Original Source : http://indocropcircles.wordpress.com/
Pembunuhan tahanan Tionghoa saat pembantaian |
Geger Pacinan… Sejarah yang terpendam…
Geger Pacinan, juga dikenal sebagai Tragedi Angke (dalam bahasa Belanda: Chinezenmoord, yang berarti “Pembunuhan orang Tionghoa”) merupakan sebuah pogrom terhadap orang keturunan Tionghoa di kota pelabuhan Batavia, Hindia-Belanda (sekarang Jakarta).
Pogrom adalah adalah istilah
serangan penuh kekerasan besar-besaran yang terorganisasi atas sebuah
kelompok tertentu, etnis, keagamaan, atau lainnya, yang dibarengi oleh
penghancuran terhadap lingkungannya (rumah, tempat usaha, pusat-pusat
keagamaan, dll.)
Kekerasan dalam batas kota Batavia ini
berlangsung dari 9 Oktober hingga 22 Oktober 1740, sedangkan berbagai
pertempuran kecil terjadi hingga akhir November di tahun yang sama.
Keresahan dalam masyarakat Tionghoa
dipicu oleh represi pemerintah dan berkurangnya pendapatan akibat
jatuhnya harga gula yang terjadi menjelang pembantaian ini.
Untuk menanggapi keresahan tersebut, pada sebuah pertemuan Dewan Hindia (Raad van Indië), badan pemimpin Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), Guberner-Jenderal Adriaan Valckenier menyatakan bahwa kerusuhan apapun dapat ditanggapi dengan kekerasan mematikan.
Pernyataan Valckenier tersebut
diberlakukan pada tanggal 7 Oktober 1740 setelah ratusan orang keturunan
Tionghoa, banyak di antaranya buruh di pabrik gula, membunuh 50 pasukan
Belanda. Penguasa Belanda mengirim pasukan tambahan, yang mengambil
semua senjata dari warga Tionghoa dan memberlakukan jam malam.
Dua hari kemudian, setelah ditakutkan
oleh isyu dan desas-desus tentang kekejaman etnis
Tionghoa, kelompok
etnis lain di Batavia mulai membakar rumah orang Tionghoa di sepanjang
Kali Besar.
Kekerasan ini dengan cepat menyebar di seluruh kota Batavia sehingga lebih banyak orang Tionghoa dibunuh.
Meski Valckenier mengumumkan bahwa ada
pengampunan untuk orang Tionghoa pada tanggal 11 Oktober, kelompok
pasukan tetap terus memburu dan membunuh orang Tionghoa hingga tanggal
22 Oktober, saat Valckenier dengan tegas menyatakan bahwa pembunuhan
harus dihentikan.
Di luar batas kota, pasukan Belanda terus
bertempur dengan buruh pabrik gula yang berbuat rusuh. Setelah beberapa
minggu penuh pertempuran kecil, pasukan Belanda menyerang markas
Tionghoa di berbagai pabrik gula. Orang Tionghoa yang selamat mengungsi
ke Bekasi.
Diperkirakan bahwa lebih dari 10.000
orang keturunan Tionghoa dibantai. Jumlah orang yang selamat tidak
pasti, ada dugaan dari 600 sampai 3.000 yang selamat.
Pada tahun berikutnya, terjadi berbagai
pembantaian di seluruh pulau Jawa. Hal ini memicu suatu perang selama
dua tahun atau yang dikenal dengan “Perang Jawa (1741–1743)” , dengan tentara gabungan Tionghoa dan Jawa melawan pasukan Belanda.
Setelah itu, Valckenier dipanggil kembali
ke Belanda dan dituntut atas keterlibatannya dalam pembantaian ini,
Gustaaf Willem van Imhoff menggantikannya sebagai gubernur jenderal.
Hingga zaman modern, pembantaian ini kerap ditemukan dalam sastra
Belanda. Pembantaian ini mungkin juga menjadi asal nama beberapa daerah
di Jakarta.
Sekilas Tentang “Perang Jawa” (1741–1743)
Perang Jawa atau juga disebut “Perang Tionghoa”
terjadi dari tahun 1741 hingga 1743, adalah konflik bersenjata antara
gabungan tentara Tionghoa dengan Jawa melawan pemerintah kolonial
Belanda yang meletus di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Belanda berhasil memenangkan perang ini, yang mengakibatkan jatuhnya Kesultanan Mataram dan secara tidak langsung mengarah ke pendirian Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.
Setelah tentara Belanda membantai 10.000
orang Tionghoa di Batavia (sekarang Jakarta), beberapa orang yang
selamat yang dipimpin oleh Khe Pandjang pergi ke Semarang.
Meskipun telah diperingati bahwa pemberontakan akan segera meletus, kepala militer VOC atau Vereenigde Oostindische Compagnie, Bartholomeus Visscher mengabaikan nasihat yang masuk dan tidak menyiapkan bala bantuan.
Mataram terbagi pada tahun 1830, setelah Perang Jawa.(The divided Mataram in 1830, after the Java War) |
Akibatnya, Sunan Mataram Pakubuwono II memilih untuk mendukung orang Tionghoa, sementara berpura-pura membantu orang Belanda.
Setelah korban pertama berjatuhan pada 1 Februari 1741 di kota Pati, pemberontakan menyebar ke seluruh Jawa Tengah.
Orang Jawa turut membantu orang Tionghoa
dengan berpura-pura bertempur melawan orang Tionghoa tersebut, agar
orang Belanda mengira bahwa mereka didukung orang Jawa.
Tipuan menjadi semakin jelas dan tentara
Tionghoa terus mendekati Semarang. Setelah merebut Rembang, Tanjung, dan
Jepara, tentara gabungan mengepung Semarang pada Juni 1741.
Visscher kemudian memerintahkan untuk menghabisi semua orang Tionghoa di Jawa. Pangeran Cakraningrat IV dari Madura menawarkan bantuan, dan dari Madura ke arah barat ia membantai semua orang Tionghoa yang dapat ditemui dan memadamkan pemberontakan di Jawa Timur.
Pada akhir tahun 1741, pengepungan kota Semarang berhasil dipatahkan setelah tentara Pakubuwono II melarikan diri karena tentara Belanda memiliki senjata api yang lebih kuat.
Begitu Belanda berhasil merebut kembali semua kota di pantai utara Jawa, para pemberontak menyerang ibukota Pakubuwono II di Kartosuro, sehingga ia terpaksa melarikan diri bersama keluarganya.
Cakraningrat IV merebut kembali kota tersebut pada Desember 1742, dan pada awal 1743 pemberontak Tionghoa terakhir telah menyerah. Setelah perang ini berakhir, orang Belanda semakin menancapkan kekuasaannya Jawa melalui perjanjian dengan Pakubuwono II.
Latar Belakang Kejadian “Geger Pacinan” (Pembantaian Glodok)
Kembali ke tragedi Pembataian Glodok atau Geger Pacinan, pada periode awal kolonialisasi Hindia-Belanda oleh Belanda, banyak orang keturunan Tionghoa dijadikan tukang dalam pembangunan kota Batavia di pesisir barat laut pulau Jawa. Mereka juga bertugas sebagai pedagang, buruh di pabrik gula, serta pemilik toko.
Perdagangan antara Hindia-Belanda dan Tiongkok, yang berpusat di Batavia, menguatkan ekonomi dan meningkatkan imigrasi orang Tionghoa ke Jawa. Jumlah orang Tionghoa di Batavia meningkat pesat, sehingga pada tahun 1740 ada lebih dari 10.000 orang. Ribuan lagi tinggal di luar batas kota.
Pemerintah kolonial Belanda mewajibkan mereka membawa surat identifikasi, dan orang yang tidak mempunyai surat tersebut dipulangkan ke Tiongkok. Kebijakan deportasi ini diketatkan pada dasawarsa 1730-an, setelah pecahnya epidemik malaria yang membunuh ribuan orang, termasuk Gubernur Jenderal Dirk van Cloon.
Menurut sejarawan Indonesia Benny G.
Setiono, epidemik ini diikuti oleh meningkatnya rasa curiga dan dendam
terhadap etnis Tionghoa yang jumlahnya semakin banyak dan kekayaan yang
semakin menonjol.
Akibatnya, Komisaris Urusan Orang Pribumi, Roy Ferdinand, di bawah perintah Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier, memutuskan pada tanggal 25 Juli 1740 bahwa warga keturunan Tionghoa yang mencurigakan akan dideportasi ke Zeylan (kini Sri Lanka) dan dipaksa menjadi petani kayu manis.
Warga keturunan Tionghoa yang kaya diperas penguasa Belanda, yang mengancam mereka dengan deportasi. Stamford Raffles, seorang penjelajah asal Inggris dan ahli sejarah pulau Jawa, mencatat bahwa orang Belanda diberi tahu Kapitan Cina (pemimpin etnis Tionghoa yang ditentukan Belanda) untuk Batavia, Ni Hoe Kong, agar mendeportasikan semua orang Tionghoa berpakaian hitam atau biru, sebab merekalah yang miskin.
Ada pula desas-desus bahwa orang yang dikirimkan ke Zeylan tidak pernah sampai ke sana, tetapi justru dibuang ke laut atau bahwa mereka mati saat membuat kerusuhan di kapal.Ancaman deportasi ini membuat orang Tionghoa resah, dan banyak buruh Tionghoa meninggalkan pekerjaan mereka.
Sementara, penduduk pribumi di Batavia, termasuk orang-orang dari pernikahan campuran di Batavia sebagai pemilik wilayah (kini suku Betawi), menjadi semakin curiga terhadap orang Tionghoa. Masalah ekonomi ikut berperan, sebagian besar penduduk pribumi miskin dan beranggapan bahwa orang Tionghoa yang tinggal di daerah-daerah menjadi terkemuka dan sejahtera.
Biarpun sejarawan Belanda A.N. Paasman mencatat bahwa orang Tionghoa menjadi “bak orang Yahudi untuk Asia”,keadaan sebenarnya lebih rumit. Banyak orang Tionghoa miskin yang tinggal di sekitar Batavia merupakan buruh di pabrik gula, yang merasa dimanfaatkan para pembesar Belanda dan Tionghoa lainnya.
Orang Tionghoa yang kaya memiliki pabrik dan menjadi semakin kaya dengan mengurus perdagangan, mereka mendapatkan penghasilan dari pembuatan dan distribusi arak, sebuah minuman keras yang dibuat dari molase dan beras.
Namun, penguasa Belanda yang menentukan
harga gula, ini juga menyebabkan keresahan. Sebagai akibat penurunan
harga gula di pasar dunia, yang disebabkan kenaikan jumlah ekspor ke
Eropa, maka industri gula di Hindia-Belanda merugi.
Hingga tahun 1740, harga gula di pasar global sudah separuh dari harga pada tahun 1720. Karena gula menjadi salah satu ekspor utama Hindia-Belanda, negara jajahan itu mengalami kesulitan finansialnya.
Pada awalnya, beberapa anggota Dewan Hindia (Raad van Indië) beranggapan bahwa orang Tionghoa tidak mungkin menyerang Batavia dan kebijakan yang lebih tegas mengatur orang Tionghoa ditentang oleh fraksi yang dipimpin mantan gubernur Zeylan Gustaaf Willem baron van Imhoff, yang kembali ke Batavia pada tahun 1738.
Namun, orang keturunan Tionghoa tiba di luar batas kota Batavia dari berbagai kampung dan pada tanggal 26 September Valckenier memanggil para anggota dewan untuk pertemuan darurat.
Pada pertemuan tersebut, Valckenier memerintah agar kerusuhan yang dipicu orang Tionghoa dapat ditanggapi dengan kekuatan yang mematikan. Kebijakan ini terus ditantang oleh fraksi van Imhoff, sedangkan Vermeulen (1938) yang berpendapat bahwa ketegangan antara kedua fraksi politik ini ikut berperan dalam pembantaian.
Pada tanggal 1 Oktober malam, Valckenier menerima laporan bahwa ribuan orang Tionghoa sudah berkumpul di luar gerbang kota Batavia. Amukan mereka dipicu oleh pernyataannya pada pertemuan dewan lima hari sebelumnya.
Valckenier dan anggota Dewan Hindia lain tidak percaya hal tersebut. Namun, setelah orang Tionghoa membunuh seorang sersan keturunan Bali di luar batas kota, dewan memutuskan untuk melakukan tindakan serta menambah jumlah pasukan yang menjaga kota.
Dua kelompok yang terdiri dari 50 orang Eropa dan beberapa kuli pribumi, dikirim ke pos penjagaan di sebelah selatan dan timur Batavia dan rencana penyerangan pun dibuat.
Peristiwa Pembantaian
Setelah berbagai kelompok buruh pabrik gula keturunan Tionghoa memberontak, dengan menggunakan senjata yang dibuat sendiri untuk menjarah dan membakar pabrik, ratusan orang Tionghoa yang diduga dipimpin Kapitan Cina Ni Hoe Kong membunuh 50 pasukan Belanda di Meester Cornelis (kini Jatinegara) dan Tanah Abang pada tanggal 7 Oktober.
Untuk menanggapi serangan ini, pemimpin Belanda mengirim 1.800 pasukan tetap yang ditemani schutterij (milisi) dan sebelas batalyon wajib militer untuk menghentikan pemberontakan. Mereka melaksanakan jam malam dan membatalkan perayaan Tionghoa yang sudah dijadwalkan.
Karena takut bahwa orang Tionghoa akan berkomplot pada malam hari, yang tinggal di dalam batas kota dilarang menyalakan lilin dan disuruh menyerahkan semua barang, hingga pisau paling kecil sekalipun.
Pada hari berikutnya, pasukan Belanda
berhasil menangkis suatu serangan dari hampir 10.000 orang Tionghoa,
yang dipimpin oleh kelompok dari Tangerang dan Bekasi, di tembok kota,
Raffles mencatat sebanyak 1.789 warga keturunan Tionghoa meninggal dalam
serangan ini. Untuk menanggapi serangan ini, Valckenier kembali
mengadakan pertemuan Dewan Hindia pada tanggal 9 Oktober.
Sementara, gosip mulai tersebar dalam kelompok etnis lain, termasuk budak dari Bali dan Sulawesi serta pasukan Bugis dan Bali, bahwa orang Tionghoa berencana membunuh atau memerkosa orang pribumi, atau menjadikan mereka sebagai budak.
Untuk mencegah hal tersebut, kelompok-kelompok ini mulai membakar rumah-rumah milik orang Tionghoa di sepanjang Kali Besar, Batavia. Peristiwa ini disusul oleh serangan Belanda terhadap tempat tinggal orang Tionghoa di Batavia. Politikus Belanda yang anti-kolonis W.R. van Hoëvell menulis bahwa “wanita hamil dan yang sedang menyusui, anak kecil, dan para pria gaek jatuh dalam serangan. Tahanan dibantai seperti domba.
Pasukan di bawah pimpinan Letnan Hermanus van Suchtelen dan Kapten Jan van Oosten, seorang serdadu Belanda yang selamat dari serangan di Tanah Abang, mengambil posisi di daerah pecinan: Suchtelen dan pasukannya menempatkan diri di pasar burung, sementara pasukan van Oosten mendapatkan pos dekat kanal.
Sekitar pukul 5.00 sore, serdadu Belanda mulai menembakkan meriam ke arah rumah orang Tionghoa, sehingga rumah-rumah tersebut terbakar. Beberapa orang Tionghoa tewas di rumah mereka, sementara yang lainnya ditembak saat keluar dari rumah atau melakukan bunuh diri.
Yang berhasil mencapai kanal dibunuh oleh pasukan Belanda yang menunggu di perahu kecil,sementara pasukan Belanda lainnya mondar-mandir di antara rumah-rumah yang sedang terbakar, mencari dan membunuh orang Tionghoa yang masih hidup.
Tindakan ini kemudian tersebar di seluruh kota Batavia. Menurut Vermeulen, sebagian besar pelaku merupakan pelaut dan unsur masyarakat lain yang “tidak tetap ataupun baik”. Dalam periode ini ada banyak penjarahandan penyitaan properti.
Pada hari berikutnya kekerasan ini terus menyebar, dan pasien Tionghoa dalam sebuah rumah sakit dibawa ke luar dan dibunuh.Usaha untuk memadamkan kebakaran di daerah Kali Besar belum membawa hasil. Kebakaran itu pada malam hari semakin ganas, dan baru padam pada tanggal 12 Oktober.
Sementara, sebuah kelompok yang terdiri dari 800 pasukan Belanda dan 2.000 orang pribumi menyerbu Kampung Gading Melati, di mana terdapat orang Tionghoa yang bersembunyi di bawah pimpinan Khe Pandjang.
Biarpun warga Tionghoa mengungsi ke daerah Paninggaran di Pekalongan, mereka diusir lagi oleh pasukan Belanda. Terdapat sekitar 450 orang Belanda dan 800 orang Tionghoa yang menjadi korban dalam kedua serangan tersebut.
Kekerasan Lanjutan
Pada tanggal 11 Oktober, Valckenier menyuruh para opsir Belanda untuk menghentikan penjarahan, tetapi tidak berhasil.Dua hari kemudian Dewan Hindia menentukan bahwa setiap orang yang membawa kepala orang Tionghoa akan dihargai dengan dua dukat, hal ini digunakan untuk memancing suku lain agar mereka ikut membantai orang Tionghoa. Akibatnya, orang Tionghoa yang selamat dari serangan pertama mulai diburu “bandit” yang menginginkan hadiah itu.
Penguasa Belanda bekerja sama dengan kelompok pribumi di berbagai daerah di Batavia, grenadir Bugis dan Bali dikirim untuk memperkuat pasukan Belanda pada tanggal 14 Oktober.
Pada tanggal 22 Oktober, Valckenier memerintahkan agar semua pembunuhan dihentikan.Dalam
sehelai surat panjang berisi bahwa kesalahan sepenuhnya berada di
tangan orang Tionghoa saat kerusuhan di Batavia, dia mengajak orang
Tionghoa untuk berdamai, kecuali pemimpin pemberontakan, dia mengajukan
penghargaan sebanyak 500 rijksdaalder untuk setiap pemimpin yang dibunuh. Rijksdaalder
adalah koin “dolar nasional” Belanda yang pertama kali dikeluarkan
Republik Belanda pada akhir abad ke-16, saat Revolusi Belanda.
Di luar batas kota terus terjadi pertempuran kecil antara pemberontak Tionghoa dan pasukan Belanda. Pada tanggal 25 Oktober, setelah hampir dua minggu adanya pertempuran kecil, 500 orang Tionghoa bersenjata berangkat menuju Cadouwang (kini Angke), tetapi dihalau oleh kavaleri di bawah pimpinan Ridmeester Christoffel Moll serta Kornet Daniel Chits dan Pieter Donker.
Di luar batas kota terus terjadi pertempuran kecil antara pemberontak Tionghoa dan pasukan Belanda. Pada tanggal 25 Oktober, setelah hampir dua minggu adanya pertempuran kecil, 500 orang Tionghoa bersenjata berangkat menuju Cadouwang (kini Angke), tetapi dihalau oleh kavaleri di bawah pimpinan Ridmeester Christoffel Moll serta Kornet Daniel Chits dan Pieter Donker.
Pada hari berikutnya kavaleri itu, yang terdiri dari 1.594 pasukan Belanda dan pribumi, mendekati markas orang Tionghoa di Pabrik Gula Salapadjang. Di sana mereka berkumpul di hutan, lalu membakar pabrik yang masih penuh dengan pemberontak Tionghoa, satu pabrik lain di Boedjong Renje dimusnahkan oleh pasukan Belanda lain.
Karena takut pada pasukan Belanda, orang-orang Tionghoa mengungsi ke pabrik gula lainnya di Kampung Melayu yang berjarak empat jam dari Salapadjang. Markas ini dimusnahkan oleh pasukan di bawah pimpinan Kapten Jan George Crummel. Setelah mengalahkan orang Tionghoa, pasukan Belanda kembali ke Batavia.
Sementara, orang Tionghoa yang mulai dikurung 3.000 prajurit dari Kesultanan Banten, melarikan diri ke arah timur mengikuti pesisir utara pulau Jawa, pada 30 Oktober dilaporkan bahwa orang Tionghoa tersebut sudah melewati Tangerang.
Perintah untuk gencatan senjata diterima Crummel pada tanggal 2 November. Dia dan pasukannya kembali ke Batavia setelah menempatkan 50 penjaga di Cadouwang. Ketika Crummel tiba di Batavia, sudah tidak ada lagi pemberontak Tionghoa di luar tembok kota.Penjarahan berlangsung sampai tanggal 28 November, dan pasukan pribumi terakhir dibebas-tugaskan pada akhir bulan itu.
Pasca Tragedi “Geger Pacinan”
Sebagian besar sejarawan mencatat sebanyak 10.000 orang Tionghoa yang berada di dalam kota Batavia dibunuh, dan 500 lagi mengalami luka berat. Antara 600 dan 700 rumah milik orang Tionghoa dijarah dan dibakar.
Vermeulen mencatat 600 orang Tionghoa yang selamat,sementara sejarawan Indonesia A.R.T. Kemasang mencatat 3.000 orang yang selamat. Sejarawan Tionghoa-Indonesia Benny G. Setiono mencatat bahwa sebanyak 500 tahanan dan pasien rumah sakit dibunuh dengan jumlah orang yang selamat sebanyak 3.431.
Pembantaian ini disusul oleh periode yang rawan pembantaian terhadap warga keturunan Tionghoa di seluruh pulau Jawa, termasuk satu pembataian lagi di Semarang pada tahun 1741, dan beberapa pembantaian lain di Surabaya dan Gresik.
Sebagai salah satu syarat untuk berakhirnya kekerasan, yakni semua penduduk Batavia keturunan Tionghoa dipindahkan ke suatu pecinan di luar batas kota Batavia, yang kini menjadi Glodok. Hal ini membuat orang Belanda lebih mudah mengawasi orang Tionghoa.
Untuk meninggalkan pecinan, orang Tionghoa membutuhkan tiket khusus. Namun, pada tahun 1743, sudah ada ratusan pedagang keturunan Tionghoa yang bertempat di dalam kota Batavia.
Orang Tionghoa lain dipimpin oleh Khe Pandjang mengungsi ke Jawa Tengah, di mana mereka menyerang berbagai pos perdagangan Belanda dan bergabung dengan pasukan di bawah pimpinan Sultan Mataram, Pakubuwana II. Meskipun perang ini sudah selesai pada tahun 1743, namun selama 17 tahun terdapat konflik di Jawa secara terus-menerus.
Pada tanggal 6 Desember 1740 van Imhoff dan dua anggota Dewan Hindia lainnya ditangkap atas perintah Valckenier dengan tuduhan pembangkangan dan pada tanggal 13 Januari 1741 mereka dikirimkan ke Belanda dengan kapal yang berbeda, mereka tiba di Belanda pada tanggal 19 September 1741.
Di Belanda, van Imhoff meyakinkan Heeren XVII, pemegang saham utama VOC, bahwa Valckenier yang memicu pembantaian di Batavia, serta menyampaikan pidato berjudul “Consideratiën over den tegenwoordigen staat van de Ned. O.I. Comp” (“Pertimbangan atas Keadaan Mutakhir di Hindia-Belanda”) pada tanggal 24 November.
Sebagai akibat dari pidato itu, van Imhoff dan anggota dewan lain dibebaskan dari semua tuntutan.
Pada tanggal 27 Oktober 1742, van Imhoff dikirimkan kembali ke Batavia menggunakan kapal Hersteller sebagai Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yang baru. Ia tiba di Batavia pada tanggal 26 Mei 1743.
Valckenier sudah diminta digantikan sebagai Gubernur Jenderal pada akhir tahun 1740, dan pada bulan Februari 1741 menerima surat yang memerintahkan dia mengangkat van Imhoff sebagai penggantinya. Versi lain ialah bahwa Heeren XVII menggantikan Valckenier sebagai hukuman atas terlalu banyak gula yang diekspor daripada kopi pada tahun 1739, yang sangat merugikan VOC.
Saat Valckenier menerima surat tersebut, van Imhoff sudah dalam perjalanan ke Belanda. Valckenier meninggalkan Hindia-Belanda pada tanggal 6 November 1741, setelah memilih Johannes Thedens sebagai penggantinya sampai van Imhoff sudah kembali.
Pada tanggal 25 Januari 1742 dia mendarat di Cape Town, Afrika Selatan, tetapi ditangkap dan diselidiki oleh Gubernur Hendrik Swellengrebel atas perintah Heeren XVII.
Valckenier dikirim kembali ke Batavia pada bulan Agustus 1742, di mana ia dipenjarakan di Benteng Batavia dan tiga bulan kemudian ia digugat atas beberapa tuntutan, termasuk keterlibatannya dalam Geger Pacinan ini.
Pada bulan Maret 1744, ia dinyatakan bersalah dan dituntut dengan hukuman mati dan harta bendanya disita. Pada bulan Desember 1744, kasus tersebut dibuka kembali setelah Valckenier membuat pernyataan yang panjang untuk membela dirinya.
Valckenier meminta lebih banak bukti dari
Belanda, tetapi meninggal dunia dalam kurungan pada tanggal 20 Juni
1751 sebelum penyelidikan diselesaikan. Hukuman mati dibatalkan pada
tahun 1755.
Vermeulen berpendapat bahwa penyeledikan Valckenier tidak adil dan dipicu oleh amarah masyarakat di Belanda.
Ini mungkin diakui secara resmi, sebab pada tahun 1760, putra Valckenier, Adriaan Isaäk Valckenier, mendapatkan ganti rugi sebanyak 725.000 gulden.
Produksi gula di daerah Batavia turun secara drastis setelah pembantaian, sebab banyak orang Tionghoa yang dulu mengurus industri tersebut sudah terbunuh atau hilang.
Industri tersebut mulai berkembang lagi setelah Gubernur Jenderal van Imhoff “mengkolonisasi” Tangerang. Awalnya dia bermaksud agar orang yang berasal dari Belanda untuk bertani di sana, dia berpendapat bahwa orang Belanda yang sudah ada di Batavia adalah orang malas.
Namun, dia tidak bisa menarik orang baru karena pajak di Hindia-Belanda sangat tinggi, maka dia terpaksa menjual tanah kepada orang Belanda yang ada di Batavia. Pemilik tanah baru ini tidak berkenan untuk mengerjakan tanah tersebut, maka mereka menyewakan tanah itu kepada orang Tionghoa.
Produksi meningkat setelah itu, tetapi baru pada dekade 1760-an produksi ada pada tingkat yang sama dengan tahun 1740. Setelah itu, produksi mulai berkurang lagi.Jumlah pabrik gula juga berkurang. Pada tahun 1710 terdapat 131 buah, tetapi pada tahun 1750 jumlahnya hanya 66 buah.
Pengaruh Tragedi “Geger Pacinan”
Vermeulen menyebut pembantaian ini sebagai “salah satu peristiwa dalam kolonialisme (Belanda) pada abad ke-18 yang paling menonjol”.Dalam disertasinya, W. W. Dharmowijono menyatakan bahwa pogrom ini mempunyai peran besar dalam sastra Belanda.
Sastra ini muncul dengan cepat,
Dharmowijono mencatat adanya sebuah puisi oleh Willem van Haren yang
mengkritik pembantaian ini (dari tahun 1742) dan sebuah puisi anonim
dari periode yang sama, yang mengkritik orang Tionghoanya.
Sedangkan, Raffles menulis pada tahun 1830 bahwa catatan historis Belanda “jauh dari lengkap atau memuaskan”.
Sejarawan asal Belanda Leonard Blussé menulis bahwa Geger Pacinan secara tidak langsung membuat Kota Batavia berkembang pesat, tetapi membuat dikotomi antara etnis Tionghoa dan pribumi yang masih terasa hingga akhir abad ke-20.
Di abad yang sama, pembunuhan massal ini dicatat juga dalam Bahasa Banjar oleh Abdur Rahman di syairnya, Syair Hemo. Pembantaian ini mungkin juga menjadi asal nama beberapa daerah di Jakarta. Salah satu etimologi untuk nama “Tanah Abang” (yang berarti “tanah merah”) ialah bahwa daerah itu dinamakan untuk darah orang Tionghoa yang dibunuh di sana.
Van Hoëvell berpendapat bahwa nama itu diajukan agar orang Tionghoa yang selamat dari pogrom lebih cepat menerima amnesti. Sedangkan nama “Rawa Bangke” mungkin diambil dari kata bangkai, karena jumlah orang Tionghoa yang dibunuh di sana, etimologi serupa juga pernah diajukan untuk “Angke” di Tambora, Jakarta Barat.
Angke yang berarti juga “bangkai”, dimana sebagai salah satu tempat pembantaian, membuat nama ini menjadi salah satu nama tragedi pahit adu-domba bangsa ini oleh Belanda pada masa lalu tersebut, yang kemudian dikenal juga sebagai “Tragedi Angke”. Semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat menambah wawasan sejarah anda terhadap negeri tercinta ini. (berbagai sumber).
Referensi “Geger Pacinan” :
- Armstrong, M. Jocelyn; Armstrong, R. Warwick; Mulliner, K. (2001). Chinese Populations in Contemporary Southeast Asian Societies: Identities, Interdependence, and International Influence [Warga Tionghoa dalam Masyarakat Asia Tenggara Kontemporer: Identitas, Kesalingtergantungan, dan Pengaruh Internasional] (dalam bahasa Inggris). Richmond: Curzon. ISBN 978-0-7007-1398-1.
- Blok, Petrus Johannes; Molhuysen, Philip Christiaan, ed. (1927). Nieuw Nederlandsch Biografisch Woordenboek [Kamus Biografis Belanda Baru] (dalam bahasa Belanda) (ed. ke-7). Leiden: A. W. Sijthoff. OCLC 309920700.
- Blussé, Leonard (1981). “Batavia, 1619–1740: The Rise and Fall of a Chinese Colonial Town” [Batavia, 1619–1740: Muncul dan Runtuhnya Kota Kolonial Tionghoa]. Journal of Southeast Asian Studies (dalam bahasa Inggris) (Singapore: Cambridge University Press) 12 (1): 159–178. doi:10.1017/S0022463400005051. ISSN 0022-4634.
- Bulbeck, David; Reid, Anthony; Tan, Lay Cheng; Wu, Yiqi (1998). Southeast Asian Exports since the 14th century : Cloves, Pepper, Coffee, and Sugar [Ekspor Asia Tenggara Sejak Abad Ke-14: Cengkeh, Merica, Kopi, dan Gula] (dalam bahasa Inggris). Leiden: KITLV Press. ISBN 978-981-3055-67-4.
- Dharmowijono, W. W. (2009) (dalam bahasa Belanda). Van koelies, klontongs en kapiteins: het beeld van de Chinezen in Indisch-Nederlands literair proza 1880–1950 [Mengenai Kuli, Klontong, dan Kapitan: Citra Orang Tionghoa dalam Sastra Indonesia-Belanda 1880–1950] (Dokter Humanitas thesis). Amsterdam: Universiteit van Amsterdaam. Diakses pada 1 December 2011.
- Dobbin, Christine (1996). Asian Entrepreneurial Minorities : Conjoint Communities in the Making of the World-Economy 1570–1940 [Minoritas Pengusaha Asia: Komunitas Bergabung dalam Pembentukan Ekonomi Dunia 1570–1940] (dalam bahasa Inggris). Richmond: Curzon. ISBN 978-0-7007-0404-0.
- van Eck, Rutger (1899). “Luctor et emergo”, of, de Geschiedenis der Nederlanders in den Oost-Indischen Archipel ["Luctor et emergo", atau, Sejarah Orang Belanda di Hindia Belanda] (dalam bahasa Belanda). Zwolle: Tjeenk Willink. OCLC 67507521.
- Geyl, P. (1962). Geschiedenis van de Nederlandse Stam [Sejarah Tuan Belanda] (dalam bahasa Belanda) 4. Amsterdam: Wereldbibliotheek. ISBN 978-981-3055-67-4. OCLC 769104246.
- Hall, Daniel George Edward (1981). A History of South-East Asia [Sejarah Asia Tenggara] (dalam bahasa Inggris) (ed. ke-4, dengan gambar). London: Macmillan. ISBN 978-0-333-24163-9.
- van Hoëvell, Wolter Robert (1840). “Batavia in 1740″ [Batavia pada Tahun 1740]. Tijdschrift voor Neerlands Indie (dalam bahasa Belanda) (Batavia) 3 (1): 447–557.
- Kemasang, A. R. T. (1981). “Overseas Chinese in Java and Their Liquidation in 1740″ [Etnis Tionghoa di Jawa dan Pembubaran Mereka Pada Tahun 1740]. Journal of Southeast Asian Studies (dalam bahasa Inggris) (Singapore: Committee of Concerned Asian Scholars) 19: 123–146. ISSN 0007-4810.
- Kemasang, A. R. T. (1982). “The 1740 Massacre of Chinese in Java: Curtain Raiser for the Dutch Plantation Economy” [Pembantaian Etnis Tionghoa di Jawa pada tahun 1740: Pengangkat Tirai untuk Ekonomi Perkebunan Belanda]. Bulletin of Concerned Asian Scholars (dalam bahasa Inggris) (Cambridge: Committee of Concerned Asian Scholars) 14: 61–71. ISSN 0007-4810.
- Kumar, Ann (1997). Java and Modern Europe : Ambiguous Encounters [Jawa dan Eropa Modern: Pertemuan Ambigu] (dalam bahasa Inggris). Surrey: Curzon. ISBN 978-0-7007-0433-0.
- Paasman, A. N. (1999). “Een klein aardrijkje op zichzelf, de multiculturele samenleving en de etnische literatuur” [Pembahasan Kecil Mengenai Masyarkaat Multikultural dan Sastra Etnis]. Literatuur (dalam bahasa Belanda) (Utrecht) 16: 324–334. Diakses 4 December 2011.
- Pan, Lynn (1994). Sons of the Yellow Emperor: A History of the Chinese Diaspora [Anak Kaisar Kuning: Sejara Diaspora Etnis Tionghoa] (dalam bahasa Inggris). New York: Kodansha Globe. ISBN 978-1-56836-032-4.
- Mazumdar, Sucheta (1998). Sugar and Society in China : Peasants, Technology, and the World Market [Gula dan Masyarakat di Tiongkok: Orang Desa, Teknologi, dan Pasar Global] (dalam bahasa Inggris). Cambridge: Harvard University Asia Center. ISBN 978-0-674-85408-6.
- Ota, Atsushi (2006). Changes of Regime and Social Dynamics in West Java : Society, State, and the outer world of Banten, 1750–1830 [Perubahan Rezim dan Dinamika Sosial di Jawa Barat: Masyarkat, Negara, dan Dunia Luar Banten, 1750–1830] (dalam bahasa Inggris). Leiden: Brill. ISBN 978-90-04-15091-1.
- Raat, Alexander (2010). The Life of Governor Joan Gideon Loten (1710–1789) : A Personal History of a Dutch Virtuoso [Kehidupan Gubernur Joan Gideon Loten (1710–1789): Sejarah Personal Seorang Virtuoso Belanda]. Hilversum: Verloren. ISBN 978-90-8704-151-9.
- Raffles, Thomas Stamford (1830) [1817]. The History of Java [Sejarah Pulau Jawa] (dalam bahasa Inggris) 2. London: Black. OCLC 312809187.
- Ricklefs, Merle Calvin (1983). “The Crisis of 1740–1 in Java: the Javanese, Chinese, Madurese and Dutch, and the Fall of the Court of Kartasura” [Krisis 1740–1 di Jawa: Orang Jawa, Tionghoa, Madura, dan Belanda, dan Runtuhnya Kerajaan di Kartasura]. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (dalam bahasa Inggris) (The Hague) 139 (2/3): 268–290.
- Ricklefs, Merle Calvin (2001). A History of Modern Indonesia since c. 1200 [Sejarah Indonesia Modern sejak Sekitar Tahun 1200] (dalam bahasa Inggris) (ed. 3rd). Stanford: Stanford University Press. ISBN 978-0-8047-4479-9.
- Setiono, Benny G. (2008). Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta: TransMedia Pustaka. ISBN 978-979-96887-4-3.
- Stellwagen, A. W. (1895). “Valckenier en Van Imhoff” [Valckenier dan Van Imhoff]. Elsevier’s Geïllustreerd Maandschrift (dalam bahasa Belanda) (Amsterdam) 5 (1): 209–233..
- Tan, Mely G. (2005). “Ethnic Chinese in Indonesia”. In Ember, Melvin; Ember, Carol R. & Skoggard, Ian. Encyclopedia of Diasporas: Immigrant and Refugee Cultures Around the World (dalam bahasa Inggris). New York: Springer Science+Business Media. hlm. 795–807. ISBN 978-0-387-29904-4. Unknown parameter
|transchapter=
ignored (help) - Terpstra, H. (1939). “Rev. of Th. Vermeulen, De Chinezenmoord van 1740“. In M. G. De Boer. Tijdschrift Voor Geschiedenis (dalam bahasa Belanda) (Groningen: P. Noordhoff): 245–247. Diakses 2 December 2011.
- Vanvugt, Ewald (1985). Wettig opium : 350 jaar Nederlandse opiumhandel in de Indische archipel [Candu Legal: 350 Tahun Perdagangan Candu Belanda di Nusantara Indonesia] (dalam bahasa Belanda). Haarlem: In de Knipscheer. ISBN 978-90-6265-197-9.
- von Wachtel, August (May 1911). “Development of the Sugar Industry”. The American Sugar Industry and Beet Sugar Gazette (dalam bahasa Inggris) 13. Chicago: Beet Sugar Gazette Co. hlm. 200–203. Unknown parameter
|transchapter=
ignored (help) - Ward, Katy (2009). Networks of Empire : Forced Migration in the Dutch East India Company [Jaringan Kekaisaran: Migrasi Paksa dalam Kompeni Hindia Belanda] (dalam bahasa Inggris). New York: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-88586-7.
- Collins, James T. (2005). Bahasa Melayu, Bahasa Dunia – Sejarah Singkat (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: KITLV bekerjasama dengan Pusat Bahasa dan Yayasan Obor Indonesia. ISBN 979-461-537-4.
- “Gustaaf Willem, baron van Imhoff”. Encyclopædia Britannica Online (dalam bahasa Inggris). Encyclopædia Britannica. 2011. Diakses 26 October 2011.
Referensi “Perang Jawa” :
- Dharmowijono, W.W. (2009) (dalam bahasa Dutch). Van koelies, klontongs en kapiteins: het beeld van de Chinezen in Indisch-Nederlands literair proza 1880–1950 [Of Coolies, Klontong, and Captains: The Image of the Chinese in Indonesian-Dutch Literary Prose 1880–1950] (Doctorate in Humanities thesis). Universiteit van Amsterdaam. Diakses pada 1 December 2011.
- Hall, Daniel George Edward (1981). A History of South-East Asia (ed. 4, illustrated). New York: St. Martin’s Press. ISBN 978-0-312-38641-2.
- Raffles, Thomas Stamford (1830) [1817]. The History of Java 2. London: Black. OCLC 312809187.
- Ricklefs, Merle Calvin (1983). “The crisis of 1740–1 in Java: the Javanese, Chinese, Madurese and Dutch, and the Fall of the Court of Kartasura”. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 139 (2/3): 268–290.
- Setiono, Benny G. (2008). Tionghoa dalam Pusaran Politik [Indonesia's Chinese Community under Political Turmoil] (dalam bahasa Indonesian). Jakarta: TransMedia Pustaka. ISBN 979-799-052-4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon tinggalkan pesan dan komentar anda...