Senin, 24 Maret 2014

Analisis : Saatnya Jatuhkan Sanksi untuk Amerika Serikat....!

Boikot Amerika (http://www.amerikaos.com)
Boikot Amerika (http://www.amerikaos.com)

Amerika Serikat telah menjatuhkan sanksi pada Rusia dan akan melakukan yang sama pada Venezuela. Dalam hal ini, penting dicatat, negara mana sebenarnya yang paling merusak dan berbahaya di dunia saat ini? Demikian ungkap analis internasional, Andy Piascik.

"Saat pertanyaan itu diajukan dalam jajak pendapat internasional beberapa dekade terakhir, jawabannya tak lain dari AS. Bukan Iran, Korea Utara, Suriah, Kuba, Venezuela, Rusia, atau salah satu dari banyak negara lain yang dijelek-jelekkan kelas penguasa dan media korporasi di sini secara teratur, tapi Amerika Serikat," ujarnya.

Orang-orang di negara-negara Selatan, kata Piascik, juga tahu betul tentang hal ini dari sejarah panjang dan brutal kebijakan luar negeri AS. "Karena kita hidup dalam masyarakat tertutup seperti itu, bagaimanapun, di mana analisis kritis terhadap imperialisme secara harfiah dikecualikan dari diskusi di Washington dan media nasional, warga di sini harus mencari informasi tersebut dengan penuh kesulitan dan dalam waktu lama," imbuh kritikus kekaisaran AS ini.

Bila informasi semacam ini meresap dalam arus utama, ujar Piascik, maka pihak elit yang berkuasa akan segera menjelek-jelekkan dan menutup-tutupinya, sama seperti mereka menjelek-jelekkan tokoh internasional yang mereka anggap musuh.

Menurut Washington, lanjutnya, sanksi sedang dipertimbangkan terhadap Venezuela karena tindakan represif dan kekerasan yang disandangkan nyaris secara khusus kepada pemerintah. "Pada kenyataannya, kaum kontrarevolusionerlah yang seharusnya bertanggung jawab atas sebagian besar mereka yang tewas, termasuk setidaknya kematian seorang pengendara sepeda motor yang dipenggal oleh kawat yang tergantung di jalan," kata Piascik dengan tegas.

Taktik ini disarankan Jenderal (pur.) Angel Vivas, yang telah menjadi pahlawan kontrarevolusi atas pembangkangan bersenjata terhadap upaya pemerintah untuk menangkapnya menyusul kematian pengendara sepeda motor itu. "Bersamaan dengan itu, AS telah memberlakukan sanksi terhadap Rusia dan mengancam eskalasi militer dalam menanggapi 'serangan' ke Crimea," paparnya.

Sejarah, lanjut Piascik, mendokumentasikan pelbagai agresi langsung dan rentetan kejahatan AS lainnya yang dilakukan lewat pembiayaan bantuan senjata, dan dukungan diplomatik terhadap negara-negara klien. "Karena terlalu banyak, mari kita batasi semua itu hanya dalam 14 tahun pada abad ini," ujarnya.

Pada 2001, AS menginvasi Afghanistan, seolah-olah untuk menanggapi serangan 9/11, padahal tak seorang pun warga Afghanistan yang terlibat, sementara sebagian besarnya (pelaku yang terlibat) adalah warga Saudi. "AS tak mungkin menginvasi Arab Saudi karena ia sekutu setia dan sangat penting," tegas Piascik.

Pada 2002, lanjutnya, kaum reaksioner yang mewakili kelas super kaya Venezuela menerima dana puluhan juta dolar dari CIA, USAID, National Endowment for Democracy, dan sumber-sumber AS lainnya untuk digunakan menggulingkan pemimpin yang terpilih secara demokratis dan sangat populer, mendiang Hugo Chavez. "Rakyat Venezuela segera bangkit dan menggagalkan kudeta, namun dana, sabotase, dan subversi terus berlanjut," terang Piascik.

Kaum oligarki lama, lanjutnya, diliputi kemarahan dan frustrasi akibat kekalahan terus-menerus dalam pemilu dan di jalan-jalan. "Mereka membangkang tanpa dukungan internasional selain dari AS dan tetangganya, Kolombia," ungkap Piascik. Kekerasan baru-baru ini sejak bulan lalu menjadi momen paling serius di Venezuela sejak kudeta gagal 2002, dan kendati sudah sepenuhnya mengisolasi, AS tetap menggenjot propaganda perangnya selama 15 tahun terhadap Revolusi Bolivarian.

Pada 2003, AS secara ilegal menyerbu Irak dan menghancurkan negara itu. "Argumen yang digunakan untuk membenarkan invasi itu adalah bahwa pemimpin Irak waktu itu, Saddam, menjadi ancaman besar karena memiliki senjata pemusnah massal," imbuh Piascik.

AS tahu betul, katanya, senjata semacam itu tak ada dan invasi telah menghasilkan apa yang disebutkan beberapa laporan internasional, kematian lebih dari satu juta warga Irak. "Di tengah kehancuran, kini Irak diganggu pertempuran internal yang pahit. Pusat pertempuran itu adalah al-Qaeda, yang sama sekali tidak hadir di Irak namun sekarang menjadi kekuatan tangguh berkat invasi [AS]," tegas Piascik.

Setelah menekan Muammar Qaddafi selama beberapa dekade untuk menyerahkan senjata Libya, lanjutnya, AS secara ilegal menginvasi negara itu pada 2011, tak lama setelah ia memenuhi [tuntutan AS] itu. "Setidaknya 50 ribu orang tewas sebagai hasilnya, termasuk Qaddafi, dan Libya telah jatuh dalam kekacauan yang terus berlanjut sampai hari ini," papar Piascik.

Di tempat lain di Timur Tengah, tutur Piascik, AS terus mendukung pendudukan "Israel" yang terus meluas atas wilayah Palestina dan kembali menemukan dirinya berada di pihak yang sama dengan al-Qaeda dan teroris lainnya di Suriah saat berupaya melakukan sesuatu yang sama dengan yang diupayakan di Irak, Libya, dan Afghanistan.

Sejak 1990-an, AS mendukung pembunuh massal Paul Kagame di Rwanda seraya menggambarkannya sebagai pahlawan. "Kenyataannya, perang di Rwanda dimulai dengan invasi pada 1990 dari Uganda oleh Front Patriotik Rwanda, pasukan Kagame yang segera menjadi pimpinan," ungkap Piascik.

Mantan Sekretaris Jenderal PBB, Boutros Gali (mengutip Robin Philpot dari Counterpunch) menyalahkan AS atas dukungannya terhadap Kagame dan RPF, yang menurut beberapa laporan, bertanggung jawab atas lebih dari satu juta, bahkan mungkin beberapa juta, kematian di Rwanda. "Genosida Rwanda 100 persen tanggung jawab AS," tegasnya.

Di Amerika Latin, lanjut Piascik, selain mendukung kaum kontrarevolusi di Venezuela, AS terus melancarkan Perang Melawan Narkoba di Kolombia yang kenyataannya merupakan perang melawan rakyat yang dirancang untuk menghancurkan oposisi terhadap dominasi modal global. "Dan pada 2009, AS nyaris sendirian mengakui pemerintahan kudeta yang berkuasa di Honduras setelah menggulingkan pembaharu yang terpilih secara demokratis, Manuel Zelaya," paparnya.

Kekerasan AS tidak terbatas pada negara lain. "Di dalam negeri, contoh terbaik diilustrasikan oleh pemenjaraan besar-besaran warga Amerika keturunan Afrika (berkulit hitam)," ujar Piascik.

Dengan tingkat penahanan tertinggi di dunia dan sebagian besar tahanan berkulit hitam serta kekerasan polisi yang makin hakim sendiri dan kini terus berlangsung nyaris secara khusus ditujukan pada warga kulit hitam, AS tidak jauh beda dari Afrika Selatan di masa apartheid. "Mungkin diperlukan sanksi internasional untuk mengubah AS menjadi negara pariah, dan mengisolasinya secara diplomatik guna membantu negara paling berbahaya di dunia itu mendapatkan dosis peradaban," kata Piascik dengan geram.

Dan rakyat AS memikul tanggung jawab khusus untuk menentang agresi pemerintahnya maupun pendanaan dan upaya mereka mempersenjatai orang-orangnya yang terlibat dalam teror di seluruh dunia. 
 
Source : Islam Times/IT/GR/rj

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon tinggalkan pesan dan komentar anda...