Selasa, 18 Maret 2014

Crimea Lepas Ke Rusia, Para Pejabat Rusia Kena Sanksi, Warga Donetsk Mulai Begolak...

Presiden Rusia Akui Crimea sebagai Negara Merdeka


Presiden Rusia Vladimir Putin telah menandatangani sebuah dekrit resmi mengakui Crimea sebagai negara berdaulat setelah deklarasi kemerdekaan semenanjung tersebut.
Dekrit yang ditandatangani pada Senin (17/3) dan diposting di situs Kremlin itu tampaknya merupakan langkah pertama menuju penyatuan Crimea dengan Federasi Rusia.

Menurut surat keputusan itu, Moskow mengakui Crimea sebagai negara merdeka berdasarkan kehendak rakyat Crimea.

Pada Ahad, 96,8 persen warga Crimea memilih untuk memisahkan diri dari Ukraina dan bergabung dengan Rusia.

Hasil referendum tersebut telah memicu reaksi kemarahan Amerika Serikat dan Uni Eropa. Washinton dan Uni Eropa akan mengambil tindakan anti-sejumlah pejabat Rusia dan pihak berwenang di Crimea.
 
Moskow segera mengecam langkah itu. Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Ryabkov menggambarkan sanksi sebagai "pendekatan yang tidak seimbang dan benar-benar mengabaikan realitas".
Dewan Tertinggi Krimea dalam sebuah keputusan pada Senin menyatakan kemerdekaan dari Ukraina dan secara resmi menerapkan untuk bergabung dengan Rusia setelah semua dari 85 anggota parlemen yang hadir mendukung memisahkan diri dari Ukraina.
 
Keputusan tersebut juga mendesak masyarakat internasional untuk menghormati keputusan Crimea.
"Republik Crimea mengimbau PBB dan semua negara di dunia untuk mengakui Crimea sebagai sebuah negara merdeka," kata keputusan itu.

Selain itu, Dewan Tertinggi Crimea mengumumkan bahwa semua properti Ukraina di Crimea akan dinasionalisasi.

Para Pejabat Rusia Reaksi Sanksi dengan Bangga


Ketua parlemen Rusia dan mantan wakil perdana menteri mengecam sanksi yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat terhadap para pejabat Rusia.
 
Valentina Matviyenko kepada Interfax, Senin (16/3) menyatakan bahwa sanksi Gedung Putih terhadapnya dan sepuluh pejabat Rusia, serta para individu dari Crimea dan Ukraina merupakan sebuah yang "belum pernah terjadi sebelumnya" bahkanselama Perang Dingin.
 
"Ini adalah pemerasan politik ... pemerintah AS tahu bahwa saya tidak memiliki rekening, aset atau properti di luar negeri," ujar Matviyenko.
 
"Saya selalu membela dan akan tetap membela kepentingan nasional Rusia, bukan kepentingan geopolitik Barat. Tidak ada yang bisa mengintimidasi kami," tambahnya.
 
Senin (16/3/), Presiden AS Barack Obama mengeluarkan perintah eksekutif yang memberlakukan sanksi kepada 11 individu dari Rusia, Crimea dan Ukraina karena "berkontribusi dalam kriss terhadap situasi di Ukraina."
 
Obama menginstruksikan pembekuan aset para pejabat yang berada di Amerika Serikat atau "yang datang di Amerika Serikat." Instruksi itu juga melarang individu tersebut bepergian ke Amerika Serikat.
 
Sanksi diberlalukan setelah hampir 97 persen pemilih di Crimea sebagai pada tanggal 16 Maret mendukung pemisahan diri dari Ukraina dan bergabung dengan Rusia.
 
Sanksi oleh Gedung Putih itu juga memicu kemarahan para pejabat Rusia, termasuk Yelena Mizulina, anggota Duma, yang menyebut sanksi "pelanggaran nyata" terhadap hak-haknya sebagai warga negara dan politisi.
 
Sementara itu, Vladislav Surkov, penasihat senior Presiden Rusia Vladimir Putin, mengatakan bahwa pencantuman namanya dalam daftar sanksi AS merupakan sebuah kehormatan besar baginya.
 
Wakil Perdana Menteri Dmitry Rogozin juga mereaksi sanksi itu dengan ungkapan menarik.
 
Rogozin menyatakan dalam statusnya di Twitter bahwa ia akhirnya mendapatkan pengakuan dunia.
 
Uni Eropa juga telah memberlakukan sanksi terhadap 21 orang , termasuk tiga komandan senior Rusia, Perdana Menteri Crimea, wakil ketua Duma serta sejumlah pejabat senior.

Warga Donetsk Bentuk Pos Pemeriksaan



Warga kota Donetsk di timur Ukraina mendirikan pos-pos pemeriksaan untuk mencegah militer negara itu mendekati perbatasan dengan Rusia.
 
Pos-pos pemeriksaan itu didirikan oleh Milisi Nasional Donetsk - sebuah kelompok pasukan relawan pro-Rusia.
 
Kelompok itu mengatakan sedikitnya 100 militan bergabung dengan kelompok tersebut, dan 20 orang ditugaskan berjaga di setiap pos pemeriksaan.
 
Pada hari Ahad, ribuan warga Donetsk berdemonstrasi, menuntut referendum bergabung dengan Rusia.
 
Sejumlah demonstran menyerbu Kantor Jaksa Agung, menurunkan bendera Ukraina dari puncak gedung dan mengibarkan bendera Rusia.
 
Kota industri terletak dekat perbatasan Rusia dan dianggap sebagai kubu presiden terguling Ukraina Viktor Yanukovych.
 
Dewan kota Donetsk menolak mengakui pemerintahan baru Ukraina dan menyerukan referendum mengenai status wilayah ini.
 
Ini terjadi di saat Crimea telah mendeklarasikan kemerdekaannya dari Ukraina pada hari Senin dan secara resmi menjadi bagian dari wilayah Rusia menyusul hasil referendum pada hari Ahad, di mana 96,8 persen warga Crimean mendukung pemisahan diri dari Ukraina.
 
Parlemen Crimea sebelumnya telah mengesahkan putusan penggabungan dengan Rusia setelah semua 85 dari 100 anggota parlemen sebagai mendukung pemisahan diri dari Ukraina.
 
Ukraina dicengkeram krisis politik sejak November 2013, ketika Yanukovych menolak mendandatangani Perjanjian Asosiasi dengan Uni Eropa dan mendukung hubungan lebih dekat dengan Rusia.


Source : MZ, RT, IRIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon tinggalkan pesan dan komentar anda...