Rabu, 12 Maret 2014

Analisis : Siapa Agresor Sebenarnya, Rusia atau AS...?


Putin vs Obama (abcnews)
Putin vs Obama (abcnews)
Saat krisis di Ukraina terus diabadikan, salah satu aspek yang sangat mencolok darinya adalah bahasa yang digunakan media dan politisi Barat dalam menggambarkan Rusia dan Presiden Vladimir Putin. Demikian ungkap analis hubungan internasional sekaligus pendiri Global Political Insight, Alexander Clarkson.

"Negara dan pemimpinnya itu dicap sebagai agresor, penjajah, pembangun kerajaan, dan bahkan dibandingkan dengan Nazi Jerman," ujar Clarkson. Dalam bidang psikologi, lanjutnya, terdapat istilah untuk menggambarkan mekanisme pertahanan--proyeksi, yang dicirikan dengan memproyeksikan perasaan yang tidak diinginkan ke pihak lain.

"Mungkin, AS dan sekutu Baratnya mengalami lonjakan proyeksi, sebagai cara mereka menggambarkan Rusia tidak hanya keliru, tapi juga tepat untuk menggambarkan kekuatan Barat," imbuh Clarkson.

Sejak Presiden Vladimir Putin berkuasa pada tahun 2000, terlepas dari krisis terbaru di Ukraina, lanjutnya, Rusia telah terlibat dalam dua konflik besar: Perang Chechnya 1999 dan 2009, serta "Lima Hari Perang" melawan Georgia pada 2008. "Dalam kedua peristiwa ini, boleh dibilang dengan beberapa kepastian bahwa Rusia tidak menghasut konflik, dan bahkan bertindak membela diri," tegasnya.

Konflik Chechnya dimulai pasca invasi Dagestan, lanjut Clarkson, saat Islam Brigade Chechnya berbasis International (IIB), milisi Wahhabi [yang diam-diam didukung CIA] yang dipimpin panglima perang Shamil Basayev dan Ibn al-Khattab, menyerbu Republik Rusia Dagestan pada 2 Agustus 1999, untuk mendukung pemberontak separatis Syura Dagestan. "Rusia hanya diberi sedikit pilihan selain memasuki Chechnya pada 1 Oktober," katanya.

Kampanye ini, ujar Clarkson, berujung dengan kemerdekaan de facto Republik Ichkeria Chechnya dan pulihnya kembali kendali pemerintahan federal Rusia atas wilayah tersebut. "Meski terjadi perdebatan tentang apakah itu merupakan konflik 'asing' atau bukan, namun cukup masuk akal untuk menyatakan bahwa krisis itu bersifat internal," lanjutnya.

Konflik dengan Georgia, kata Clarkson, mengikuti garis yang sama dengan peristiwa di Chechnya. Mulai dari tanggal 7 (malam) sampai 8 Agustus 2008, Georgia melancarkan serangan militer besar-besaran terhadap Ossetia Selatan untuk merebut kembali wilayah itu. "Langkah ini benar-benar tak beralasan," ujarnya.

Serangan Georgia itu, lanjut Clarkson, memakan korban pasukan penjaga perdamaian Rusia, yang menolak serangan bersama milisi Ossetia. "Rusia [tentu] berhak bereaksi dengan mengerahkan Angkatan Darat Rusia unit ke-58 dan pasukan udaranya ke Ossetia Selatan sehari kemudian, serta meluncurkan serangan udara terhadap pasukan Georgia di Ossetia Selatan dan menarget sasaran militer serta logistik di Georgia," paparnya.

"Kini mayoritas pakar, pengamat, dan duta besar menyetujui bahwa perang itu memang dimulai oleh pihak Georgia," tandas Clarkson.

Sejak Putin menjabat presiden, lanjut Clarkson, Rusia tidak pernah diserang atau menyerang negara lain, kecuali terdapat provokasi yang jelas dari pihak lawan. "Fakta ini tampaknya sudah diketahui para pemimpin dan media Barat yang terus menggambarkan Rusia sebagai negara menakutkan dan tak bisa ditebak," ujarnya.

Liputan seputar peristiwa di Ukraina, terutama di Crimea, papar Clarkson, memunculkan kesan bahwa media begitu bernafsu menggambarkan Rusia sebagai bangsa yang berkali-kali melanggar hukum internasional dan kedaulatan negara lain. "Padahal yang sebenarnya, justru sebaliknya," lanjutnya.

Dapatkah krisis di Crimea disebut "invasi"? "Pertama-tama, tak ada darah tertumpah dan tak ada pertempuran atau bahkan tembakan, kecuali tembakan peringatan ke udara," tegas Clarkson.

Terdapat sebuah dalih yang digaungkan bahwa Rusia telah melanggar kedaulatan teritorial Ukraina, ujar Clarkson. "Padahal, mesti dicatat bahwa baik Crimea maupun Rusia tidak mengakui pemerintahan interim Ukraina saat ini dan dengan demikian bagi keduanya, wilayah Ukraina benar-benar berada di bawah anarki dan kekacauan," lanjutnya.

Terkait insiden yang didokumentasikan tentang kekerasan neo-Nazi di Kiev dan bagian lain Ukraina, ujar Clarkson, sudah jadi tanggung jawab Rusia untuk menjamin bahwa etnis Rusia di Crimea dilindungi. "Mari kita ingat baik-baik bahwa Rusia tidak mengklaim Crimea sekarang sebagai milik Federasi Rusia," catatnya.

Mereka, ujar Clarkson, hanya menempatkan pasukannya untuk menjaga perdamaian di wilayah tersebut. "Tergantung hasil referendum mendatang tentang status Crimea pada 16 Maret lalu, Rusia tak akan ragu mengambil tindakan yang tepat, yaitu hengkang jika Crimea memilih tetap menjadi bagian Ukraina, atau tinggal di situ jika warga Crimea memilih menjadi bagian Rusia," lanjutnya.

Sementara Rusia selalu mematuhi hukum internasional dan seutuhnya menunjukkan selama 14 tahun terakhir tidak melakukan agresi, ujar Clarkson, AS dan NATO justru sebaliknya. "AS sendiri telah melakukan intervensi di negara berikut: Sierra Leone, Nigeria, Yaman, Afghanistan, Filipina, Côte d'Ivoire, Irak, Georgia, Haiti, Djibouti, Kenya, Ethiopia, Eritrea, Pakistan, Libanon, Somalia, Libya, Uganda, Jordan, Chad, Mali, dan Turki," paparnya.

NATO juga terlibat dalam intervensi Bosnia and Herzegovina, Kosovo, Perang Afghanistan, dan yang terbaru adalah Libya, ujar Clarkson. "Di mana terhadap dua yang terakhir, [NATO] menciptakan malapetaka yang membuat negara-negara itu hancur berantakan dan anarkis," lanjutnya.

Selain itu, NATO juga melanggar janjinya terhadap Rusia, terang Clarkson. "Mikhail Gorbachev dilaporkan setuju untuk mengizinkan reunifikasi Jerman dalam NATO setelah NATO berjanji tidak akan memperluas wilayah 'se-inci pun ke timur'," lanjutnya.

Namun pada 1999, ungkap Clarkson, Polandia, Hungaria, dan Republik Ceko bergabung dengan NATO, meskipun Pakta Pertahanan Atlantik Utara itu mengklaim tidak berencana memperluas [koloninya] setelah berakhirnya Perang Dingin. "Ekspansi lain datang dengan pengesahan negara Eropa Tengah dan Timur: Estonia, Latvia, Lithuania, Slovenia, Slovakia, Bulgaria, dan Romania," tegasnya.

Baru-baru ini, lanjut Clarkson, Albania dan Kroasia bergabung pada 1 April 2009, sesaat sebelum KTT Strasbourg-Kehl 2009. "Ekspansi masa depan saat ini menjadi topik perdebatan di banyak negara," ujarnya.

Siprus dan Macedonia terhenti pengesahan masing-masing, ungkap Clarkson, sementara Turki dan Yunani menunggu penyelesaian sengketa di antara mereka. "Negara-negara lain yang... akhirnya bergabung termasuk Bosnia dan Herzegovina, Montenegro, dan Georgia," lanjutnya.

Karena itu, kekhawatiran Putin benar adanya, bahwa NATO punya misi mengepung Rusia, tegas Clarkson. "Keterlibata Uni Eropa dan AS baru-baru ini di Ukraina hanya memperburuk kekhawatiran tersebut," lanjutnya.

Mengingat permusuhan yang dihadapi Rusia setiap hari dari kalangan politisi dan media Barat, apakah mengejutkan jika Rusia menentang keras pemerintah dukungan Barat apapun di Ukraina, terutama setelah revolusi yang dicurigai dibiayai AS?

Serangan terbaru terhadap Rusia tidak hanya keliru dan munafik, namun juga menggambarkan nafsu Barat untuk mendiskreditkan dan memfitnah Rusia demi tujuan geopolitisnya sendiri, kata Clarkson. "Alhasil, pelbagai peristiwa sepanjang dekade terakhir dengan jelas menggambarkan bahwa pihak Baratlah yang agresif dan intervensionis, dan NATO-lah yang berencana membangun kekaisaran, bukan Rusia," tandasnya.
 
 
Source : Islam Times/IT/GR/rj

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon tinggalkan pesan dan komentar anda...