Sebuah harian Saudi Asy-Syarq Al-Ausath
menyatakan, berlawanan dengan prediksi Amerika dan Arab Saudi, Suriah
tetap teguh menghadapi situasi perang. Meski pihak lawan mulai melemah,
pemerintahan Suriah tetap tegak dan bersatu.
Asy-Syarq Al-Ausath menulis:
“Suriah menunjukkan resistansi luar biasa terhadap serbuan dari luar
dan dalam. Tiga tahun sebelum api perang disulut, para analis yakin
Suriah akan jatuh. Namun, apa faktor yang menyebabkan negara yang nyaris
ambruk ini, bisa bertahan selama tiga tahun ? Padahal, berdasarkan
prediksi, negara ini semestinya sudah jatuh dalam bulan-bulan pertama
perang. Sebelumnya diramalkan akan muncul gerakan Alawiyyin di Suriah
yang akan merebut kekuasaan dari tangan Assad, tapi ini tidak terjadi.
Pertanyaannya, kenapa mereka masih tetap mendukung Assad?”
Harian ini menambahkan: ”Suriah bisa menjaga militer, badan
intelijen, dan pasukan keamanannya tetap loyal. Benar bahwa Alawiyyin
berada di pucuk lembaga-lembaga ini. Tapi harus diakui, banyak personel
militer, intelijen, dan keamanan Suriah yang berasal dari kalangan
Ahlussunnah, namun tetap mendukung Assad.”
Dalam lanjutan analisisnya, harian Saudi cetakan London ini menulis:
”Dukungan Iran dan Rusia kepada Suriah, dan sebaliknya, tercerai
berainya kelompok oposisi, adalah salah satu faktor resistansi Suriah.
Barat menunjukkan sikap ragu-ragu, yang kemudian dimanfaatkan Suriah.”
“Hal penting yang kita ambil dari masalah Suriah, adalah kekuatan
aliansi Iran dan pemerintahan Assad. Mereka hanya fokus pada titik
persamaan dalam hal keyakinan dan politik, serta menutup mata dari
titik-titik perbedaan. Semua tahu bahwa mazhab Itsna Asyari berbeda
dengan mazhab Nashiri (Alawi). Inilah yang menyebabkan aliansi ini masih
bertahan sejak akhir dekade 70-an, yaitu sejak masa revolusi Khomeini.”
Menurut harian ini, Musa Shadr, pemimpin Syiah Lebanon, berpendapat
bahwa perbedaan antara mazhab-mazhab Syiah harus dikurangi. Sebab itu,
pada dekade 70-an, ia menyatakan bahwa mazhab Alawi adalah mazhab Syiah.
Di masa itu, Hafez Assad juga memintanya untuk mendakwahkan mazhab
Itsna Asyari di tengah kalangan Alawiyyin. Sebab, mereka berdua tahu,
aliansi dengan Revolusi Khomeini akan memperkuat pemerintahan Assad di
jantung kawasan. Di lain pihak, Iran juga mendapat jalan untuk menambah
pengaruhnya. Demi tujuan penting inilah, dua negara ini menyingkirkan
perbedaan mazhab dan menghimpun diri di bawah payung ke-Syiahan. Hal
berbeda terjadi pada kelompok-kelompok sekuler dan Islam lain yang tak
bisa bergabung mewujudkan satu tujuan hingga akhirnya kalah.
Dalam analisis lain, Asy-Syarq Al-Ausath menulis: ”Iran dan
pasukan Pasdaran-nya memainkan peran luar biasa di Irak, yang tak bisa
ditandingi Amerika. Qasem Solaemani dengan cara-caranya, sukses
menyatukan banyak pemain-pemain politik. Kini, berbagai kelompok Irak
bersama Hizbullah, laskar Yaumul Mau`ud, dan Rabithatul Haq berjuang
membela Bashar Assad di Suriah (ISNA)
Source : http://liputanislam.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon tinggalkan pesan dan komentar anda...