Dekat
penguasa bukan berarti menjilat. Ia memanfaatkan kedekatan itu dalam
rangka amar makruf nahi munkar. Ketika kecil Muhammad Said Ramadhan
Al-Buthy tinggal di perbatasan Iraq-Suriah-Turki, bersama ayahnya
tercinta, Syaikh Mulla Ramadhan Al-Buthy. Karena kekhalifahan Al-Utsmani
jatuh, lalu Ataturk berkuasa, dan memerangi syariat Islam, maka Syaikh
Mulla mengajak Al-Buthy hijrah ke Damaskus.
Sejak tinggal di Damaskus, Al-Buthy langsung digembleng
ayahnya sendiri, yang merupakan ulama besar waktu itu. Saat usianya
menginjak sekolah dasar, sang ayah mengajarkan sejarah Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan kitab Dzakhirah Al-Labib fi
Ma’rifati Al-Habib. Setiap hari sang ayah juga mengajarkan tafsir
al-Qur`an hingga 5 sampai 6 ayat. Dalam ilmu nahwu, sang ayah juga
mewajibkan Al-Buthy menghafal bait-bait Alfiyahnya Ibnu Malik, hingga
mampu menghafalnya kurang dari satu tahun. Dan dalam usia belum baligh,
dia sudah hafal Nadzam Ghayah wa At-Taqrib karya Al-Imrithi yang
jumlahnya lebih dari seribu bait.
Lulus ibtidaiyah, ayahnya mengirim Al-Buthy kepada ulama
besar Suriah, Syaikh Hasan Habanakah Al-Maidani. Maka tak heran bila
ayah dan Habanakahlah yang sangat mempengaruhi kehidupan Al-Buthy. Hal
ini terlihat dari sikap dan penghormatan Al-Buthy kepada sang ayah.
Dr Ahmad Bassam, Rektor Universitas Ladzikiyah berkisah.
Suatu kali Al-Buthy meminta izin kepada sang ayah melalui telepon saat
hendak memperpanjang kunjungan ke Ladzikiyah. Ketika sang ayah tidak
mengizinkan, ia menurut begitu saja, tanpa ada upaya diplomasi untuk
memperoleh izin. Padahal, saat itu usia Al-Buthy sudah 40 tahun dan
menjadi Dekan di Univeristas Damaskus!
Dari Habanakah, Al-Buthy mengambil pelajaran terkait
sikapnya kepada penguasa. Habanakah pernah diajak oleh beberapa ulama
lain untuk melakukan gerakan melawan pemerintah. Namun ia menolak.
Seorang ulama bertanya kepadanya, mengapa menolak?
Lalu Habanakah balik bertanya, ”Siapa yang menggerakkan
aksi itu. Apakah kalian sendiri yang menggerakkannya?” Si penanya
menggelengkan kepala. Belakangan terkuak, penggerak aksi demo itu tak
lain adalah intelijen sendiri. Pelajaran itulah yang diambil oleh
Al-Buthy, tidak mudah bergabung dengan gerakan anti pemerintah jika
tidak jelas siapa yang menggerakannya.
Di saat berada di bawah bimbingan Habanakah, para guru
mendorongnya untuk menghafal al-Qur`an, namun sang ayah melarangnya
karena besarnya dosa mereka yang menghafalkan tetapi melupakannya. Namun
karena Al-Buthy dasarnya gemar membaca al-Qur`an, dalam 3 hari dia
berhasil menghatamkan 30 juz.
Pada umur 18 tahun Al-Buthy menikah. Lalu pada tahun 1954
dia melanjutkan belajar ke Al-Azhar Mesir. Pada saat menjadi mahasiswa,
Al- Buthy rajin menulis artikel sastra dan masalah sosial kemasyarakatan
ke koran Al-Ayyam.
Setelah memperoleh gelar sarjana dalam bidang fiqih dan
ushul fiqih, Al- Buthy ditunjuk menjadi dosen di Universitas Damaskus.
Pada tahun 1977, dia diangkat menjadi Dekan Fakultas Aqidah.
Al-Buthy jauh dari kehidupan luar, karena sibuk mengajar,
baik di Universitas Damaskus mapun di beberapa masjid seperti Masjid
Tinkiz dan Masjid Al-Iman dan Masjid Al-Umawi. Hal itu berlaku hingga
tahun 1981.
Tetap Memegang Prinsip
Pada tahun 1985 terjalin hubungan khusus antara Al-Buthy
dengan Presiden Suriah Hafidz Al-Assad. Hubungan itu terbangun dengan
dipanggilnya Al-Buthy oleh Hafidz Al-Assad, setelah dia membaca beberapa
buku karya Al-Buthy. Setelah itu, Al-Buthy sering menghadiri undangan
khusus dari Hafidz Al-Assad.
Dari hubungannya itu, Hafidz Al-Assad yang sebelumnya
dikenal amat keras terhadap gerakan Islam langsung membebaskan puluhan
tahanan politik dari para aktivis Islam, terutama Al-Ikhwan Al-Muslimun.
Dengan kejadian itu, Al-Ikhwan yang sebelumnya mengkritik keras sikap
Al-Buthy berbalik memberikan penghormatan. Salah satu tokoh Al-Ikhwan
yang mengakui hal ini adalah Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah.
Al-Buthy juga mengkritik gerakan perlawanan aktivis Muslim
di Aljazair. Kritik itu dituangkan dalam sebuah buku berjudul Al-Jihad
fi Al-Islam.
Ternyata banyak pihak yang menentang buku itu. Tetapi tiga
tahun kemudian, para pengkritik membenarkan pendapat Al-Buthy setelah
mengetahui bahwa dalang peristiwa Aljazair adalah intelijen Perancis.
Al-Buthy juga tetap konsisten. Amar makruf nahi munkar juga
terus dia tunjukan kepada pemerintah di masa Bashar Al-Assad (anak
Hafidz Al-Assad), Presiden Suriah sekarang. Baik secara terang-terangan
maupun langsung. Kritiknya terhadap kurikulum yang jauh dari Islam,
serial TV pemerintah yang isinya merendahkan nilai-nilai Islam, hingga
kasus pemecataan beberapa guru yang memakai cadar.
Pada kasus terakhir, Al-Buthy terang-terangan menyampaikan
kritik dan mengajak Pemerintah dan umat Islam bertaubat, karena di saat
yang sama pemerintah mengumumkan agar umat Islam melaksanakan shalat
Istisqa’. Alhamdulillah, pemerintah pun mengubah kebijakannya setelah
kritikan itu.
Para pengamat juga menilai bahwa keputusan Pemerintah
Suriah mendukung organisasi perlawanan Palestina juga karena pengaruh
Al-Buthy.
Meski demikian, Al-Buthy bukanlah ulama yang mendapat gaji
dari pemerintah seperti mufti negara dan mufti wilayah atau pegawai
bidang keagamaan. Bahkan dia menolak dimasukkan dalam Kementerian
Perwakafan Suriah.
Dia juga sempat ditawari menjadi pengisi tetap siaran di
televisi Aljazeera dan pernah diminta menjadi pengajar sebuah
universitas di luar Suriah, dengan tempat tinggal yang nyaman dan
memperoleh uang yang lebih dari cukup. Namun, Al-Buthy lebih memilih
mengajar di masjid-masjid Damaskus, yang telah dia lakukan selama lebih
dari 40 tahun. Al-Buthy menaggapi tawaran itu dengan menyatakan,
”Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy malu jika dihadapan Allah ditanya
mengenai nasib 5 ribu pencari ilmu yang ditinggalkan karena mencari
dunia”.
Ulama yang juga menjadi ketua Ikatan Ulama Negeri Syam ini
akhirnya tetap dalam posisinya, sebagai pengajar di beberapa masjid di
Damaskus dan kembali kepada Allah Ta’ala dalam keadaan sedang mengajar.
Dia meninggalkan lebih dari 60 karya, seperti Tarikh
Dirasat Al-Quraniyah (3 jilid), Syarh Al-Hikam Al-Athaiyah (5 jilid),
Qadhaya Fiqhiyah Muashirah (2 jilid), Ma’a An-Nas Musyawarat wa
Al-Fatawa (2 jilid), Fiqh As-Sirah An-Nabawiyah dan lain-lain. Semoga
Allah Ta’ala menerima segala amal kebaikannya dan mengampuni semua
kesalahannya. Aamiin
Source : Liputan Islam/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon tinggalkan pesan dan komentar anda...