Jumat, 14 Maret 2014

Membaca Manuver Rusia Dalam Konflik Ukraina


Rusia kini berubah menjadi bangsa yang berbahaya. Presiden Lituania Dalia Grybauskaite, Kamis (6/3/2014), di Brussels, Belgia, memperingatkan, setelah menginvasi Ukraina, mereka akan menyerbu Moldova dan selanjutnya negara lain. Rusia memberikan indikasi akan terus berupaya menggeser dan memperluas perbatasannya. Peringatan Grybauskaite itu disampaikan di sela-sela pertemuan darurat Uni Eropa untuk membahas sanksi bagi Rusia yang sejak sepekan terakhir terang-terangan menginvasi negara berdaulat Ukraina. Meski terus disangkal oleh Presiden Rusia Vladimir Putin dan Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov, kenyataan keberadaan 16.000 tentara Rusia di Semenanjung Crimea tak bisa disangkal. Crimea sejak sepekan terakhir praktis dikuasai militer Rusia. Mereka mengendalikan semua pusat pemerintahan dan gedung parlemen serta mengepung basis-basis militer dan menjadikan tentara Ukraina terpenjara di negerinya sendiri. Kecaman dunia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa dianggap sepi oleh penguasa Kremlin yang beralasan mereka melindungi kepentingan dan etnis Rusia di negara berdaulat Ukraina.


Di Brussels, para pemimpin negara-negara blok ekonomi Eropa yang beranggotakan 28 negara, kemarin, berdiskusi dengan ketat tentang sanksi yang hendak dijatuhkan kepada Moskwa. Sanksi bisa dihindari jika Rusia menarik pasukannya dari Crimea atau menunjukkan kesungguhan dialog untuk meredakan tensi di negara yang dahulu menjadi bagian dari Uni Soviet itu.

Menurut penulis, tidak mungkin negara-negara yang berkumpul di Brussels, Belgia bahkan termasuk Amerika Serikat berani untuk mengeluarkan sanksi buat Rusia atas keterlibatannya dalam konflik di Ukraina, karena AS secara tidak langsung sudah memprediksikan Rusia sebagai negara kuat yang perlu diperhitungkan.
 
Dalam laporan Dewan Intelijen Nasional AS (NIC) berjudul Global Trends 2025 : A Transformed World, memprediksikan AS akan mendapati Cina, Rusia dan India sebagai kekuatan baru yang mematahkan dominasi unipolarnya dan menjadi kekuatan multipolar yang berpengaruh, artinya dominasi kekuatan ekonomi, politik, dan militer AS akan merosot tajam pada 2025. Sejumlah negara di Asia Selatan dan Afrika berpotensi ambruk, jika mereka tidak berhasil menangani konflik. Dunia dalam waktu dekat akan menjadi subyek bagi meningkatnya konflik terkait sumber-sumber makanan dan air dan akan dibayang-bayangi oleh rogue state dan kelompok teroris yang mempunyai akses lebih besar terhadap senjata nuklir.
 
Apa yang terjadi di Ukraina pada hakikatnya adalah konflik perebutan pengaruh antara blok yang pro-Eropa Barat dengan blok pendukung Rusia. Pasca masa Uni Soviet, Ukraina adalah saudara kembar dari Rusia. Rusia tidak akan pernah membiarkan Ukraina jatuh ke dalam pengaruh Eropa Barat/NATO. Apa yang dilakukan ole Rusia dengan secara tersamar/terkamuflasekan mengirim militernya ke Crimea/Ukraina adalah merupakan  sisa-sisa doktrin Breshnev  pada masa Uni Soviet yang menyatakan, tentara Uni Soviet  baik dengan diminta atau tanpa diminta oleh negara-negara Eropa Timur, akan masuk kenegara Eropa Timur  apabila terjadi situasi dalam negeri yang kritis di negara Eropa Timur yang bersangkutan. Doktrin Breshnev digunakan secara besar-besaran pada saat terjadi krisis di Cekoslovakia intinya Eropa Timur selalu dikonsepsikan sebagai daerah pengaruh Rusia. Doktrin ini juga nampaknya masih digunakan untuk menghadapi negara negara bekas pecahan Uni Soviet di Asia Tengah, khususnya Khazakstan dimana peluru-peluru Balistik Antar benua diletakkan.
 
Rusia bukan hanya merupakan kekuatan kawasan, tetapi kekuatan yang berpotensi  menjadi kekuatan yang mempunyai pengaruh internasional tertentu dan merupakan salah satu pasar alutsista bagi Indonesia. Dengan tidak adanya masalah ancaman ideologi komunis, Rusia sebagai negara maju tentu merupakan potensi alternatif bagi berbagai kepentingan. Menghadapi situasi di Ukraina RI tentu harus mempunyai sikap yang luwes terhadap perkembangan di negara ini.

Sejarah Crimea cukup menunjukkan besarnya pengaruh Rusia di kawasan ini, posisi Crimea sangat strategis dalam konteks pengawasan atas laut Hitam. Sikap Rusia terhadap perkembangan di Ukraina telah membuat Rusia sangat risau, oleh karenanya Rusia nampaknya sudah bersikap tegas, resiko konflik militerpun akan dihadapi demi tetap kuatnya pengaruh Rusia di Ukraina. Ditenggelamkannya kapal-bekas milik Rusia di perairan masuk laut Hitam adalah juga konsepsi strategis yang klasik dari Rusia untuk menghalangi masuknya kapal-kapal perang Barat ke laut Hitam.
 
Suriah Dukung Rusia

Presiden Suriah Bashar al-Assad, Jumat (7/3/2014), mengatakan pengambilalihan Semenanjung Crimea oleh militer Rusia merupakan "kebijakan yang benar" Presiden Rusia Vladimir Putin. Assad menambahkan, masuknya militer Rusia ke Semenanjung Crimea adalah upaya Putin untuk memulihkan keamanan dan stabilitas di Ukraina setelah sebuah kudeta.
 
Dalam suratnya kepada Presiden Putin, Assad mengatakan keterlibatan militer Rusia di Ukraina timur berhasil menghentikan upaya kelompok teroris mengambil alih kekuasaan di Kiev. Ini adalah pernyataan pertama Assad terkait krisis politik di Ukraina dan Crimea. Pernyataan ini dirilis lewat kantor berita Suriah, SANA. Rusia adalah salah satu sekutu utama Suriah sepanjang konflik bersenjata di negeri itu yang telah menewaskan lebih dari 140.000 orang.
 
Sejak presiden Viktor Yanukovych yang pro-Moskwa terguling, ribuan personel militer bersenjata lengkap membanjiri Semenanjung Crimea, wilayah Ukraina yang sebagian besar penduduknya berbahasa Rusia.
 
Pasukan yang mengenakan seragam tanpa identitas itu menduduki sejumlah bangunan penting dan mengepung sejumlah basis militer Ukraina di wilayah itu. Meski anggota pasukan itu berbicara bahasa Rusia dan membawa peralatan standar militer Rusia, namun Moskwa membantah telah mengirim militernya ke Crimea.
 
Menurut penulis, Rusia merupakan kekuatan politik dan militer yang besar yang mendukung rejim Presiden Suriah Bashar al As’ad dalam internal konflik di Suriah. Dengan bantuan Rusia, Presidern Bashar al As’ad dengan tegar berani menghadapi golongan  oposisi di Suriah yang didukung Amerika Serikat.
 
Nampaknya dalam krisis yang terjadi di Ukraina dimana terjadi pertentangan antara golongan yang pro Barat dan golongan yang pro Rusia, khususnya di Crimea, Presiden Asaad dari Suriah membalas memberikan dukungannnya kepada Rusia.
 
Sikap Presiden Asaad dari Suriah yang mendukung Rusia, lebih didasarkan pada kepentingan politik Presiden As’ad terhadap dukungan Rusia kepada rejimnya, bukan dalam koteks perebutan pengaruh di Ukraina antara blok Barat dengan Rusia.
 
Apa yang dilakukan Rusia terhadap konflik internal di Ukraina, serta dukungan Suriah terhadap Rusia dalam kasus Ukraina semuanya mengarah kepada kepentingan nasional Rusia dan Suriah ke depan, terkait dengan konteks geostrategi mereka. Hal ini juga menunjukkan baik Rusia dan Suriah cerdas membaca arah perkembangan geopolitik global. Seperti dikatakan Nicholas Spykman mengatakan, geopolitics is the planning of state security in terms of geographic factors. Bahkan, dalam teori Bertil Haggman : geostrategi dikenal sebagai konsep yang sangat dekat dengan geopolitik. Geostraegi adalah penerapan dari geopolitik untuk perencanaan militer tingkat tinggi bertujuan dengan cara terbaik bagaimana mempergunakan pertahanan nasional dan sumber-sumber untuk penyelenggara perang.
 
Semua konflik di dunia ini selalu terkait dengan kepentingan masing-masing negara untuk mempertahankan kepentingan nasionalnya ke depan.


Penulis : M. Mubdi Kautsar Penulis adalah peneliti Fordial Jakarta dan Lembaga Analisa Politik dan Demokrasi (LAPD), Jakarta.

Source : theglobal-review.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon tinggalkan pesan dan komentar anda...