Jumat, 07 Maret 2014

Laporan TV Saudi: "Sesama Saudi Saling Bunuh di Suriah"....?

Sulaiman al-Subaie
Sulaiman al-Subaie
Televisi pemerintah Saudi untuk pertama kalinya menyiarkan pengakuan dari seorang jihadis yang kembali dari Suriah.

Sulaiman al-Subaie, 25 tahun memposting berbagi aplikasi video yang dikabarkan saat bergabung dengan kelompok petempur paling bengis di Suriah, Negara Islam Irak dan Levant (ISIL) pada Agustus tahun lalu.

"Situasi di Suriah tidak seperti yang digambarkan di media," kata Subaie dalam wawancara langka yang ditayangkan televisi Saudi pada Rabu malam, 05/03/14.

"Apa yang luar biasa adalah bahwa Saudi membunuh sesama Saudi dalam pertempuran antara ISIL dan Front al-Nusra cabang al-Qaida di Suriah.

Subaie dalam pengakuan itu mengatakan, kematian saudaranya dalam jihad dan gambar anak-anak Suriah yang tewas mendorongnya untuk bergabung dalam perang di Suriah dan bergabung dengan al-Qaeda.

"Aku pergi ke Qatar, dari sana saya melakukan perjalanan ke Turki sebelum digiring ke Suriah dengan bantuan para penyelundup.

"Dia (penyelundup) ingin saya bergabung dengan Front al-Nusra, tetapi saya diberitahu bahwa saya sekarang telah menjadi anggota dari ISIL," katanya.

Subaie kemudian memutuskan untuk keluar dari grup Takfir itu setelah menyadari bahwa akun Twitter-nya, diikuti oleh ribuan warga Arab Saudi dan digunakan untuk menyiarkan pesan hasutan kekerasan terhadap penguasa dan ulama di Arab Saudi.

Dia kemudian melarikan diri kembali ke Turki dan kembali ke kerajaan Saudi, dan ditahan oleh Kerajaan.

Sejauh ini tidak ada angka resmi mengenai jumlah warga Saudi yang bergabung dalam barisan jihadis di Suriah, tetapi mereka diperkirakan mencapai ratussan bahkan ribuan orang.

Sampai sejauh ini nasib Subaie itu tidak diumumkan oleh kerajaan.

Negara Islam Irak, yang kemudian menjelma menjadi jaringan Negara Islam Irak dan Levant atau Syam (ISIS), menurut riset lembaga tanki pemikiran Fajr Media Center menyebutkan al-Qaeda tidak pernah diberitahu dan tidak pernah diajak konsultasi mengenai berdirinya ISIS. Menurut lembaga itu, belakangan al-Qaeda menyerukan pembubaran ISIS. Organisasi itu bahkan menekankan bahwa ISIS bukanlah cabang dari Qaedat al-Jihad [al-Qaeda].

Pada November 2013, Ayman al-Zawahiri, tokoh sentral gerakan teroris global menyerukan pembubaran ISIS, dan menyatakan bahwa ISIS adalah saingan utama Front al-Nusra. Yang terakhir, lahir dari rahim ISIS, dibaptis sebagai cabang resmi al-Qaeda di Suriah.

Di tengah posisi yang saling bertentangan ini, yang ditingkahi dengan penerbitan berlebihan fatwa kemurtadan satu sama lain, publik kiranya perlu kembali ke awal pertikakain. Sebenarnya semua indikasi menunjukkan bahwa pemimpin Front al-Nusra, Abu Mohammed al-Golani, memberontak melawan pimpinan ISIS, al-Baghdadi.

Hubungan antara ISIS dan Front al-Nusra bisa merujuk pada invasi Amerika Serikat atas Irak pada 2003. Saat itu, 16 kelompok ekstremis Takfiri bertempur melawan pasukan koalisi pimpinan Amerika di Irak. Mereka termasuk Jaysh Ahl al-Sunna, Ansar al-Islam, Jaysh al-Sahaba, Jaysh al-Khilafah, Jaysh Mohammad, dan al-Tawhid wal Jihad yang dipimpin oleh Abu Musab al-Zarqawi. Yang terakhir, berasal dari Yordania, sudah lebih dulu menyatakan baiat (sumpah setia) kepada pemimpin al-Qaeda saat itu, Osama bin Laden.

Setelah al-Zarqawi berjanji setia kepada al-Qaeda, dia mengubah nama kelompoknya menjadi al-Qaeda di Mesopotamia. Kemudian, al-Qaeda yang terbentuk dari kelompok-kelompok takfiri ke dalam aliansi ini disebut Hilf al-Mutayibin dan Abu Bakr al-Baghdadi terpilih sebagai emirnya. Belakangan, Baghdadi membentuk Negara Islam Irak dengan tujuan untuk mendirikan sebuah kekhalifahan di daerah di mana umat Sunni merupakan mayoritas di Irak (Propinsi Fallujah).

Menurut pemahaman para Takfiri, langkah itu diperlukan karena Fallujah praktis telah berada di bawah kendali mereka. Mereka perlu tangan-tangan "negara" untuk mengelola urusan mereka yang banyak. Nah, gagasan inilah yang belakangan menjadi benih perselisihan dan inti masalah perpecahan antar faksi takfiri.

Dengan semua langkah itu, al-Baghdadi mengikuti jejak pemimpin Taliban Mullah Omar saat mendeklarasikan Emirat Negara Islam di Afghanistan. Ini semacam metamorfosa politik al-Baghadadi, dari seorang emir kelompok untuk menjadi seorang emir negara. Hal yang sama dapat dikatakan terjadi pada kelompok Ansar al-Sharia di Yaman, dan emirat al-Qaeda di Mali.

al-Baghdadi kemudian menganggap dirinya sebagai emir berkuasa yang levelnya di atas al-Zawahiri yang digambarkanya sekadar emir kelompok -- sekalipun al-Zawahiri notabene emir global jaringan teroris di seluruh dunia. Gambaran itu dilatari fakta al-Zawahiri tidak mengontrol suatu wilayah geografis yang di dalamnya Syariah ditegakkan. [IT/ONH/Ass]
Sumber: http://www.arabnews.com/news/517196, https://twitter.com/BeezMaan, Islam Times.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon tinggalkan pesan dan komentar anda...