Dakwah Antara Robbaniyah dan Ashobiyah Di Tengah Gerakan Islam
Oleh: H. Anas Yusuf
Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah
yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan
Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. [QS an-Nahl (16): 125]
Pada dasarnya tujuan dakwah Islam
adalah mengadakan perombakan (inqilab) dalam diri, keluarga, masyarakat
dan ummat secara luas. Perubahan dan perombakan yang dimaksud adalah
perubahan ke arah yang lebih baik (islah) dalam seluruh aspek kehidupan
meliputi aqidah, akhlak, ibadah, pendidikan, sosial, ekonomi, politik,
hukum, budaya, perombakan yang mengeluarkan manusia dari kegelapan
menuju benderangnya Islam, dari ketundukan kepada manusia menuju kepada
penghambaan tanya kepada Allah Robbul 'Alamin.
Fenomena saat ini
dalam dinamika dakwah muncul istilah dakwah ashobiyah dan dakwah
Robbaniyah di tengah-tengah menjamurnya berdirinya harokah (gerakan)
ISLAM TRANSNASIONAL di Indonesia, dimana masing-masing mempunyai
kepentingan mendominasi dan perebutan obyek dakwah. Disinilah mereka
mencoba mendoktrin dan mendakwahkan kepada anggotanya atau kadernya
antara dakwah Ashobiyah dan Robbaniyah. Yang seharusnya mereka para da'i
atau penyeru dakwah tersebut menyampaikan Islam qobla jama'ah artinya
Memberikan dan menyampaikan pemahaman dan pengertian Islam secara
syumulia, komprehensif, integral dan menyeluruh bukan sepotong-potong,
setengah-setengah, parsial (jusiyah) sebelum doktrin jama'ahnya,
kelompoknya, hizbiyahnya, partainya dan inilah bahayanya bila dakwah
ashobiyah dibiarkan.
DAKWAH ROBBANIYAH
Yang
dimaksud dengan dakwah Robbaniyah adalah sebuah ajakan dan seruan
dakwahnya kepada seluruh aktivis dakwah atau obyek dakwah harus
bersumber dari Tuhannya (Robb) betul- betul syar'i dan tidak ada yang
menyimpang dari Al-Qur'an dan As- Sunnah. Bukan dakwah 'alaiyah
(kepadaku) bukan untuk membesarkan aku, figuritas yang berakibat kultur
individu juga bukan dakwah 'alaina (kepada golongan kami) yaitu
membesarkan dan membanggakan golongan kami. Dakwah 'alaina akan
menimbulkan tafarruk (perpecahan) dan ta'ashub (fanatik golongan).
Jadi
dakwah Robbani adalah seruan dan ajakan menuju mardhotillah (dakwah
Ilallah). Dan gerakan dakwah Islam atau Robbaniyah itu sendiri sebuah
gerakan dakwah, dan tarbiyah baik pendidikan pribadi, keluarga dan
masyarakat yang bersifat alamiyah (global), gerakan realistik
(waqi'iyah) dan syamiliyah yaitu mencakup segala aspek kehidupan
manusia, tidak ada satupun yang luput dari aturan (nidhom) Islam.
DAKWAH ASHOBIYAH
Ashobiyah
atau kecintaan kepada golongannya, kaumnya, hizbnya partainya adalah
fenomena yang tidak bisa dipungkiri keberadaannya dalam hidup ini,
apalagi di tengah-tengah menjamur dan tumbuh suburnya gerakan Islam
transnational seperti gerakan dakwah dan politik Ikhwanul Muslimin
dengan gerakan tarbiyahnya, Hizbut Tahrir dengan gerakan dakwah dan
politik Khilafanya, Salafi dengan gerakan dakwah kembali pada autentik
atau keaslian Qur'an dan Sunnahnya menurut pemahaman mereka, Salafi
Jihadiyah dengan gerakan dakwah dan jihadnya, Jama'ah Tabligh dengan
gerakan dakwah khurujnya dari masjid ke masjid, Majlis Mujahidin atau
jama'ah Anshorut Tauhid dengan gerakan dakwah dan jihadnya dan
seterusnya.
Fenomena gerakan Islam transnasional tersebut di atas
adalah wajar di era euforia reformasi. Akan tetapi jika fenomena itu
sudah mengarah kepada kecintaan yang membabi buta (ta'ashob jahiliyah)
yang indikasinya nampak ada kebaikan-kebaikan atau kebaikan- kelemahan
yang ada pada dirinya dan buta atau acuh tak acuh terhadap
kebaikan-kebaikan dan kelebihan pada pihak lain. Yang pada akhirnya
mereka setiap golongan, kelompok, firqo, partai dan seterusnya merasa
bangga dan superior serta asyik dengan dunianya sendiri dan lupa kepada
kepentingan yang lebih luas demi kemaslahatan dakwah ke depan. Dari
sekian abad yang lampau Rasulullah SAW sudah memperingatkan dengan keras
mengutuk fenomena tersebut sebagaimana dalam sabdanya:
Bukanlah termasuk golonganku, barangsiapa yang mengajak manusia fanatik golongannya. [HR. Abu Dawud]
Dan di hadits lain beliau bersabda:
"Barang
siapa yang berperang dan berjihad karena bendera ashobiyah dan fanatic
golongan maka mereka mati dalam keadaan jahiliyah."
DAMPAK PENYAKIT ASHOBIYAH
Penyakit
ashobiyah ini sangat di benci oleh Rasulullah SAW. Dan juga
konsekuensinya akan melahirkan kemudhorotan dalam kehidupan manusia
antara lain, pertama : muncul nya kemaksiatan, dalam sebuah hadits di
kisahkan bahwa Rasulullah SAW. Pernah di demo oleh para sahabat dari
kaum Anshor pada pembagian ghonima, yang terkesan oleh mereka bahwa Nabi
lebih mengutamakan kaum Muhajirin [QS. ali- Imran : 103].
Kedua, lahirnya perpecahan yang berkepanjangan sebagaimana terjadi pada Bani Aus dan Bani Kharaj di masa jahiliyah.
Ketiga,
pemborosan karena mereka sibuk untuk membanggakan dan menonjolkan
kelebihan-kelebihan dari kaumnya dan lupa dengan persoalan yang mendasar
dan strategis yaitu terwujudnya kesatuan dan persatuan serta amal
jama'ah demi kemaslahatan ummat.
Keempat, tumbuh suburnya
nasionalisme dan sirnanya harapan ummat akan lahirnya khilafah Islamiyah
dan dampak lainnya adalah penurunan ruhiyah maknawiyah,
misunderstanding, misinformasi, keresahan yang tidak hanya
membahayakan kaumnya saja tetapi kekuatan ummat secara keseluruhan.
FAKTOR PENYEBAB PENYAKIT ASHOBIYAH
Ada
dua faktor penyebab penyakit ashobiyah pertama, faktor internal yaitu
bermula dari menurunnya keimanan dan amal ibadah yang tidak disiplin dan
istiqomah (QS 96: 6-8). Yang kedua, adalah factor eksternal yaitu
suburnya intrik, ghibah, macetnya saluran komunikasi, kurangnya taujih,
lemahnya pola dan sarane komunikasi, dst.
SOLUSI DAN KESIMPULAN
Ada
tiga penyelesaian untuk mengatasi adanya penyakit ashobiyah yang ada
dalam tubuh ummat Islam yaitu : pertama, dengan menciptakan iklim
Ruhiwata'budi artinya ditumbuhkannya pada masing-masing individu bahwa
kemenangan dan keberhasilan suatu ummat bukan terletak banyaknya
pengikut (kader anggota) atau masa dan juga bukan karena metode/manhaj
dan sarana yang canggih. Tapi kesemua itu sejauh mana interaksi individu
dengan khaliqnya Allah Aza Wa Jallah [Qs. 2:245 / 9:25 / 61:4 / 98:5].
Kedua,
dengan menciptakan iklim fikri wata'alumi yaitu dengan banyak membaca,
berdiskusi dan bersilahturahmi serta musyawarah [Qs.An-Nisa' 59, Qs.42 :
38].
Ketiga dengan menciptakan iklim aktivitas amali wal harokah
yaitu dengan menumbuhkan kesadaran bahwa mereka bekerja dengan semangat
ihsan, itqon dan fastabiqul khoirot bukan hasil yang menjadi orientasi
tujuannya, tetapi, kerja keras dan produktivitas dengan semangat
kebersamaan sinergi (amal jama'i) [Qs.9 : 106, 5 : 48-49].
Jadi
fenomena ashobiyah hizbiyah-partai, firqo-kelompok-golongan, sukuisme
dan seterusnya adalah manusiawi dan wajar dengan catatan asal tidak
berlebihan dan membabi buta. Sehingga akan melahirkan kekuatan,
kehormatan dan kewibawaan (izzah). Sebagaimana Firman Allah:
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ
وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ
عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
[QS al-Hujurat (49): 13]
Dakwah Antara Robbaniyah dan Ashobiyah Di Tengah Gerakan Islam
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. [QS an-Nahl (16): 125]
Pada dasarnya tujuan dakwah Islam adalah mengadakan perombakan (inqilab) dalam diri, keluarga, masyarakat dan ummat secara luas. Perubahan dan perombakan yang dimaksud adalah perubahan ke arah yang lebih baik (islah) dalam seluruh aspek kehidupan meliputi aqidah, akhlak, ibadah, pendidikan, sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya, perombakan yang mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju benderangnya Islam, dari ketundukan kepada manusia menuju kepada penghambaan tanya kepada Allah Robbul 'Alamin.
Fenomena saat ini dalam dinamika dakwah muncul istilah dakwah ashobiyah dan dakwah Robbaniyah di tengah-tengah menjamurnya berdirinya harokah (gerakan) ISLAM TRANSNASIONAL di Indonesia, dimana masing-masing mempunyai kepentingan mendominasi dan perebutan obyek dakwah. Disinilah mereka mencoba mendoktrin dan mendakwahkan kepada anggotanya atau kadernya antara dakwah Ashobiyah dan Robbaniyah. Yang seharusnya mereka para da'i atau penyeru dakwah tersebut menyampaikan Islam qobla jama'ah artinya Memberikan dan menyampaikan pemahaman dan pengertian Islam secara syumulia, komprehensif, integral dan menyeluruh bukan sepotong-potong, setengah-setengah, parsial (jusiyah) sebelum doktrin jama'ahnya, kelompoknya, hizbiyahnya, partainya dan inilah bahayanya bila dakwah ashobiyah dibiarkan.
DAKWAH ROBBANIYAH
Jadi dakwah Robbani adalah seruan dan ajakan menuju mardhotillah (dakwah Ilallah). Dan gerakan dakwah Islam atau Robbaniyah itu sendiri sebuah gerakan dakwah, dan tarbiyah baik pendidikan pribadi, keluarga dan masyarakat yang bersifat alamiyah (global), gerakan realistik (waqi'iyah) dan syamiliyah yaitu mencakup segala aspek kehidupan manusia, tidak ada satupun yang luput dari aturan (nidhom) Islam.
DAKWAH ASHOBIYAH
Ashobiyah atau kecintaan kepada golongannya, kaumnya, hizbnya partainya adalah fenomena yang tidak bisa dipungkiri keberadaannya dalam hidup ini, apalagi di tengah-tengah menjamur dan tumbuh suburnya gerakan Islam transnational seperti gerakan dakwah dan politik Ikhwanul Muslimin dengan gerakan tarbiyahnya, Hizbut Tahrir dengan gerakan dakwah dan politik Khilafanya, Salafi dengan gerakan dakwah kembali pada autentik atau keaslian Qur'an dan Sunnahnya menurut pemahaman mereka, Salafi Jihadiyah dengan gerakan dakwah dan jihadnya, Jama'ah Tabligh dengan gerakan dakwah khurujnya dari masjid ke masjid, Majlis Mujahidin atau jama'ah Anshorut Tauhid dengan gerakan dakwah dan jihadnya dan seterusnya.
Fenomena gerakan Islam transnasional tersebut di atas adalah wajar di era euforia reformasi. Akan tetapi jika fenomena itu sudah mengarah kepada kecintaan yang membabi buta (ta'ashob jahiliyah) yang indikasinya nampak ada kebaikan-kebaikan atau kebaikan- kelemahan yang ada pada dirinya dan buta atau acuh tak acuh terhadap kebaikan-kebaikan dan kelebihan pada pihak lain. Yang pada akhirnya mereka setiap golongan, kelompok, firqo, partai dan seterusnya merasa bangga dan superior serta asyik dengan dunianya sendiri dan lupa kepada kepentingan yang lebih luas demi kemaslahatan dakwah ke depan. Dari sekian abad yang lampau Rasulullah SAW sudah memperingatkan dengan keras mengutuk fenomena tersebut sebagaimana dalam sabdanya:
Bukanlah termasuk golonganku, barangsiapa yang mengajak manusia fanatik golongannya. [HR. Abu Dawud]
Dan di hadits lain beliau bersabda:
"Barang siapa yang berperang dan berjihad karena bendera ashobiyah dan fanatic golongan maka mereka mati dalam keadaan jahiliyah."
DAMPAK PENYAKIT ASHOBIYAH
Kedua, lahirnya perpecahan yang berkepanjangan sebagaimana terjadi pada Bani Aus dan Bani Kharaj di masa jahiliyah.
Ketiga, pemborosan karena mereka sibuk untuk membanggakan dan menonjolkan kelebihan-kelebihan dari kaumnya dan lupa dengan persoalan yang mendasar dan strategis yaitu terwujudnya kesatuan dan persatuan serta amal jama'ah demi kemaslahatan ummat.
Keempat, tumbuh suburnya nasionalisme dan sirnanya harapan ummat akan lahirnya khilafah Islamiyah dan dampak lainnya adalah penurunan ruhiyah maknawiyah, misunderstanding, misinformasi, keresahan yang tidak hanya membahayakan kaumnya saja tetapi kekuatan ummat secara keseluruhan.
FAKTOR PENYEBAB PENYAKIT ASHOBIYAH
SOLUSI DAN KESIMPULAN
Kedua, dengan menciptakan iklim fikri wata'alumi yaitu dengan banyak membaca, berdiskusi dan bersilahturahmi serta musyawarah [Qs.An-Nisa' 59, Qs.42 : 38].
Ketiga dengan menciptakan iklim aktivitas amali wal harokah yaitu dengan menumbuhkan kesadaran bahwa mereka bekerja dengan semangat ihsan, itqon dan fastabiqul khoirot bukan hasil yang menjadi orientasi tujuannya, tetapi, kerja keras dan produktivitas dengan semangat kebersamaan sinergi (amal jama'i) [Qs.9 : 106, 5 : 48-49].
Jadi fenomena ashobiyah hizbiyah-partai, firqo-kelompok-golongan, sukuisme dan seterusnya adalah manusiawi dan wajar dengan catatan asal tidak berlebihan dan membabi buta. Sehingga akan melahirkan kekuatan, kehormatan dan kewibawaan (izzah). Sebagaimana Firman Allah:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
[QS al-Hujurat (49): 13]
BAHAYA ASHOBIYAH DALAM KEHIDUPAN KAUM MUSLIMIN
Oleh: Ahmad MS
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman.
Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu? Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (Ali Imran:100-101)
Ayat tersebut di atas turun berkenaan dengasn provokasi yang dilakukan oleh seorang pentolan Yahudi bernama Syas bin Qais terhadap suku Aus dan Khazraj dengan membangkitkan dendam lama sebelum memeluk Islam, sehingga nyaris berlanjut pada aksi pertumpahan darah sesame Muslim. Kedua suku besar tersebut memang pernah melewati saat-saat menegangkan di masa lalunya dengan saling memerangi satu sama lain. Di antara perang besar yang pernah mereka alami adalah perang Bu’ats yang banyak memakan korban dari kedua belah pihak. Saking seriusnya insiden ini di hadapan Allah, dari tujuh lapis langit yang tinggi Dia Yang Mahakuasa langsung menegur mereka dengan keras lewat lisan RasulNya sebagaimana bunyi ayat di atas.
Saking kerasnya Allah menyebut insiden permusuhan/perpecahan atas kedua kelompok tersebut dengan kata-kata kafir pada setiap ayatnya;….. kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman …(ayat 100) dan…. Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi kafir..(atat 101).
Perihal tersebut seharusnya menjadi peringatan yang patut ditakuti oleh manusia yang mengaku Muslim agar terjerumus ke dalam lembah pertentangan atas dasar kesukuan, keturunan dan beberapa kebanggaan ashobiyah lainnya.
Dalam perihal ini pula Rasulullah SAW bersabda:
“….Barang siapa berperang di bawah bendera atau marah karena ashobiyah tau berdakwah untuk ashobiyah, kemudian ia mati maka matinya seperti matinya orang jahiliyah…” (HR. Muslim, Ahmad dan An-Nasaa’i)
Dalam hadits lainnya Rasulullah SAW bersabda:
“Hendaklah orang-orang meninggalkan kebanggaan terhadap nenek moyang mereka yang telah menjada batu bara di neraka jahannam atau (jika tidak) mereka akan menjadi lebih hina dari kumbang yang hidungnya hanya mengeluarkan kotoran” (HR. Abu Dawud, Turmuji dan Ibnu Hibban).
Na’udzu billaahi min dzaalik!, kehinaan macam apakah yang lebih buruk dari makhluk yang menjijikan itu bagi kita?.
DI ANTARA PENYEBAB ASHOBIYAH
a. Kecenderungan negatif dari faktor alamiah.
Perbedaan dan keragaman dalam tubuh ummat manusia sebenarnya merupakan sunnatullah yang tak dapat dihindari, perbedaan yang dimaksud adalah dalam banyak hal, seperti; suku bangsa, warna kulit, bahasa dan lain-lain karena Allah SWT telah berfirman:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui. (QS. AR-Ruum:22)
Hikmah dari keragaman tersebut adalah agar satu sama lain bias saling mengenal dan satu membantu dalam mewujudkan taqwa diri, sebagaimana firmanNya:
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS.Al-Hujuraat:13)
Namun dalam perjalanannya berbagai hal di atas telah menjadi sumber permusuhan dari ummat manusia, apa pasal?. Karena berbagai pihak telah menjadikan perbedaan alamiahnya sebagai sebuah kebanggaan yang dikampanyekan keunggulannya, diperjuangkan eksistensinya, sehingga mendorong mereka berserikat berdasarkan suku, bangsa, ras dan latar belakang nasab masing-masing bahkan rela berperang dan mati di bawah bendera perserikatan ashobiyah itu.
Perihal tersebut juga mewarnai perjalanan sejarang Islam, sampai pada munculnya kekhalifahan Islam yang dikuasai oleh suatu keturunan tertentu, sehingga para khalifah banyak yang tidak lagi menyerahkan kelanjutan dari jabatan kekhalifahan kepada penggantinya atas dasar keshalihan dan kecakapan kepemimpinannya melainkan kepada anak keturunan mereka sendiri sebagaimana yang dikenal dalam sistim kerajaan. Maka dikenallah kekhalifahan Bani Umayyah, Bani Abbasiyah hingga terakhir khilafah Bani Utsmaniyah, yang disebut oleh Rasulullah sebagai Mulkan ‘Aadhan (kerajaan yang menggigit).
b. Perbedaan pemahaman atas urgensitas bagian-bagian ajaran Islam.
Tak berselang lama dari runtuhnya khilafah Utsmaniyah di Turki yang resminya pada tahun 1924 (sudah 83 tahun berlalu), bermunculan lah pemikiran untuk kembali menegakkan kekhalifahan Islam dari para tokoh dan generasi ummat waktu itu, setiap mereka masing-masing memiliki pertimbangan sendiri-sendiri tentang tingkat urgensitas dari bagian-bagian ajaran yang mesti dikembangkan lebih dulu agar bias tegak kembali ajaran Islam dalam sistim kekhalifahan Islam, seperti adanya pemahaman bahwa yang paling urgen untuk mengembalikan kekhalifahan adalah dengan menggalakkan persaudaraan Islam, maka berdirilah jama’ah atau kelompok persaudaraan kaum Muslimin (Ikhwan), kemudian ada pula yang berpendapat bahwa untuk mengembalikan kejayaan Islam harus dengan mengakkan jihad qital memerangi orang-orang kafir dan penguasa Muslim yang tidak mau melaksanakan syari’at Islam. Mereka muncul dengan mendidirkan jama’ah atau majelis jihad. Ada juga yang berpendapat bahwa untuk mengembalikan kehidupan Islam harus dengan menggalakkan tarbiyah (pendidikan) tapi ujung-ujungnya mereka juga mendirikan jama’ah dan menamakannya dengan nama bagian ajaran yang mereka cenderung kepadanya, yaitu jama’ah atau kelompok Tarbiyah, muncul lagi jama’ah atau kelompok Tabligh, yang berpendapat bahwa untuk mengembalikkan kehidupan Islam harus dengan giat menyampaikan tabligh melalui khuruj (keluar) menyampaikan dakwah ke berbagai tempat. Yang cenderung kepada dzikir juga mendirikan kelompok dengan nama dari sisi tertentu yang mereka cenderung kepadanya yaitu jama’ah atau Majelis Dzikir.
Demikan seterusnya hingga kini muncul berbagai kelompok dengan nama dan bentuk yang ditentukan atas sisi-sisi ajaran Islam yang disukainya. Anehnya, sampai kini di antara kelompok-kelompok tersebut nyaris tidak ada jalan untuk bersatu satu sama lain, hanya yang sering kita dapati adalah upaya mereka mendakwahkan keutamaan dari ajaran yang mereka praktekan dan seolah memandang kelompok lain dari sisi negatifnya mereka saja.
Yang cenderung kepada mengutamakan jihad qital cenderung tidak sependapat dengan mereka yang hanya suka berdzikir yang suka berdzikir juga cenderung tidak sependapat dengan mereka yang hanya suka mengusahakan peningkatan ekonomi karena hanya menyangkut persoalan fisik dan seterusnya tanpa ada indikasi positif kea rah persatuan dalam wadah jama’ah yang benar sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah dan para shahabat. Masing-masing mengklaim dirinya paling benar dan paling afdhal dari yang lain, hingga muncul kebanggaan kelompok yang melebihi kebanggaan kepada Islam dan ajarannya secara utuh. Nah, kalau demikian adanya persatuan Islam dalam wadahnya yang benar akan semakin sulit diraih.
TIDAK HANYA PERSOALAN SUBSTANSI
Dari masa ke masa memang perhatian ummat ini masih terfokus pada substansi ajaran Islam saja. Sementara bagaimana wadah dari substansi itu sendiri masih jarang mendapat sorotan, kalaupun ada masih hanya terbatas dan teori dan wacana ilmiah yang dilemparkan ke publik, belum sampai pada tataran praktek. Padahal logika wadah adalah sebagai tempat untuk menampung, menempatkan dan mengamankan berbagai hal yang sesuai di dalamnya. Kalau diibaratkan air, maka wadah untuknya tentu tidak boleh keranjang anyaman, karena air tidak akan pernah tertampung di dalamnya, kalau udara tentu dalam balon udara atau tangki khusus udara (air tank). Maka demikian dengan ummat Islam dan ajarannya memiliki wadah sendiri sebagai tempat ia berkumpul dan bersatu, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh para shahabat di masa lampau yaitu; khilafah Islamiyah yang dipimpin oleh khalifah/Amirul Mukminin, bukan wadah biasa dengan sistim asal-asalan buatan manusia. Apalagi wadah yang memang hanya dibuat untuk suatu urusan tertentu saja dari ajaran Islam yang sempurna, maka akan semakin membuat isinya berhamburan dan tidak tertata rapi, bahkan terbukti telah melahirkan kebanggaan kelompok (ashobiyah) sebagaimana yang sering kita dapati di negeri tercinta ini. Bagaimana persoalan do’a qunut di waktu shubuh dan pembacaan ushalli ketika niat melaksanakan sholat saja, sudah menyebabkan renggangnya shaff sholat, tidak ke Masjid lagi bahkan sampai harus mendirikan Masjid lagi yang isinya khas untuk penganut faham fiqh tertentu.
ULIL AMRI SEBAGAI PENENGAH
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu). (QS. An-Nisaa’:83).
Rasulullah SAW bersabda:
“Jika tiga orang keluar bershafar, hendaklah mengangkat salah satu di antara mereka menjadi Amir” (HR. Abu Dawud dan lainnya, shahih Jami’ As-Shaghiir:500)
Abu Dawud berkomentar tentang hadits tersebut di atas, bahwa maksud diangkatnya Amir tersebut adalah untuk menghindari ikhtilaf yang mengarah kepada kebinasaan. Tentunya ikhtilaf yang dimaksud menyangkut urusan tujuan dan proses perjalanan (shafar) yang dilakukan, karena sangat mungkin akan muncul keinginan dan pendapat yang berbeda dari orang-orang yang ikut di dalamnya.
Imam Ahmad bin Hanbal juga pernah mewanti-wanti kita mengenai pentingnya Ulil Amri/ Imam dalam kehidupan ummat Islam, beliau berkata; ”Fitnah akan muncul apabila tidak tegaknya lagi seorang Imam/ Khalifah yang akan mengurus urusan kaum Muslimin”, kita semua tahu pernyataan tersebut disampaikan beliau selagi masih tegaknya khilafah.
Selain kenyataan sekarang memang sedang membuktikan kebenaran analisa sang Imam, analisa tersebut memang sangat memenuhi alur logika orang-orang berakal. Karena jika dikaitkan dengan hadits riwayat Abu Dawud di atas seseorang yang jujur atas diennya akan berkata bahwa; Jika kunci keberhasilan dari shafar yang hanya berjumlah tiga orang harus dengan adanya Amir/ Imam maka bagaimana dengan ummat Islam yang berjumlah miliyaran sekarang ini?, tentunya lebih perlu lagi bukan?.
Maka marilah kita perhatikan seruan Allah yang berbunyi:
dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah,
yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.
Dan apabila manusia disentuh oleh suatu bahaya, mereka menyeru Tuhannya dengan kembali bertaubat kepada-Nya, kemudian apabila Tuhan merasakan kepada mereka barang sedikit rahmat daripada-Nya, tiba-tiba sebagian dari mereka mempersekutukan Tuhannya,(QS. Ar-Ruum 31-33).
Memecah belah agama dalam ayat tersebut di atas bukan hanya berarti tidak perduli dengan urusan agama, tapi justeru ingin memperjuangkan tegaknya agama tapi dalam kondisi berpecah belah sehingga apa yang ingin mereka perjuangkan malah mereka hancurkan sendiri.
Dengan berpecah belah berbagai urusan strategis terpaksa di ambil alih penyelenggaraannya oleh sistim jahiliyah, berbagai potensi dien ini akhirnya menjadi bahan rebutan pihak lain seperti hidangan lezat yang siap di atas meja. Sementara ummat islam, apa yang dapat mereka perbuat?, bahkan untuk membangun Masjid saja adakalanya harus menjadi pengemis.
Semoga Allah SWT menyelamatkan kita semua dengan bersegera meninggalkan semua bentuk perpecahan ummat dan kebanggaan atas kelompok –kelompok dan firqah yang ada dan menjadikan kita dengan rahmatNya orang-orang yang mau bersatu dalam wadah jama’ah yang di contohkanNya seraya tunduk dan patuh terhadap keseluruhan syari’at yang berlaku di dalamnya, amin yaa Rabbal ‘aalamin, Wallahu a’lam! (AMS)
PERLUKAH BER-ASHOBIYAH/ FANATISME GOLONGAN?.
FANATISME PEMECAH BELAH UMAT
Padahal sikap fanatisme kelompok itu sangat diharamkan oleh Islam, lantaran perbuatan itu merupakan kebiasaan orang kafir/ musyrik dan dapat menimbulkan perselisihan, perpecahan dan permusuhan lalu pada akhirnya akan melemahkan kekuatan kaum muslimin. Sebagaimana dalil-dalil berikut ini,
وَ لاَ تَكُوْنُوْا مِنَ اْلمـُـشْرِكِيْنَ مِنَ الَّذِيْنَ
فَرَّقُوْا دِيْنَهُمْ وَ كَانُوْا شِيَعًا كُـلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ
فَرِحُوْنَ
Dan janganlah kalian termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah (kaum musyrikin), yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. [QS. ar-Rum/30: 31-32].
وَ أَطِيْعُوْا اللهَ وَ رَسُوْلَهُ وَ لاَ تَنَازَعُوْا
فَتَفْشَلُوْا وَ تَذْهَبَ رِيْحُكُمْ وَ اصْبِرُوْا إِنَّ اللهَ مَعَ
الصَّابِرِيْنَ
Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kalian saling berbantah-bantahan, yang akan menyebabkan kalian lemah dan hilangnya kekuatan kalian dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. [QS. Al-Anfal/ 8: 46].
عن جندب بن عبد الله البجلي رضي الله عنه قَالَ: قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: مَنْ قُتِلَ تَحْتَ رَايَةٍ
عُمِّيَّةٍ يَدْعُوْ عَصَبِيَّةً أَوْ يَنْصُرُ عَصَبِيَّةً فَقِتْلَةٌ
جَاهِلِيَّةٌ
Dari Jundub bin Abdullah al-Bajaliy radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang terbunuh di bawah bendera ummiyyah (kesesatan) yang disebabkan ia mengajak kepada ashobiyah atau dalam rangka menolong ashobiyah, maka matinya adalah mati jahiliyah”. [HR Muslim: 1850, an-Nasa’iy: VII/ 123 dan ath-Thoyalisiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [1]
عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قَالَ: مَنْ نَصَرَ
قَوْمَهُ عَلَى غَيْرِ اْلحَقِّ فَهُوَ كَاْلبَعِيْرِ الَّذِى رُدِّيَ
فَهُوَ يُنْزَعُ بِذَنَبِهِ
Dari Abdullah bin Mas’ud radliyallahu anhu berkata, “Barangsiapa yang menolong kaumnya dengan alasan yang tidak benar maka ia seperti seekor unta yang terjatuh (ke dalam lobang) lalu ia diangkat dengan ekornya”. [Atsar riwayat Abu Dawud: 5117, 5118. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [2]
عن أبي هريرة رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و
سلم أَنَّهُ قَالَ: مَنْ خَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ وَ فَارَقَ اْلجَمَاعَةَ
فَمَاتَ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً وَ مَنْ قَاتَلَ تَحْتَ رَايَةٍ
عُمِّيَّةٍ يَغْضَبُ لِعَصَبَةٍ أَوْ يَدْعُوْ إِلىَ عَصَبَةٍ أَوْ
يَنْصُرُ عَصَبَةً فَقُتِلَ فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bahwasanya Beliau bersabda, “Barangsiapa yang keluar dari ketaatan dan meninggalkan jamaah lalu ia mati maka matinya tersebut adalah mati jahiliyah. Barangsiapa yang berperang di bawah bendera ummiyyah yang ia marah karena membela golongan (fanatisme golongan) atau mengajak kepada golongan atau menolong golongan lalu ia terbunuh maka matinya tersebut adalah mati jahiliyah”… Dan seterusnya hadits. [HR Muslim: 1848, an-Nasa’iy: VII/ 123, Ibnu Majah: 3948 dan Ahmad: II/ 306, 488. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [3]
عن جابر بن عبد الله رضي الله عنهما قال: كُنَّا فِى غَزَاةٍ
فَكَسَعَ رَجُلٌ مِنَ اْلمـُهَاجِرِيْنَ رَجُلًا مِنَ اْلأَنْصَارِ فَقَالَ
اَلأَنْصَارِيُّ: يَا لَلْأَنْصَارَ وَ قَالَ اْلمـُهَاجِرِيُّ: يَا
لَلْمـُهَاجِرِيْنَ فَسَمِعَ ذَاكَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم:
مَا بَالُ دَعْوَى اْلجَاهِلِيَّةِ؟ قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ كَسَعَ
رَجُلٌ مِنَ اْلمـُهَاجِرِيْنَ رَجُلًا مِنَ اْلأَنْصَارِ فَقَالَ:
دَعُوْهَا فَإِنَّهَا مُنْتِنَةٌ
Dari Jabir radliyallahu anhuma berkata, kami pernah berada dalam suatu peperangan (yaitu Bani al-Mushthaliq), lalu seseorang dari golongan Muhajirin melukai seorang dari golongan Anshor. Berkata orang Anshor, “Wahai orang-orang Anshor”. Dan berkata golongan Muhajirin, “Wahai orang-orang Muhajirin”. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mendengar perkataan itu lalu bersabda, “Apakah dengan seruan-seruan Jahiliyyah (kalian menyeru)?, (padahal aku masih berada di tengah-tengah kalian)”. Mereka berkata, “Wahai Rosulullah, seorang dari golongan Muhajirin melukai seseorang dari golongan Anshor”. Lalu Beliau bersabda, “Tinggalkanlah ia, karena sesungguhnya ia busuk baunya’. [HR al-Bukhoriy: 4905, Muslim: 2584 dan at-Turmudziy: 3315. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [4]
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menegur para shahabat Muhajirin dan Anshor radliyallahu anhum karena mereka meneriakkan seruan-seruan jahiliyah. Yaitu ucapan ‘Ya lal Anshor’ dan ‘Ya lal Muhajirin’, yang merupakan kalimat pengagungan bagi kaum atau golongan mereka masing-masing. Jika dua kelompok paling mulia ini saja dilarang untuk saling membanggakan kelompoknya masing-masing maka bagaimana dengan kelompok atau golongan yang lainnya. Rosulullah memerintahkan kedua kelompok mulia itu untuk meninggalkan budaya tersebut karena termasuk kebiasaan jahiliyah dan Beliau menyebutnya dengan sesuatu yang baunya busuk.
Jika dalam suatu tempat tercium bau busuk yang sangat menyengat, maka orang-orang yang berada disekitarnya niscaya akan pergi dan membubarkan diri meninggalkan tempat tersebut tanpa diperintah dan dikomando oleh orang lain. Namun dengan seruan kebanggaan jahiliyah, masih banyak di antara umat manusia bahkan umat Islam yang saling menyeru dan meneriakkannya dengan lantang tanpa perasaan bersalah. Terkadang orang-orang itu merasa sudah berbuat yang sepatutnya dan benar tindakan mereka.
Padahal sudah berapa banyak kehancuran yang menimpa umat manusia, yang disebabkan perang antar suku, ras dan golongan di berbagai tempat di belahan dunia dan bahkan di Indonesia ini. Banyak manusia terbunuh, rumah hancur porak poranda, gedung-gedung untuk layanan masyarakat dan kendaraan-kendaraan pribadi atau pemerintah yang ikut jadi korban. Hal itu karena masalah ashobiyah atau fanatik kesukuan yang sangat kental di sisi manusia.
Begitupun umat Islam yang kebanyakan mereka sangat fanatik dengan madzhab, partai, kelompok pengajian ataupun para ustadz mereka. Banyak di antara mereka yang terkadang lebih fanatik kepada madzhab dan golongannya daripada fanatiknya mereka kepada Islam. Mereka lebih fanatik kepada ustadz mereka daripada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Subhanallah. [5]
Padahal jika ditanyakan kepada mereka, ”Dahulu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam berpegang kepada madzhab apa?”. Dan begitu pula para Shahabat seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Abdurrahman bin Auf, Usamah bin Zaid, Abu Ubaidah bin al-Jarrah dan selain mereka radliyallahu anhum, apakah madzhab yang mereka anut?. Niscaya mereka tidak akan pernah mendapatkan satu dalilpun di dalam alqur’an dan hadits-hadits shahih tentang hal itu. Mereka hanya akan jumpai dalil-dalil itu dari ucapan para ustadz mereka untuk membela pemahaman mereka yang rapuh lagi goyah.
Bahkan para Imam yang empat itupun dahulu mereka tidak pernah saling bermadzhap kepada seseorang di antara mereka dan tidak ada satupun ucapan mereka yang mengajak umat Islam dan pengikutnya untuk bermadzhab kepada mereka. Dan yang ada malah kebalikannya, yaitu mengajak mereka untuk selalu berpijak dan berpihak kepada sumber pengajaran Islam yaitu alqur’an dan hadits-hadits yang shahih.
Demikianlah larangan bagi umat Islam, dari dakwah atau menyeru kepada ashobiyah (fanatik golongan), bangga dengan ashobiyah, marah karena membela ashobiyah dan menolong lantaran ashobiyah. Dan mereka juga dilarang untuk masuk ke dalam madzhab atau golongan dan fanatik terhadapnya, yang akan menyebabkan umat Islam tercerai berai, lemah dan tidak mempunyai kekuatan untuk menghadapi musuh. Lalu jika mereka mati atau terbunuh di bawah bendera kesesatan tersebut maka matinya mereka itu adalah mati jahiliyah, yaitu mati diluar manhaj Islam.
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu hafizhohullah, [6] “al-firqoh an-najiyah (golongan yang selamat) itu tidak pernah ta’ashshub atau fanatik (kepada kelompok manapun) kecuali kepada firman Allah Subhanahu wa ta’ala dan sabda Rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam yang ma’shum, yang tiada berkata-kata dari hawa nafsunya. Adapun manusia selainnya kendatipun tinggi derajatnya tentulah ia berdosa, karena sabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam nash berikut ini,
عن أنس رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله
عليه و سلم: كُلُّ بَنىِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَ خَيْرُ اْلخَطَّائِيْنَ
التَّوَّابُوْنَ
Dari Anas radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Semua anak Adam itu berdosa, dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah orang yang bertaubat”. [HR Ahmad: III/ 198, at-Turmudziy: 2499, Ibnu Majah: 4251, ad-Darimiy: II/ 303 dan al-Hakim: 7691. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [7]
Jika demikian, pantaskah manusia selain Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam untuk diikuti dan diteladani segala perkataan dan perbuatannya. Padahal telah nyata dalilnya yang jelas mengenai ketidaksuciannya mereka dari dosa-dosa. Tegasnya, andaikan ada seseorang selain Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berkata. Maka tidak akan terjamin mengenai benar atau salahnya, pun demikian perbuatannya. Benar dan salahnya tingkah laku dan ucapan seseorang itu mesti diukur dengan alqur’an dan sunnah. Jika sesuai dengan keduanya maka kebenaran itu landasan berpijaknya dan jika berselisih, batillah segala tingkah laku dan perkataannya.
عن عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما قَالَ: كُنْتُ أَكْتُبُ
كُلَّ شَيْءٍ أَسْمَعُهُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم أُرِيْدُ
حِفْظَهُ فَنَهَتْنىِ قُرَيْشٌ وَ قَالُوْا أَ تَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ
َتسْمَعُهُ وَ رَسُوْلُ اللهِ بَشَرٌ يَتَكَلَّمُ فىِ اْلغَضَبِ وَ
الرِّضَا فَأَمْسَكْتُ عَنِ اْلكِتَابِ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُوْلِ اللهِ
صلى الله عليه و سلم فَأَوْمَأَ بِاُصْبُعِهِ إِلىَ فِيْهِ فَقَالَ:
اكْتُبْ فَوَ الَّذِي نَفْسِى بِيَدِهِ مَا َيخْرُجُ مِنْهُ وَ فى رواية:
مَا خَرَجَ مِنْهُ و فى رواية: مَا خَرَجَ مِنىِّ إِلاَّ حَقٌّ
Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radliyallahu anhu berkata, “aku senantiasa mencatat (menulis) segala sesuatu yang aku dengar dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Aku bertujuan untuk menghafalnya. Lalu orang-orang Quraisy melarangku dan berkata, “Apakah engkau selalu mencatat semua yang engkau dengar (darinya) sedangkan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam adalah seorang manusia yang berbicara dengan rasa marah dan senang”. Lalu akupun menghentikan dari mencatatnya. Maka aku ceritakan hal tersebut kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Lalu Beliau berisyarat dengan jarinya ke mulutnya seraya bersabda, “Catatlah, demi Dzat yang jiwaku berada di dalam genggaman tangan-Nya, tidaklah keluar darinya (di dalam satu riwayat, tidaklah keluar dariku) kecuali kebenaran”. [HR Abu Dawud: 3646, Ahmad: II/ 162, 192, ad-Darimiy: I/ 125 dan al-Hakim. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [8]
Jika Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam berbicara dan mengerjakan sesuatu pastilah suatu kebenaran, karena Beliau tidak pernah berbicara dan berbuat sesuatu itu dari dasar hawa nafsunya. Dan semua yang diucapkan ataupun yang dikerjakannya itu berdasarkan wahyu yang diwahyukan kepadanya (lihat QS. An-Najm/ 54: 3-4). Sehingga pantaslah jika kita sebagai umatnya untuk ashobiyah atau fanatik kepadanya. Namun selain Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, apakah dijamin setiap perkataan dan perbuatannya itu adalah kebenaran. Apalagi jika ia jauh dari bimbingan alqur’an dan sunnah serta pemahaman para ulama yang meniti jalan bersama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabat radliyallahu anhum?.
Oleh karena itulah, para Imam yang empat rahimahumullah telah mewasiatkan kaum muslimin supaya tidak taklid dan fanatik kepada mereka, namun meletakkan ittiba’ dan fanatik kepada Allah Subhanahu wa ta’ala (alqur’an) dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam (hadits-haditsnya yang shahih), di dalam beberapa ucapan mereka berikut ini,
A. al-Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata,
1). Apabila aku berkata satu perkataan yang menyelisihi kitabullah (alqur’an) dan khabar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam (hadits), maka tinggalkanlah perkataanku.[9]
2). Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil pendapat kami selama ia tidak mengetahui dari mana kami telah mengambilnya. [10]
3). Haram bagi seseorang yang tidak mengetahui dalilku untuk berfatwa dengan perkataanku. [11]
4). Celakalah engkau wahai Ya’kub (yaitu Abu Yusuf). Janganlah engkau selalu mencatat semua yang kamu dengar dariku. Karena aku pada hari ini berpendapat dengan suatu pendapat namun aku akan meninggalkannya esok. Atau aku esoknya berpendapat suatu pendapat lalu lusanya aku meninggalkannya pula. [12]
5). Apabila hadits itu shahih maka ia adalah madzhab (pendirian)ku. (Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 46).
B. al-Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata,
1). Aku ini hanyalah manusia, bisa salah dan bisa juga benar. Oleh sebab itu perhatikanlah pendapatku itu dengan seksama. Maka semua yang sesuai dengan alqur’an dan sunnah maka ambillah. Dan semua yang tidak sesuai dengan alqur’an dan sunnah maka tinggalkanlah. [13]
2). Tidak ada seseorang sesudah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang diambil dan ditinggalkan kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. [14]
C. al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
1). Apabila kalian mendapatkan di dalam kitabku ada yang menyelisihi sunnah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam maka hendaklah kalian berkata dengan sunnah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan tinggalkan apa yang telah aku katakan. Di dalam satu riwayat: Maka ikutilah sunnah tersebut dan janganlah kalian berpaling kepada perkataan seseorang. [15]
2). Kaum muslimin telah berijmak bahwasanya orang yang telah jelas baginya satu sunnah dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya lantaran pendapat seseorang. [16]
3). Setiap persoalan yang telah shahih hadits tentangnya dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menurut ahli naql (ahli hadits) yang berselisih dengan apa yang kukatakan. Maka aku merujuk kepadanya di masa hidupku dan setelah kematianku. [17]
4). Apabila kalian melihat aku mengatakan suatu perkataan sedangkan telah shahih dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang menyelisihinya maka ketahuilah bahwasanya telah hilang akalku. [18]
5). Semua yang kukatakan sedangkan yang shahih dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menyelisihi ucapanku maka hadits Nabi Shallallahu alaihi wa sallam adalah yang lebih utama. Janganlah kalian taklid kepadaku. [19]
6). Semua hadits dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam adalah merupakan ucapanku meskipun kalian tidak mendengarnya dariku. [20]
D. al-Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata,
1). Janganlah kalian taklid kepadaku, jangan pula taklid kepada Malik, asy-Syafi’i, al-Awza’iy dan juga ats-Tsauriy. Tetapi ambillah dari arah mana mereka mengambil.[21]
2). Pendapat al-Awza’iy, pendapat Malik dan pendapat Abu Hanifah, semuanya itu hanyalah pendapat. Di sisiku semuanya itu sama. Hujjah itu hanyalah ada pada atsar.[22]
3). Berkata Abu Dawud, Aku pernah bertanya kepada Imam Ahmad, ”Apakah al-Awza’iy itu pengikut Imam Malik?”. Ia menjawab, ”Janganlah engkau taklid kepada seseorang dari mereka di dalam agamamu. Apa yang datang dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabatnya maka ambillah”. [23]
4).Sebahagian dari minimnya pemahaman seseorang terhadap agamanya adalah ia taklid kepada orang-orang di dalam agamanya. [24]
5). Barangsiapa yang menolak hadits Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam maka berarti ia berada di tepi jurang kebinasaan. [25]
Tiadakah hikmah dan faidah sabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan ucapan para imam tersebut bagi segenap umat Islam, khususnya para dai?. Sehingga masih terlihat gejala dan penyakit fanatik golongan ini pada mereka. Karena gejala dan penyakit fanatik golongan ini biasanya timbul dari sikap para dai yang menyeru dan mengajak umat ini kepada kefanatikan suatu golongan tertentu yang mereka anut. Belumkah mereka membaca nash-nash di atas ataukah mereka berpura-pura tidak tahu?. Gejala dan penyakit ashobiyah (fanatik golongan) ini biasanya dilahirkan pula oleh sikap kaum muslimin yang berlebih-lebihan terhadap ustadz, guru ataupun para imam mereka. Sehingga mereka berasumsi bahwa hanya ustadz dan imam mereka sajalah yang benar dan berhak untuk menyampaikan kebenaran. Sedangkan orang selainnya adalah tidak benar dan tidak pantas untuk menyampaikan kebenaran dan jikapun benar itupun harus seidzin dan sepengetahuan ustadz dan imam mereka, walaupun orang yang menyampaikannya itu benar-benar menyampaikan kebenaran dari alqur’an dan hadits yang shahih. Iblis la’natullah alaihi saja yang telah jelas kesesatannya mengatakan, ”Aku adalah termasuk orang-orang yang memberikan nasihat” (QS. al-A’raf/ 7: 21), ketika menggelincirkan nabi Adam alaihi as-Salam dan istrinya dari surga. Apalagi manusia yang merasa benar dan tidak mengetahui kesesatannya tentu dengan penuh keyakinan juga akan mengatakan, ”Aku adalah termasuk orang-orang yang memberikan nasihat dan yang menyampaikan kebenaran”. Takkan ada orang yang tahu akan aib dirinya sendiri jika tidak mengaca kepada cermin. Pun demikian tiada orang yang akan tahu akan kesalahan dan kesesatan dirinya jika ia tidak mau mengaca kepada kitabullah dan sunah Rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam.
Fanatik atau ashobiyah golongan ini jika dibiarkan mengendap di dalam sanubari seseorang dari kelompok tersebut, maka sikap ini akan menimbulkan kesombongan dan kebanggan kepada kelompoknya tersebut. Dan tak aneh jika ada di antara mereka yang marah sebab membela kelompoknya lantaran ashobiyah, rela mati sebab mempertahankan ashobiyah dan ia akan berkata dengan pebuh kebanggaan kepada selainnya, ” ana khoirum minka” (aku lebih baik darimu) atau ”nahnu khoirum minkum” (kami lebih baik dari kalian). Tidakkah perkataannya itu sama dengan perkataan Iblis la’natullah alaihi ketika ia berkata, “ana khoirum minhu” (aku lebih baik darinya) (QS. Shaad/ 38: 76 dan QS. al-A’raf/ 7: 12 ). Padahal Allah Subhanahu wa ta’ala telah melarang seseorang hamba untuk mengatakan bahwa dirinya itulah yang terbaik, yang terpandai dan menganggap dirinya suci atau bersih dari kesalahan-kesalahan. Yakni firman-Nya, ”dan janganlah kalian menganggap diri kalian suci.” (QS. an-Najm/ 53: 32).
عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صلى الله عليه و سلم: يَظْهَرُ اْلإِسْلاَمُ حَتىَّ تَخْتَلِفَ التُّجَّارُ
فىِ اْلبَحْرِ وَ حَتىَّ تَخُوْضَ اْلخَيْلُ فىِ سَبِيْلِ اللهِ ُثمَّ
يَظْهَرُ قَوْمٌ يَقْرَؤُوْنَ اْلقُرْآنَ يَقُوْلُوْنَ: مَنْ أَقْرَأُ
مِنَّا ؟ مَنْ أَعْلَمُ مِنَّا ؟ مَنْ أَفْقَهُ مِنَّا؟ ثُمَّ قَالَ
لِأَصْحَابِهِ: هَلْ فىِ أُوْلَئِكَ مِنْ خَيْرٍ؟ قَالُوْا: َاللهُ وَ
رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ قَالَ: أُوْلَئِكَ مِنْكُمْ مِنْ هَذِهِ اْلأُمَّةِ وَ
أُوْلَئِكَ هُمْ وَقُوْدُ النَّارِ
Dari Umar bin al-Khoththob radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Islam itu akan unggul sehingga para pedagang akan berselisih di lautan, dan sehingga akan ada kuda yang berbicara pada jalan Allah. Kemudian akan muncul suatu kaum yang membaca alqur’an seraya berkata, “Siapakah orang yang paling pandai membaca (alqur’an) dari kami? Siapakah yang paling berilmu dari kami? Siapakah yang lebih mengerti hukum dari kami?”. Kemudian beliau bersabda kepada para shahabatnya, “Apakah pada mereka itu ada kebaikan?”. Mereka menjawab, “Allah dan rosul-Nya-lah lebih mengetahui. Beliau bersabda, “Mereka itu adalah dari golongan kalian dari umat ini dan mereka itu adalah bahan bakarnya neraka”. [HR ath-Thabraniy didalam al-Awsath dan al-Bazzar dengan sanad tiada cacat dengannya. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hasan]. [26]
Masihkah diragukan lagi berita yang telah dibawa oleh utusan Allah ini, padahal berita tersebut adalah merupakan salah satu dari tanda-tanda kenabian yang akan berlaku dan terjadi di dunia ini. Bahwa akan akan ada di antara umat Islam ini yang membaca alqur’an hanya untuk kebanggaan dan kesombongan belaka. Sehingga ia merasa bahwa dirinyalah yang paling pandai di dalam membaca alqur’an, paling berilmu dan paling mengerti tentang hukum dari selainnya, sedangkan ia adalah merupakan bahan bakarnya neraka Jahannam. Ma’adzallah.
عن عبد الله بن عباس رضي الله عنهما عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى
الله عليه و سلم فَقَالَ: لَيَظْهَرَنَّ اْلإِيْمَانُ حَتىَّ يُرَدُّ
اْلكُفْرُ إِلىَ مَوَاطِنِهِ وَ لَتُخَاضَنَّ اْلبِحَارُ بِاْلإِسْلاَمِ وَ
لَيَأْتِيَنَّ عَلىَ النَّاسِ زَمَانٌ يَتَعَلَّمُوْنَ فِيْهِ اْلقُرْآنَ
يَتَعَلَّمُوْنَهُ وَ يَقْرَؤُوْنَهُ ُثمَّ يَقُوْلُوْنَ: قَدْ قَرَأْنَا
وَ عَلِمْنَا فَمَنْ ذَا الَّذِي هُوَ خَيْرٌ مِنَّا ؟ فَهَلْ فىِ
أُوْلَئِكَ مِنْ خَيْرٍ ؟ قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَنْ هُمْ؟ قَالَ:
أُوْلَئِكَ مِنْكُمْ وَ أُوْلَئِكَ هُمْ وَقُوْدُ النَّارِ
Dari Abdullah bin Abbas radliyallahu anhuma dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Benar-benar akan tampak jelas keimanan itu, sehingga kekufuran akan dikembalikan ke tempat-tempatnya. Dan sungguh-sungguh akan diperbincangkan lautan itu dengan Islam. Dan benar-benar akan datang suatu masa atas manusia, yang pada masa tersebut mereka akan mempelajari alqur’an, mereka mempelajari dan membacanya, kemudian mereka akan berkata, ”Sungguh-sungguh kami telah membaca dan mengetahui, maka siapakah orang yang lebih baik dari kami? Maka apakah pada mereka itu ada kebaikan?”. Mereka bertanya, “Siapakah mereka itu wahai Rosulullah?”. Beliau menjawab, “mereka itu adalah termasuk kalian dan mereka itu adalah bahan bakarnya api neraka”. [HR al-Imam ath-Thabraniy di dalam al-Kabir. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: sanad hadits ini adalah hasan إن شاء الله تعالى ].
Dengan nash hadits ini belumkah cukup bagi mereka untuk menghentikan diri mereka dari mengagul-agulkan dan mengagung-agungkan diri sendiri dan bahkan menganggap bahwa hanya dirinyalah yang paling pandai dan paling benar. Padahal sebagaimana telah dijelaskan bahwa ukuran benar dan salah serta baik dan buruknya seseorang itu bukan di ukur dari penilaian manusia secara mayoritas. Tetapi yang menjadi barometer penentu bagi seseorang itu apakah berpijak kepada kebenaran ataukah kepada kebatilan dan apakah ia orang baik ataukah seorang yang buruk, itu adalah alqur’an dan sunnah yang telah tsabit dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Jika ia sesuai dengan keduanya, maka kepada kebenaran ia berpijak dan ia adalah orang yang shalih. Tetapi apabila ia menyelisihi keduanya maka kepada kebatilanlah ia berpihak dan ia adalah seorang yang thalih (buruk).
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhohullah pernah ditanya, “Apa hukum bagi seseorang yang mencintai seorang ulama atau da’i, hingga ia berkata, ‘Sesungguhnya aku sangat mencintainya. Aku tidak ingin seorang pun membantahnya, dan aku mengambil perkataannya meskipun ia menyelisihi dalil, karena syaikh tersebut lebih mengetahui dalil daripada kita’ ?”.
Beliau hafizhohullah menjawab, “Sikap ini merupakan kefanatikan (ta’ashub) yang dibenci lagi tercela, tidak diperbolehkan.
Kita mencintai ulama – walillahil-hamd – , dan mencintai da’i yang menyeru di jalan Allah Azza wa Jalla. Akan tetapi jika salah seorang di antara mereka terjatuh dalam kesalahan dalam satu permasalahan, maka kita menjelaskan kebenaran dalam permasalahan ini dengan dalil. Hal itu sama sekali tidaklah mengurangi kecintaan kita pada orang yang dibantah, dan tidak pula mengurangi kedudukannya.
Al-Imam Malik rahimahullah berkata, “Tidaklah seorang pun dari kita kecuali orang yang membantah atau yang dibantah, kecuali pemilik kubur ini” – yaitu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam.
“Apabila kita membantah sebagian ulama dan sebagian fudlala’ tidaklah bermakna kita membencinya atau merendahkannya. Kita hanyalah menjelaskan kebenaran. Oleh karenanya sebagian ulama berkata ketika sebagian rekannya terjatuh dalam kesalahan, ‘Fulan adalah orang yang kami cintai, akan tetapi kebenaran lebih kami cintai daripadanya’. Inilah jalan yang benar.
Janganlah kalian memahami bahwa bantahan terhadap sebagian ulama dalam permasalahan yang mereka jatuh dalam kekeliruan bermakna perendahan atau kebencian. Bahkan para ulama senantiasa memberikan bantahan sebagian terhadap sebagian yang lain, dalam keadaan mereka saling bersaudara dan mencintai.
Tidak boleh bagi kita mengambil semua yang diucapkan seseorang secara total, baik benar ataupun salah, karena ini merupakan sikap fanatik (ta’ashub).
“Yang diambil semua perkataannya tanpa ditinggalkan sedikitpun adalah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, karena beliau orang yang menyampaikan (risalah) dari Rabbnya, tidak berkata dengan hawa nafsu. Adapun orang selain beliau Shallallahu alaihi wa sallam, bisa benar dan bisa juga salah, meskipun ia adalah seutama-utama manusia. Mereka (para ulama) adalah para mujtahid yang bisa benar dan bisa salah.
Tidak ada seorang pun yang ma’shum dari kesalahan, kecuali Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam.
Wajib bagi kita untuk mengetahui permasalahan ini. Kita tidak membicarakan kesalahan dikarenakan kecintaan terhadap seseorang. Namun wajib bagi kita menjelaskan kesalahan tersebut.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ((“Agama adalah nasihat”. Kami bertanya, “Untuk siapa ?”. Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para imam kaum muslimin, dan kaum muslimin pada umumnya”)).
Menjelaskan kesalahan termasuk nasihat bagi semua. Adapun menyembunyikannya, maka itu menyelisihi nasihat tersebut di atas”. [Selesai perkataan asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan rahimahullah]. [27]
Singkatnya, seorang dai itu hanyalah berkewajiban mengajak umat Islam ini agar mereka beribadah dan mengabdi kepada Allah Subhanahu wa ta’ala semata untuk mendapatkan ampunan dan keridloan-Nya, dengan cara mengikuti dan menteladani petunjuk Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam melalui dua nara sumber umat Islam yaitu alqur’an dan hadits-hadits shahih. Di sisi lain, iapun berkewajiban membongkar dan memerangi praktek-praktek bid’ah dan ashobiyah atau fanatik golongan yang terlarang menurut syariat. Lalu menerangkan sejelas-jelasnya kepada umat Islam mengenai bahaya dan akibatnya bagi orang-orang yang mengerjakannya dengan cara mengungkapkan illat (cacat)nya hadits-hadits lemah, palsu atau yang tidak ada asalnya yang dijadikan sandaran amalan orang-orang yang mengerjakannya, dan mengenai hal ini mesti merujuk kepada para ahli hadits. Atau meletakkan kembali kedudukan dari hadits-hadits shahih yang disalah-artikan atau diselewengkan dari pemahaman yang sebenarnya oleh sebahagian dari mereka untuk kepentingan pribadi atau golongannya. Hal tersebut biasanya disebabkan karena mereka lebih mendahulukan dan mengutamakan pendapatnya sendiri dan juga para pendahulu mereka yang sepaham, dengan menomorduakan bahkan meninggalkan penjelasan para ulama salafus shalih dari kalangan para shahabat, tabi’in dan atba’ut tabi’in yang mereka itu telah diabadikan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam hadits-hadits terdahulu sebagai tiga generasi yang terbaik dari umat ini.
Tindakan lain yang mesti dilakukan oleh seorang dai adalah mengungkapkan dan memunculkan kembali hadits-hadits shahih yang disembunyikan dan dikubur rapat-rapat oleh mereka atau mungkin karena mereka memang tidak tahu dan buta terhadap hadits-hadits shahih tersebut dan mereka tidak mau tahu untuk mempelajarinya, sehingga sering dijumpai pada kebanyakan umat Islam ini bahkan para ustadz dan ustadzahnya yang tidak memahami arti dari hadits shahih, hasan, dlo’if, maudlu dan munkar. Juga mereka tidak mengerti tentang pengertian bid’ah, ashobiyah, syirik, tauhid rububiyyah, uluhiyyah dan asma dan sifat, nifak, hijrah dan lain sebagainya secara jelas dan benar. Maka terjadilah ketentuan Allah Azza wa Jalla bahwa Islam itu akan kembali asing sebagaimana telah dikhabarkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam beberapa riwayat hadits berikut ini,
عن أبى هريرة رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى
الله عليه و سلم: بَدَأَ اْلإِسْلاَمُ غَرِيْبًا وَ سَيَعُوْدُ كَمَا
بَدَأَ غَرِيْبًا فَطُوْبىَ لِلْغُرَبَاءِ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Islam itu awalnya adalah asing dan akan kembali asing sebagaimana mulanya maka beruntunglah bagi orang-orang yang terasing”. [HR Muslim: 145 dan 146 dari Ibnu Umar, Ahmad: I/ 398 dari Ibnu Mas’ud, at-Turmudziy: 2629 dari Ibnu Mas’ud, 2630 dari Auf, Ibnu Majah: 3986 dari Abu Hurairah, 3987 dari Anas, 3988 dari dari Ibnu Mas’ud dan ad-Darimiy: II/ 311-312 dari Ibnu Mas’ud. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [28]
Di dalam satu riwayat, Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah orang-orang yang terasing itu wahai Rosulullah?”. Beliau menjawab, “Yaitu orang-orang yang shalih ditengah-tengah rusaknya manusia”. [Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hadits ini dikeluarkan oleh Abu Amr ad-Daniy dari Ibnu Mas’ud dengan sanad yang shahih]. [29]
Berkata al-Allamah Ibnu Qoyyim al-Jauziyah rahimahullah, “Kaum mukminin itu minoritas di antara manusia, para ulama itu juga minoritas di antara kaum mukminin dan mereka juga minoritas di antara para ulama. Maka dari sebab itu, waspadalah terhadap tipuan ini yang telah menipu kaum bodoh. Karena mereka mengatakan, seandainya mereka di atas kebenaran maka tidak mungkin mereka itu menjadi kelompok yang tersedikit di antara manusia”, sedangkan manusia menyelisihi mereka.[30]
Dari sebab itu, wahai saudara-saudaraku tercinta marilah kita mempelajari dan mengenal Islam yang telah menjadi agama kita dengan benar secara berkesinambungan. Dengan berpijak kepada alqur’an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang shahih melalui pemahaman para ulama salafush shalih (para shahabat, tabi’in dan Atba’ at-Tabi’in serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka). Jauhilah sifat dan sikap fanatik (ashobiyah) dan taklid kepada seseorang ataupun kelompok manapun karena hal tersebut akan memicu kepada perselisihan, pertikaian dan permusuhan di antara kita. Maka rugilah kita di dunia dan akhirat. Wallahu a’lam.
[1] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 3835, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6442 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 433.
[2] Shahih Sunan Abu Dawud: 4270, 4271, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6575 dan Misykah al-Mashobih: 4904.
[3]
Mukhtashor Shahih Muslim: 1232, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 3834, Shahih
Sunan Ibni Majah: 3190, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6227, Silsilah
al-Ahadits ash-Shahihah: 983 dan Iqtidlo’ ash-Shirath al-Mustaqim
halaman 74.
[4] Mukhtashor Shahih Muslim: 1811 dan Shahih Sunan at-turmudziy: 2641.
[6] Majmu’ah ar-Rosa’il at-Taujihat al-Islamiyyah halaman 159.
[7]
Shahih Sunan at-Turmudziy: 2029, Shahih Sunan Ibni Majah: 3428, Shahih
al-Jami’ ash-Shaghir: 4515 dan Misykah al-Mashobih: 2341.
[8] Shahih Sunan Abi Dawud: 3099, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1196 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1532.
[9]
Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam oleh asy-Syaikh
al-Albaniy halaman 48, Fat-h al-Majid halaman 468 dan Majmu’ah Rosa’il
at-Taujihat al-Islamiyah oleh asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu
halaman 35.
[10]
Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 46 dan
ar-Rosa’il as-Salafiyyah oleh al-Imam asy-Syaukaniy halaman 207.
[11] Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 47.
[12] Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 47.
[13]
Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 48,
Majmu’ah Rosa’il at-Taujihat al-Islamiyah halaman 135 dan ar-Rosa’il
as-Salafiyyah halaman 208, 215.
[14] Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 49.
[15]
Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 26,
ar-Rosa’il as-Salafiyyah halaman 216, Diwan al-Imam asy-Syafi’iy halaman
57, 64, Mukhtashor ash-Showa’iq al-Mursalah oleh al-Allamah Ibnu Qoyyim
al-Jauziyyah tahqiq Sayyid Ibrahim halaman 519, Fat-h al-Majid halaman
468 dan Taysir al-Aziz al-Hamid halaman 487.
[16] Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 50.
[17]Shifat
Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 51-52, Mukhtashor
ash-Showa’iq al-Mursalah halaman 519, dan ar-Rosa’il as-Salafiyyah
halaman 216.
[18] Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 52 dan Diwan al-Imam asy-Syafi’iy halaman 64.
[19] Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 52 dan ar-Rosa’il as-Salafiyyah halaman 216-217.
[20] Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 52 dan Diwan al-Imam asy-Syafi’iy halaman 63.
[21]
Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 53,
ar-Rosa’il as-Salafiyyah halaman 220 dan I’lam al-Muwaqqi’in: II/ 201.
[22] Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 53.
[23] Ar-Rosa’il as-Salafiyyah halaman 219-220 dan I’lam al-Muwaqqi’in: II/ 201.
[24]
Ar-Rosa’il as-Salafiyyah halaman 220, Majmu’ at-Tauhid halaman 188,
I’lam al-Muwaqqi’in: II/ 201 dan Mukhtashor Jami’ Bayan al-Ilmi halaman
116.
[25] Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 53.
[26] Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 131 dan al-Kaba’ir oleh asy-Syaikh Muhammad at-Tamimiy halaman 65.
[27]
Dinukil dari kitab al-Ajwibatul-Mufiidah ‘an
As-ilatil-Manahijil-Jadidah min Ijabat Ma’aliy Asy-Syaikh Shalih
Al-Fauzan, hal. 163-164, Darul-Minhaj, Cet. 3/1424 H, dengan catatan
kaki yang diberikan oleh Jamal bin Furaihan Al-Haritsiy –
14041434/24022013. Lihat http://abul-jauzaa.blogspot.com/2013/02/fanatik-pada-ustadz-atau-ulama.html, dengan dibuang tulisan bahasa Arabnya.
[28]
Mukhtashor Shahih Muslim: 72, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2120, Shahih
Sunan Ibni Majah: 3221, 3222, 3223, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1580,
1581, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1273 dan Misykah al-Mashobih:
159, 170.
[29] Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1273.
[30] Miftah Dar as-Sa’adah halaman 176.
Sedikit tentang Ashobiyah
buku saya itu.
Tiba-tiba saja saya ingin sedikit menulis hal ini. Meski mungkin sudah tak lagi aktual—sebab di lingkungan saya, topik ini sepertinya hangat beberapa bulan yang lalu—, semoga bermanfaat.
***
Tulisan yang saya temui itu, katanya mengutip Muqaddimah karya Ibnu Khaldun. Saya tak mengecek kebenarannya. Pertama, saya tak punya bukunya. Maka saya akan sangat berterima kasih bila ada di antara pembaca yang mau memberikan buku itu baik berupa ebook maupun buku cetak. Kedua, andaikan punya pun, saya ragu bisa dengan cepat menemukan letak referensi itu mengingat penulis artikel tersebut tidak menyebutkan letaknya secara tepat.
Dalam hal saya tak ingin mengkritiknya lebih lanjut; mengingat hingga kini pun hal kedua yang saya tuliskan itu juga masih sering saya lakukan.
Penulis artikel itu menyebut, bagi Ibnu Khaldun, ashobiyah merupakan inti dari sebuah organisasi sosial. Ashobiyah, lanjutnya, mengikat kelompok-kelompok menjadi satu melalui sebuah bahasa, budaya, dan peraturan yang disepakati secara berangsur-angsur oleh segenap anggota politik.
Berikutnya adalah bagian yang menarik. Pengampu blog tersebut menulis bahwa Ibnu Khaldun menyebut faktor ashobiyah sebagai kunci bagi lahirnya suatu peradaban dan juga kekuasaan politik. Kehancuran ashobiyah dengan sendirinya menjadi titik balik kehancuran peradaban dan kekuatan politik tersebut.
Kehancuran ashobiyah kemudian dikaitkan dengan “ambruknya ide tradisional mengenai keadilan, kebajikan, kebaikan, dan keseimbangan.”
Kali ini saya hanya ingin mengomentari bagian yang saya tulis di atas. Bukan bagian yang menyebut bahwa hilangnya nilai tradisional Islam menimbulkan generasi muslim yang mudah goyah, gampang tersinggung, dan bersikap defensif—sebagai bagian dari dampak adanya sifat ashobiyah dalam diri muslim tersebut.
Sebelumnya, menurut saya kita perlu memahami terlebih dahulu apa yang disebut dengan ashobiyah. Memang kita bisa menggunakan pendekatan bahasa dalam memahami istilah syariat. Tapi ternyata para sahabat yang bahasa ibunya adalah bahasa Arab pun terkadang meminta penjelasan lanjutan mengenai terminologi Islam yang disampaikan Rasul dengan bahasa Arab. Seperti ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan penjelasan tentang definisi ihsan, misalnya.
Maka, karena ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sudah memberikan penjelasan tentang hal tersebut, saya kira langkah terbaik adalah mengembalikannya pada pengertian yang diberikan oleh pembawa risalah itu.
Tentang ashobiyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya, “Yaa Rasulallah, apakah ashobiyah itu?” Rasul menjawab, “Engkau menolong kaummu dalam kezhaliman.” (HR Abu Dawud)
Karena saya hanya menyelesaikan mata kuliah Pengantar Mushthalah Hadis di ma’had tempat saya belajar dulu—dan hingga kini belum menemukan semangat untuk belajar ulang tentang hadis, maka izinkan saya mengambil penjelasan mengenai derajat keshahihan hadis ini dari ustadz Abul Jauzaa’. Saya tak bisa bicara banyak mengenai hal ini.
Ringkasnya, karena hadis tersebut dinyatkaan sebagai hadis hasan li ghairihi, ada kebolehan untuk menjadikannya referensi—meski tidak untuk semua keperluan, seperti untuk masalah ahkam (hukum-hukum).
Dari pengamatan singkat saja, kita sudah bisa memahami bahwa definisi yang diungkapkan pengampu blog yang saya kutip dengan definisi yang diberikan Rasul cukup jauh berbeda. Definisi versi Rasul sepertinya lebih dekat bila dikaitkan dengan kisah Kumbakarna daripada penjelasan penulis artikel tersebut yang katanya diambil dari kutipan Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah.
Entahlah, mengingat saya juga tak punya referensi langsung untuk merujuk pernyataan ini pada Ibnu Khaldun secara langsung.
Mungkin benar bila ashobiyah bisa membangun sebuah peradaban. Sebagaimana Aus dan Khazraj membangun pertahanan dirinya selama Perang Bu’ats, atau seperti mereka yang bangga menyatakan, “benar atau salah, ini tetap negaraku!”
Tapi benarkah runtuhnya ashobiyah menyebabkan runtuhnya sebuah peradaban?
Menurut saya, ini simpulan yang terlalu dini. Mari ambil contoh daulah Utsmani yang berpusat di Turki. Saya yakin ada faktor tingginya utang Turki Utsmani di masa itu. Hal yang jadi poin tambahan ketika komplotan Theodore Herzl datang pada Sultan Abdul Hamid II dengan iming-iming pelunasan utang jika dan hanya jika Turki mau melepas Palestina pada mereka. Belum lagi faktor berpecahnya dunia Islam ketika itu, khususnya di jazirah Arab. Dan yang jelas masuk hitungan adalah ulah Mushthafa Kemal Pasha meniupkan slogan-slogan nasionalisme Turki sambil memimpin revolusi Turki yang mengakhiri pemerintahan Islam di tahun 1924.
Kalau dibilang tegak atau runtuhnya keadilan dan sistem sosial itu berbanding lurus dengan sikap ashobiyah, tentu tak masuk akal sama sekali. Bukankah ketika ta’ashub—sikap ashobiyah—itu hancur, harusnya muncullah keadilan (bila kita mengacu pada definisi versi Rasul)?
Saya tak hendak menihilkan kebenaran dalam artikel itu. Tapi, bisakah istilah “ashobiyah” itu diganti saja menjadi “identitas keislaman” atau kalau mau lebih umum, “identitas komunal” saja? Ini lebih aman, menurut saya, untuk menghindari rancunya pemahaman masyarakat terhadap istilah-istilah syariat.
Berikutnya, seberapa parah inhiraf (penyimpangan) mereka yang punya sifat ini dalam dirinya? Saya tak akan menjelaskan dengan rinci. Saya kira Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sudah menjelaskannya dengan cukup gamblang.
Pertama adalah hadis yang sangat masyhur untuk tema ini.
Barangsiapa berperang karena ashobiyah, barangsiapa marah karena ashobiyah, atau menyeru pada ashobiyah, atau menolong berdasarkan ashobiyah, maka matinya mati jahiliyah. (HR Muslim)
Ada hadis lain yang serupa dengan beberapa perbedaan redaksional.
Bukan bagian dari kami barangsiapa yang menyeru pada ashobiyah, bukan bagian dari kami barangsiapa yang berperang karena ashobiyah, bukan bagian dari kami barangsiapa yang mati karena ashobiyah. (saya lupa hadis ini di-takhrij oleh siapa)
Celakanya, berperang atas nama ashobiyah ini termasuk ciri perbuatan orang-orang musyrik.
Dan janganlah kamu termasuk orang yang mempersekutukan Allah. Yaitu orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. (QS ar Ruum 31-32)
Lantas, apakah pelakunya bisa dihukumi sebagai kafir?
Bisa jadi. Melihat dalil yang tersebut di atas, perbuatan ini bisa jadi membatalkan keislaman. Tapi takfir mu’ayyan selalu tergantung pada kondisi yang kasuistik. Saya tidak bisa memberikan jawaban yang bernada generalisasi di sini. Sebab ada kaidah takfir yang harus dicermati sebelum menjatuhkan vonis kafir.
Jadi demikian catatan ringkas saya terkait ashobiyah. Semoga bermanfaat.
-RSP-
BERSATULAH DGN ISLAM BUKAN DENGAN ASHOBIYAH ( NASIONALISME )
‘Aku sedih membaca dan mendengar realita ini’..Bahwa:
sebagian saudara seimanku telah menjadikan saudara seiman mereka sebagai musuh. Dan menjadikan musuhNya sebagai temannya. Semua ini diakibatkan oleh hasutan musuh-musuh Allah pd umat Islam untuk rela hidup dan mati bukan demi ALLAH melainkan demi ‘ASHOBIYAH’ (nasionalisme,kesukuan,kelompok-isme).
Benar apa sabda Rasulullah,
” Kelak umat lain akan mengerumuni kalian seperti orang-orang kelaparan yang mengerumuni hidangan”. Salah seorang sahabat bertanya,” apakah ketika itu jumlah kami sedikit yaa Rasul?”. Rasul menjawab,”Tidak! Ketika itu jumlah kalian banyak namun kalian bagaikan buih di lautan. Allah melenyapkan rasa takut dari musuh-musuh kalian,dan menumbuhkan WAHN ke dalam hati kalian”. Seorang sahabat bertanya,”Apa itu WAHN yaa Rasul?”. Rasul menjawab,”Cinta dunia takut mati”..” (HR Abu Dawud & Ahmad)
Salah satu senjata ampuh musuh-musuh Allah untuk membunuh rasa persaudaraan umat Islam adalah faham beracun bernama NASIONALISME. Faham ini telah berhasil membuat kaum nasionalis Arab memberontak dan memerangi khilafah Turki Utsmani, membuat Iraq berperang dengan Iran di era 80-an, membuat Iraq menginvasi Quwait atas dukungan AS, dan membuat Indonesia berseteru dengan Malaysia. Perjuangan dan perseteruan murahan ini berawal dari Ashobiyah yang bernama Nasionalisme. Dunia Islam menjadi egois karena nya. Orang Indonesia bangga dengan keIndonesiaannya. Orang Malaysia bangga dengan keMalaysiaannya. Orang Arab bangga dengan kearabannya,dan seterusnya. Hingga perlahan tapi pasti hilanglah rasa bangga mereka pada Allah, nabiNya, kitabNya, dan agamaNya, Islam, serta saudaranya, sesama muslim.
Saat ini kita,umat Islam,menjadi santapan musuh-musuhnya. Kita di’nina-bobokan’ dan dilenakan dengan WAHN.
Setiap hari, TV berisi tayangan murahan yg membodohi dan merusak generasi umat Islam. Tata pergaulan muda mudi Islam dirusak oleh free sex dan narkoba. Media online dipenuhi aplikasi seronok berupa pornografi {pornoaksi}. Apa yang kita harapkan dari generasi rusak semacam ini?! Apakah mereka layak jadi pemimpin?!
Sebagian keluarga muslim broken home, karena perzinahan,kemiskinan,dan lain-lain. Masyarakat dibuat sulit menjalani kehidupan. Karena harga kebutuhan pokok melambung tinggi, jumlah pengangguran meningkat. Begitupun juga dengan jumlah orang miskin dan sakit. Negara dibuat hampir bangkrut dengan hutang luar negerinya yang ribawi dengan modus bantuan/hibah, aset dan harta kekayaan negara dirampas oleh negara asing dengan modus investasi. Gas meledak dan melukai bahkan membunuh rakyat. Jika Indonesia benar-benar merdeka,bukan kehidupan seperti ini yang rakyat impikan. Allah pun tak ridho dengan kezhaliman penguasa pada rakyatnya.
Kesempitan hidup ini akibat ulah penjajah dan umat Islam sendiri yang disadari/tidak, telah membuka peluang bagi musuh untuk menguasai urusan diri mereka dengan aturan jahil buatan manusia.
Inilah persoalan utama kita. Ditambah persoalan perpecahan dalam tubuh umat di dunia Islam akibat faham beracun ashobiyah bernama nasionalisme. Akibat nasionalisme, persoalan palestine tidak pernah berakhir. Begitu pula dengan krisis imperialisme global di timur tengah. Akibat egoisme rezim berkuasa di dunia dengan ego nasionalisme mereka, imperialisme global merata di dunia dan sukar diperangi. Allah murka. Allah seakan-akan membiarkan kondisi semacam ini hingga manusia, khususnya umat Islam, mau berfikir dan melakukan revolusi terhadap kondisi mereka yang terpuruk dan terhina serta diperebutkan bagai hidangan lezat oleh musuh-musuh Allah.
Akibat ego nasionalisme pula, Indonesia rela siap berperang dan mati sangit alias ‘sia-sia’ melawan Malaysia, demi alasan apapun. Begitu bencinya mereka satu dengan lain ; hingga mata,hati,dan fikiran mereka tak mampu membedakan mana kawan mana lawan. Mereka membenci saudara seiman hanya karena perbedaan bangsa. Mereka begitu cinta musuhNya hanya karena kebaikan fatamorgana/semu-nya saja.
Padahal sudah jelas, didalam al Qur’an, berkali-kali,Allah mengingatkan umat ini agar tak bercerai berai kecuali berpegang teguh pada tali agamaNya yang kuat. Dan berapa kali Allah mengingatkan pada kita betapa Dia benci musuh-musuhNya yang telah memerangi dan membunuh para nabi dan peperangan ini sedang serta akan selalu mereka lakukan pada hambaNya yang sholih.
Dan betapa Dia mencintai hamba-hambaNya yang muslim,mu’min,dan mukhlis.
Allah juga tak pernah menyuruh para nabi dan rasulNya untuk menyeru kepada ASHOBIYAH termasuk Nasionalisme. Seluruh nabi dan rasul,sejak nabi Adam AS hingga Muhammad SAW, hanya menyeru umatnya kepada kalimat tauhid ‘LAA ILAAHA ILALLAAH’-seraya berharap dan berdoa padaNya bagi umatnya, ‘JANGANLAH KALIAN MATI KECUALI DALAM KEADAAN ISLAM’. Karena ISLAM adalah satu-satunya agama dan jalan hidup yang diridhoi Allah.
Akhiri permusuhan antar saudara seiman atau kita rela mati dalam kebencian ‘sia-sia’ kita pada seluruh hambaNya hanya karena ego kebangsaan. Perkuat tali persatuan diantara umat Islam,tanpa bedakan suku,ras,dan bangsa.
Allah takkan menghisab manusia dari jenis kelamin, suku, bangsa, atau ras manusia. Namun dari perbuatannya yang senantiasa tercatat oleh dua malaikat setiaNya.
Tanamkan dan miliki cita-cita seorang muslim sejati :
HIDUP MULIA dengan ISLAM atau MATI SYAHID, membela al-haq, ISLAM
http://khoirzahra75id.multiply.com/journal/item/269
‘ASHOBIYAH SEBUAH DURI DALAM PERSATUAN UMAT
Adalah
sunnatulloh bahwa manusia senantiasa ingin mencari kelompok dalam hidupnya, karena setiap manusia dengan
kelebihan dan kekurangannya pasti membutuhkan yang lainnya. Alloh ‘Azza wa
Jalla mewajibkan orang-orang beriman untuk hidup berkelompok atau berjama’ah, karena
begitu pentingnya jama’ah dan bahayanya hidup sendirian. Orang-orang yang kufur
kepadaNya juga berkelompok untuk memusuhi dan memerangi orang-orang beriman.
Alloh berfirman :
﴿وَ اعْتَصِمُوْا بِـحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا
وَ لاَ تَفَرَّقُوْا وَ اذْكُرُوْا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ
فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا...﴾ آل عمران :
103
“Dan berpegang-teguhlah kalian
dengan tali Alloh semuanya dan jangan kalian berpecah belah dan ingatlah kalian
akan nikmat Alloh yaitu ketika dulu kalian saling bermusuhan lalu Alloh
lembutkan hati-hati kalian sehingga dengan nikmatNya kalian menjadi saudara”. 3
: 103
Tali Alloh mengandung 2 makna,
yaitu : perjanjian Alloh dan Al Qur’an.
وَ
لاَ تَفَرَّقُوْا Þ
artinya Alloh Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada mereka untuk
berjama’ah dan melarang adanya perpecahan.
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi
wa Sallam bersabda dalam hadits shohih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
Rohimahulloh :
((إِنَّ اللهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلاَثًا وَ يَسْخَطُ لَكُمْ ثَلاَثًا : يَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوْهُ وَ لاَ تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا، وَ أَنْ تَعْتَصِمُوْا بِـحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُوْا، وَ أَنْ تَنَاصَحُوْا مَنْ وَلاَّهُ اللهُ أَمْرَكُمْ. وَ يَسْخَطُ لَكُمْ ثَلاَثًا ؛ قِيْلَ وَ قَالَ، وَ كَثْرَةُ السُّؤَالِ وَ إِضَاعَةُ الْمَالِ)) رواه مسلم.
“Sesungguhnya Alloh Subhanahu wa
Ta’ala ridho kepada kalian atas 3 perkara dan murka kepada kalian atas 3 perkara.
Dia ridho kepada kalian jika; kalian hanya beribadah kepadaNya saja dan tidak
menyekutukanNya dengan sesuatu, kalian berpegang teguh kepada tali Alloh dan
tidak berpecah belah, kalian saling memberi nasehat kepada orang yang Alloh
beri kekuasaan atas urusan kalian. Dan Alloh murka kepada kalian dalam 3 hal; Banyak
bicara tanpa tahu sumber yang
dibicarakan, banyak bertanya dan menyia-nyiakan harta. HR.
Muslim.
Dr.
Sholah Showiy dalam kitabnya “Jama’atul Muslimin” menyebutkan bahwa jama’ah
memiliki dua makna, yaitu :
- Berkumpul di atas dasar-dasar yang telah tetap dari Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’ dan mengikuti apa yang ada pada Salafush Sholeh.
- Berkumpul pada satu imam dan mentaati kepemimpinannya.
Syeikhul
Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahulloh berkata :
“Kalau seandainya mereka yang
mengatakan keharaman jama’ah berkumpul dalam mengurusi amal kebaikan tertentu,
mau melihat pada banyaknya manfaat dan akibat yang baik dari adanya jama’ah di
bumi barat maupun di timur, dan mereka lepas dari nafsu fanatisme, juga
pandangannya mau melihat dunia Islam, tentu tidak akan mengeluarkan fatwa yang
demikian buruk dan menyesatkan”. (Kitab “Syeikhul Islam Ibnu
Taimiyyah dan Amal Jama’I” karya Syeikh Abdurrohman bin Abdul Kholiq)
Perpecahan
umat Islam hari ini tidak mungkin kita hindari karena itu adalah sunatulloh walaupun
itu termasuk sunatulloh kauniyah yang tidak diridhoi oleh Alloh Tabaroka wa
Ta’ala. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sendiri telah memberitakan
kepada para sahabatnya bahwa umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan. Namun kita
harus tetap berusaha untuk berjama’ah/bersatu dan tidak berpecah belah
sebagaimana penjelasan di atas.
Lantas, apa itu ’Ashobiyah atau
ta’ashub?
Secara
bahasa, Ta’ashub maknanya adalah mengajak seseorang untuk menolongnya dan
bergabung bersama kelompoknya, bersekutu dengan mereka untuk menghadapi musuh,
baik sebagai kelompok yang berbuat dzolim maupun yang mendzolimi. Jika mereka
berkumpul maka mereka telah berta’ashub. (Lisanul ‘Arab : 1/606)
Adapun
secara istilah, ta’ashub maknanya adalah satu tabi’at/kebiasaan yang
menunjukkan kelemahan, kebodohan yang menghiasi seseorang sehingga menjadi buta
pandangannya, tertutup hatinya. Sehingga tidak melihat kebaikan kecuali apa
yang menurut akalnya, dan tidak melihat
sebuah kebenaran kecuali apa yang
madzhabnya atau madzhab orang orang yang berkumpul bersamanya. (Muqoddimah fie
Asbaabi Ikhtilaafil Muslimin wa Tafarruqihim / Muhammad Abduh dan Thoriq Abdul
Karim hal 83)
Ta’ashub
(fanatisme golongan) diharamkan walau terhadap nama-nama yang baik. Nabi
Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam telah mengingkari perbuatan seorang dari kaum
Muhajirin dan seorang dan kaum Anshor ketika mereka berta’ashub kepada kelompok
masing-masing dalam percekcokan mereka dengan memanggil ‘hey muhajir!’.dan ‘hey
anshor!’ Jika Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam saja mengingkari ta’ashub
terhadap nama-nama yang diridhoi oleh Alloh dan RosulNya, maka
bagaimanakah dengan ta’ashub terhadap
suatu nama yang hukumnya mubah atau bahkan makruh? (Iqtidho’ush Shirotol
Mustaqim 1/214 dan Al Fatawa : 3/415)
Peringatan Empat Imam Madzhab
terhadap Umat Islam tentang Ta’ashub
Sebagian pengikut empat Imam
Madzhab mereka ta’ashub terhadap madzhab yang mereka ikuti padahal keempat imam
tersebut tidak ada satupun yang memerintahkannya. Bahkan mereka memperingatkan
umat ini dengan peringatan yang cukup keras. Maka mari kita dengarkan perkataan
mereka rohimahumulloh tentang ta’ashub.
Imam Abu Hanifah Rohimahulloh :” Jika
datang sebuah hadits yang sanadnya shohih dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa
Sallam maka kami pasti akan mengambilnya”.
Imam Malik Rohimahulloh :”
Sesungguhnya aku hanya seorang manusia yang bisa salah dan bisa benar, maka
lihatlah pendapatku. Maka apa-apa yang sesuai dengan Al Kitab dan As Sunnah
ambillah, dan apa-apa yang menyelisihi keduanya tinggalkanlah”.
Imam Syafi’i Rohimahulloh : “Jika
ada hadits yang shohih maka itulah madzhabku”.
Imam Ahmad Rohimahulloh :” Pendapat
Al Auza’i, pendapat Malik dan pendapat Abu Hanifah semua itu hanyalah pendapat,
dalam pandanganku adalah sama. Sedangkan yang dinamakan hujjah adalah yang terdapat dalam
atsar”.
Bahaya Ta’ashub
Ta’ashub memunculkan berbagai
dampak negative yang sangat berbahaya bagi umat ini. Di antaranya adalah :
1. Memejamkan mata dari argument yang kuat dan berpegang dengan argument
yang rapuh.
Berkata
Ibnu Taimiyyah Rahimahulloh : “Mayoritas orang-orang fanatik madzhab tidak mendalami Al-Qur’an dan Sunnah kecuali
segelintir orang saja. Sandaran mereka hanyalah hadits-hadits lemah,
pendapat-pendapat rapuh atau hikayat-hikayat dari para tokoh ulama yang bisa
jadi benar dan bisa jadi bohong”. (Majmu’ Fatawa : 22/254)
2. Mementahkan dalil shahih karena bertentangan dengan madzhab.
3. Menyulut api permusuhan dan perselisihan.
Imam Adz
Dzahabi Rohimahulloh menceritakan dalam kitab “Mizanul I’tidal (4/51) bahwa
Muhammad bin Musa Al Balasaghuniy pernah
berkata : “Seandainya aku menjadi pemimpin, niscaya aku akan mengambil pajak
dari penganut madzhab Syafi’I”.
4. Menolak kebenaran sekalipun sudah jelas hujjahnya.
Ibnul
Jauzy Rohimahulloh mengatakan : “Termasuk tipu daya iblis terhadap para fuqaha’
yaitu tatkala jelas kebenaran berada di tangan lawannya, dia akan tetap
bersikukuh mempertahankan pendapatnya dan merasa sesak dada untuk menerima
kebenaran dari lawannya. Bahkan ia akan berusaha menggulingkan lawan padahal
sudah jelas dia yang benar”.
5. Mempermainkan dalil demi membela madzhabnya.
6. Merubah nash demi kepentingan madzhab.
Inilah
ta’ashub, tidak hanya berbahaya bagi persatuan umat tetapi juga bagi hal-hal
lainnya dalam urusan dien. Maka agar persatuan umat bisa diwujudkan kita harus
menyingkirkan dari dalam diri kita sifat ta’ashub disamping menyingkirkan
hal-hal lainnya yang juga akan menghambat adanya persatuan. Dan tidak boleh
kita lupakan adalah adanya do’a kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala karena atas
kehendaknya lah segala sesuatu bisa terjadi. Semoga Alloh senantiasa menghimpun
kita dalam jama’atul muslimin yang mengusung kebenaran dan menjadikan ridho
Alloh sebagai tujuan akhirnya.
Wallohu A’lam bish Showab.
Oleh Ust. Farid Ma’ruf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon tinggalkan pesan dan komentar anda...