen (Pol) Boy Rafli Amar
mengatakan, semua jenazah terduga teroris ditemukan di ruangan paling
depan rumah kontrakan yang mereka tempati. Hal itu dikatakan Boy saat
melihat lokasi penggerebekan di kawasan Kelurahan Sawah, Ciputat,
Tangerang Selatan, Rabu (1/1/2014). “Ditemukan semuanya di ruangan
paling depan setelah terjadi baku tembak dengan petugas,” kata Boy,
kepada wartawan, Rabu.
Menurut Boy, semua terduga teroris itu ditembak petugas tim Detasemen
Khusus Antiteror 88 Mabes Polri setelah menolak menyerahkan diri. Saat
permohonan penyerahan diri itu ditolak, katanya, petugas tim Densus 88
menembaki rumah kontrakan dalam keadaan gelap. Pernyataan Boy itu
meluruskan informasi sebelumnya yang menyatakan para terduga teroris
ditemukan di kamar mandi. Disebutkan bahwa tembok kamar mandi, tempat
jenazah terduga teroris itu ditemukan, hancur. Diduga, ada sebagian dari
para teroris yang tewas akibat tertimpa reruntuhan tembok. Namun, ada
pula yang tewas akibat terkena tembakan.
Berbicara mengenai kejanggalan, ternyata mereka yang diduga teroris
hanya bersenjata beberapa pistol dan revolver, sehingga daya tembaknya
sangat rendah dibanding senjata milik Densus 88 yang bersenjata senapan
laras panjang otomatik. Tembak menembak sangat tidak seimbang, para
teroris sangat mudah dilumpuhkan dengan tembakan senapan laras panjang.
Banyak kalangan mempertanyakan, mengapa Densus 88 tidak menembakan
granat asap supaya terduga teroris yang bersembunyi atau tidak mau
menyerah dapat keluar.
Ancaman Terorisme
Terlepas dari cara Densus 88 Anti Teror Mabes Polri ataupun BNPT
dalam meminimalisir ancaman terorisme, namun faktanya ancaman terorisme
masih cukup tinggi dapat terjadi di Indonesia sewaktu-waktu. Walaupun,
harus diakui juga akibat operasi dan kegiatan penggalangan yang
dilakukan jajaran intelijen khususnya BIN, maka kalangan teroris juga
semakin sulit untuk melancarkan serangannya, karena sudah mendapat cegah
dini dan antisipasi secara dini.
Menurut pengamat masalah terorisme, Noorhuda Ismail, sejumlah pelaku
teror masih akan muncul, baik dari Mujahidin Indonesia Barat maupun
Mujahidin Indonesia Timur. Noorhuda menilai, terduga teroris yang
digrebek di Ciputat adalah teroris generasi baru, yang mekanisme
perekrutannya diawali dengan debat di salah satu situs jejaring sosial,
sehingga karena proses perekrutannya sangat instan, maka loyalitas
mereka sangat kurang.
Sedangkan, Ali Fauzi yang juga adik kandung terpidana mati kasus
terorisme Bom Bali I, Amrozi dan Ali Gufron alias Muchlas, tidak ada
aksi teror selama perayaan Natal menandakan kekuatan teroris di
Indonesia sudah melemah, yang disebabkan karena empat faktor yaitu
melemahnya kelompok radikal dalam 5 tahun belakang, kelompok garis keras
kekuatannya sudah jauh menurun, meskipun tetap melakukan kaderisasi,
kelompok teroris kesulitan mendapatkan alat pemicu bom atau detonator,
disebabkan karena pasokan detonator dari luar negeri semakin menipis,
juga karena lokasinya dijaga ketat Polisi dan diawasi oleh BIN ataupun
aparat intelijen lainnya, sehingga jalurnya mulai terhambat.
Menurut catatan BNPT, masih ada sekitar 100 orang yang berpotensi
menjadi teroris, sedangkan menurut catatan penulis dari informasi
berbagai kalangan, masih ada sekitar 200 orang menjadi teroris yang
belum tertangkap, walaupun sepanjang 2012 ada sebanyak 100 orang teroris
tertangkap, serta 87 teroris diringkus selama 2013.
Menurut penulis, para teroris telah bermetamorfosis menjadi seperti
masyarakat kebanyakan, tidak lagi menonjolkan simbol-simbol khusus
seperti yang sudah-sudah. Para teroris hadir kian susah dan nyaris tidak
dikenali, tapi tiba-tiba merancang aksi yang besar. Ancaman terorisme
tetap ancaman yang nyata. (sumber: The Global Review)
Sumber : http://dinasulaeman.wordpress.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon tinggalkan pesan dan komentar anda...