Sumber : http://secondprince.wordpress.com
Ini merupakan kelanjutan dari tulisan
kami sebelumnya yang berjudul Analisis Hadis Tanduk Setan : Najd Bukan
Iraq?. Tulisan kami tersebut ternyata ditanggapi oleh salah satu situs
salafy dan kali ini kami berusaha meluruskan bantahannya yang berkesan
“tidak paham dengan tulisan orang lain”. Sudah sewajarnya sebelum
membantah tulisan orang lain kita hendaknya memahami betul-betul tulisan
yang ingin dibantah supaya tidak terjadi pengulangan-pengulangan yang
tidak perlu. kita akan lihat bersama tanggapan orang tersebut tetapi
sebelumnya kami akan memperjelas lagi hujjah atau dalil kalau tempat
yang dimaksud sebagai fitnah itu adalah Najd. Silakan perhatikan
hadis-hadis berikut
وحدثني حرملة بن يحيى أخبرنا ابن وهب أخبرني يونس عن ابن شهاب عن سالم بن عبدالله عن أبيه
أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال وهو مستقبل المشرق ها إن الفتنة ههنا
ها إن الفتنة ههنا ها إن الفتنة ههنا من حيث يطلع قرن الشيطان
Telah menceritakan kepadaku Harmalah
bin Yahya yang berkata telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb yang
berkata telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihab dari Salim bin
‘Abdullah dari ayahnya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
berkata dan Beliau menghadap kearah timur “fitnah datang dari sini, fitnah datang dari sini, fitnah datang dari sini, dari arah munculnya tanduk setan” [Shahih Muslim 4/2228 no 2905]
حدثنا عبد الله ثنا أبي ثنا أبو سعيد مولى بنى هاشم ثنا عقبة بن أبي الصهباء ثنا سالم عن عبد الله بن عمر قال صلى رسول الله صلى الله عليه و سلم الفجر ثم سلم فاستقبل مطلع الشمس فقال ألا ان الفتنة ههنا ألا ان الفتنة ههنا حيث يطلع قرن الشيطان
Telah menceritakan kepada kami
‘Abdullah yang menceritakan kepada kami ayahku yang berkata telah
menceritakan kepada kami Abu Sa’id mawla bani hasyim yang berkata telah
menceritakan kepada kami Uqbah bin Abi Shahba’ yang berkata telah
menceritakan kepada kami Salim dari ‘Abdullah bin Umar yang berkata
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat fajar
kemudian mengucapkan salam dan menghadap kearah matahari terbit seraya bersabda “fitnah datang dari sini, fitnah datang dari sini dari arah munculnya tanduk setan” [Musnad Ahmad 2/72 no 5410]
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا وكيع عن عكرمة بن عمار عن سالم عن ابن عمر قال خرج رسول الله صلى الله عليه و سلم من بيت عائشة فقال رأس الكفر من ههنا من حيث يطلع قرن الشيطان يعني المشرق
Telah menceritakan kepada kami Abu
Bakar bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Waki’
dari Ikrimah bin ‘Ammar dari Salim dari Ibnu Umar yang berkata
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar dari pintu rumah Aisyah
dan berkata “sumber kekafiran datang dari sini dari arah munculnya
tanduk setan yaitu timur [Shahih Muslim 4/2228 no 2905]
حدثنا مسدد حدثنا يحيى عن إسماعيل قال حدثني قيس عن عقبة بن عمرو أبي مسعود قال أشار رسول الله صلى الله عليه وسلم بيده نحو اليمن، فقال الإيمان يمان هنا هنا، ألا إن القسوة وغلظ القلوب في الفدادين، عند أصول أذناب الإبل، حيث يطلع قرنا الشيطان، في ربيعة ومضر
Telah menceritakan kepada kami
Musaddad yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya dari Isma’il
yang berkata telah menceritakan kepadaku Qais bin Uqbah bin Amru Abi
Mas’ud yang berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
mengisyaratkan tangannya kearah Yaman dan berkata “Iman di Yaman disini
dan kekerasan hati adalah milik orang-orang Faddadin [arab badui yang bersuara keras] di belakang unta-unta mereka dari arah munculnya tanduk setan [dari] Rabi’ah dan Mudhar [Shahih Bukhari no 3126]
حدثنا يحيى بن يحيى قال قرأت على مالك عن أبي الزناد عن الأعرج عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال رأس الكفر نحو الشرق والفخر والخيلاء في أهل الخيل والإبل الفدادين أهل الوبر والسكينة في أهل الغنم
Telah menceritakan kepada kami Yahya
bin Yahya yang berkata qara’tu ala Malik dari Abi Zanad dari Al A’raj
dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
“sumber kekafiran datang dari timur, kesombongan dan keangkuhan adalah
milik orang-orang pengembala kuda dan unta Al Faddaadin Ahlul Wabar [arab badui] dan kelembutan ada pada pengembala kambing [Shahih Muslim 1/71 no 52]
حدثنا عبدالله بن عبدالرحمن أخبرنا أبو اليمان عن شعيب عن الزهري حدثني سعيد بن المسيب أن أبا هريرة قال سمعت النبي صلى الله عليه و سلم يقول جاء أهل اليمن هم أرق أفئدة وأضعف قلوبا الإيمان يمان والحكمة يمانية السكينة في أهل الغنم والفخر والخيلاء في الفدادين أهل الوبر قبل مطلع الشمس
Telah menceritakan kepada kami
‘Abdullah bin ‘Abdurrahman yang berkata telah mengabarkan kepada kami
Abul Yaman dari Syu’aib dari Az Zuhri yang berkata telah mengabarkan
kepadaku Sa’id bin Al Musayyab bahwa Abu Hurairah berkata aku mendengar
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Penduduk Yaman datang,
mereka bertingkah laku halus dan berhati lembut iman di Yaman, hikmah di
Yaman, kelembutan ada pada penggembala kambing sedangkan kesombongan
dan keangkuhan ada pada orang-orang Faddadin Ahlul Wabar [arab badui] di arah terbitnya matahari [Shahih Muslim 1/71 no 52]
حدثنا موسى بن هارون ثنا عبد الله بن محمد بوران نا الأسود بن عامر نا حماد بن سلمة عن يحيى بن سعيد عن سالم عن بن عمر أن النبي صلى الله عليه و سلم استقبل مطلع الشمس فقال من ها هنا يطلع قرن الشيطان وها هنا الفتن والزلازل والفدادون وغلظ القلوب
Telah menceritakan kepada kami Musa
bin Harun yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin
Muhammad Fuuraan yang berkata telah menceritakan kepada kami Aswad bin
‘Aamir yang berkata telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah
dari Yahya bin Sa’id dari Salim dari Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam menghadap ke arah matahari terbit seraya
berkata “dari sini muncul tanduk setan, dari sini muncul fitnah dan
kegoncangan dan orang-orang yang bersuara keras dan berhati kasar [Mu’jam Al Awsath Thabrani 8/74 no 8003]
Hadis riwayat Thabrani di atas sanadnya shahih. Musa bin Harun Abu ‘Imran seorang imam yang tsiqat [Su’alat Al Hakim no 229]. Abdullah bin Muhammad bin Muhaajir Fuuraan adalah sahabat Ahmad bin Hanbal seorang yang tsiqat ma’mun [Takmilat Al Ikmal Muhammad bin Abdul Ghaniy no 4757]. Aswad bin ‘Aamir seorang yang tsiqat [At Taqrib 1/102]. Hammad bin Salamah seorang yang tsiqat [At Taqrib 1/238]. Yahya bin Sa’id Al Anshari seorang yang tsiqat tsabit [At Taqrib 2/303]
Hadis-hadis di atas menyebutkan kalau tempat munculnya fitnah tersebut adalah timur Madinah dan arah timur yang dimaksud adalah arah matahari terbit dari Madinah. Dengan fakta ini saja maka diketahui bahwa Najd merupakan tempat yang lebih sesuai daripada Iraq karena Najd terletak di arah timur matahari terbit dari Madinah sedangkan Iraq tidak terletak di arah matahari terbit dari Madinah.
Dari hadis-hadis di atas juga diketahui kalau tempat yang dimaksud
tertuju pada kediaman orang-orang arab badui Rabi’ah dan Mudhar. Telah
ma’ruf bahwa pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Najd merupakan
kediaman orang-orang arab badui [ahlul wabar] Rabi’ah dan Mudhar
bukannya Iraq, Jadi semua hadis-hadis di atas menyiratkan kalau tempat
fitnah yang dimaksud adalah Najd. Oleh karena itu jika menerapkan metode
tarjih maka hadis Najd lebih didahulukan daripada hadis Iraq.
.
.
.
Hadis Ubadillah bin ‘Abdullah bin ‘Aun
حدثنا الحسن بن علي المعمري ثنا إسماعيل بن مسعود ثنا عبيد الله بن عبد الله بن عون عن أبيه عن نافع عن ابن عمر أن النبي صلى الله عليه وسلم قال اللهم بارك لنا في شامنا، اللهم بارك في يمننا، فقالها مراراً، فلما كان في الثالثة أو الرابعة، قالوا يا رسول الله! وفي عراقنا؟ قال إنّ بها الزلازل والفتن، وبها يطلع قرن الشيطان
Telah menceritakan kepada kami Hasan
bin Ali Al-Ma’mariy yang berkata telah menceritakan kepada kami Ismaail
bin Mas’ud yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin
‘Abdillah bin ‘Aun dari ayahnya, dari Naafi’ dari Ibnu ‘Umar bahwa Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Ya Allah, berikanlah keberkatan
kepada kami pada Syaam kami dan pada Yamaan kami”. Beliau [shallallaahu
‘alaihi wasallam] mengatakannya beberapa kali. Ketika beliau mengatakan
yang ketiga kali atau yang keempat, para shahabat berkata “Wahai
Rasulullah, dan juga Iraq kami?”. Beliau bersabda “Sesungguhnya di sana
terdapat kegoncangan dan fitnah, dan disanalah akan muncul tanduk
setan” [Mu’jam Al Kabiir Ath Thabrani 12/384 no 13422].
Kami sebelumnya mengatakan hadis ini tidak shahih karena
Ubaidillah telah menyelisihi dua orang perawi tsiqat yaitu Azhar bin
Sa’d dan Husain bin Hasan dimana keduanya menyebutkan lafaz Najd bukan
lafaz Iraq. Orang tersebut membantah dengan berkata
Saya katakan : Nampaknya orang ini sedang berandai-andai dengan pemikirannya. Yang dikatakan ta’arudl (dalam matan) dalam ilmu hadits adalah jika bertentangan dalam makna dan tidak bisa untuk dijamak. Pengandai-andaiannya bahwa lafadh Najd dan ‘Iraq adalah bertentangan (ta’arudl) adlah sesuai dengan definisi dan keinginannya. Bukan sesuai dengan ilmu ushul hadits dan ushul-fiqh yang ma’ruf. Telah saya tulis sebelumnya bahwa lafadh Najd dan ‘Iraq tidak bertentangan dan bisa dijamak. Sesuai dengan lisan dan pemahaman orang ‘Arab. Telah saya sebutkan perkataan Al-Khaththaabiy dan Al-Kirmaaniy bagaimana makna kata ‘Najd’ bagi orang ‘Arab (bukan menurut orang tersebut).
Sungguh orang ini patut dikasihani,
bagaimana mungkin ia bisa tidak mengerti panjang lebar hujjah kami dalam
masalah ini. Lafaz Najd dan Iraq bertentangan karena keduanya adalah nama negeri yang berbeda.
Seandainya pun kedua lafaz itu mau dijamak maka itu berarti kedua
tempat tersebut adalah tempat munculnya fitnah. Bukan seperti logika
aneh salafy yang mengatakan kalau Najd adalah Iraq. Perhatikan baik-baik hadis berikut
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَ حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ الْحَسَنِ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ عَوْنٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي شَامِنَا وَفِي يَمَنِنَا قَالَ قَالُوا وَفِي نَجْدِنَا قَالَ قَالَ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي شَامِنَا وَفِي يَمَنِنَا قَالَ قَالُوا وَفِي نَجْدِنَا قَالَ قَالَ هُنَاكَ الزَّلَازِلُ وَالْفِتَنُ وَبِهَا يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ
Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Al Mutsanna yang berkata telah menceritakan kepada kami
Husain bin Hasan yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Aun
dari Nafi’ dari Ibnu Umar yang berkata [Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam] bersabda “Ya Allah berilah keberkatan kepada kami, pada Syam
kami dan pada Yaman kami”. Para sahabat berkata “dan juga Najd kami?”. Beliau bersabda “disana muncul kegoncangan dan fitnah, dan disanalah muncul tanduk setan” [Shahih Bukhari 2/33 no 1037]
Zahir hadis di atas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan Syam dan Yaman,
keduanya adalah nama Negri yang sudah ada di zaman Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian para sahabat bertanya bagaimana
dengan “Najd kami”. Tentu saja secara zahir maksud Najd disini
adalah nama suatu Negeri seperti halnya Syam dan Yaman. Dan telah kami
sebutkan bahwa di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah
masyhur Negeri yang bernama Najd dan negri itu berbeda dengan Iraq
seperti dalam hadis berikut
حدثنا محمد بن عبد الله بن عمار الموصلي قال حدثنا أبو هاشم محمد بن علي عن المعافى عن أفلح بن حميد عن القاسم عن عائشة قالت وقَّت رسول الله صلى الله عليه وسلم لأهل المدينة ذا الحُليفة ولأهل الشام ومصر الجحفة ولأهل العراق ذات عرق ولأهل نجد قرناً ولأهل اليمن يلملم
Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Ammar Al Maushulli yang berkata telah
menceritakan kepada kami Abu Haasyim Muhammad bin ‘Ali dari Al Mu’afiy
dari Aflah bin Humaid dari Qasim dari Aisyah yang berkata Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan miqat bagi penduduk Madinah di
Dzul Hulaifah, bagi penduduk Syam dan Mesir di Juhfah, bagi penduduk Iraq di Dzatu ‘Irq, bagi penduduk Najd di Qarn dan bagi penduduk Yaman di Yalamlam [Shahih Sunan Nasa’i no 2656]
أخبرنا قتيبة حدثنا الليث عن سعيد بن أبي سعيد أنه سمع أبا هريرة يقول بعث رسول الله صلى الله عليه وسلم خيلا قبل نجد فجاءت برجل من بني حنيفة يقال له ثمامة بن آثال سيد أهل اليمامة فربط بسارية من سواري المسجد مختصر
Telah mengabarkan kepada kami
Qutaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Laits dari Sa’id
bin Abi Sa’id yang mendengar Abu Hurairah berkata Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam mengutus pasukan berkuda ke Najd kemudian pasukan ini datang dengan membawa seorang laki-laki dari Bani Hanifah yang bernama Tsumamah bin Utsal pemimpin penduduk Yamamah kemudian diikat di salang satu tiang masjid, demikian secara ringkas. [Shahih Sunan Nasa’i Syaikh Al Albani no 712]
Hadis di atas bahkan menyebutkan kalau Najd yang dimaksud termasuk Yamamah yang
pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terletak tepat disebelah
timur Madinah dan yang sekarang telah menjadi daerah Riyadh dan
sekitarnya. Justru membedakan Najd dan Iraq telah sesuai dengan lisan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan
pemahaman para sahabat bahwa Najd dan Iraq memang kedua tempat yang
berbeda pada masa itu. Jadi tidak ada gunanya perkataan ulama yang
dicatut oleh orang salafy itu.
Kembali ke hadis riwayat Thabrani di
atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan Syam dan Yaman,
kemudian para sahabat bertanya bagaimana dengan “Iraq kami”. Anehnya
salafy langsung bisa paham kalau Iraq yang dimaksud disini adalah nama
suatu negeri tapi kalau di hadis Najd salafy jadi pura-pura tidak paham.
Salafy itu mengutip perkataan Ibnu Mandzur
وما ارتفع عن تِهامة إِلى أَرض العراق، فهو نجد
“Semua tanah yang tinggi dari Tihaamah sampai tanah ‘Iraaq, maka itu Najd” [lihat dalam Lisaanul-‘Arab].
Bagi kami tidak ada masalah dengan
istilah itu. Najd yang ada pada hadis tanduk setan adalah nama suatu
negeri yang memang sudah masyhur dikenal sahabat sebagaimana halnya
negeri Syam dan Yaman. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para
sahabat telah membedakan Najd dan Iraq jadi tidak ada gunanya perkataan
Ibnu Mandzur disini. Apalagi kalau diperhatikan ternyata ulama lain
justru mengatakan hal yang lebih aneh yaitu Al Khaththabi [sebagaimana
yang ditulis sendiri oleh salafy itu]. Ia berkata
نجد: ناحية المشرق، ومن كان بالمدينة كان نجده بادية العراق ونواحيها، وهي مشرق أهلها، وأصل النجد: ما ارتفع من الأرض، والغور: ما انخفض منها، وتهامة كلها من الغور، ومنها مكة، والفتنة تبدو من المشرق، ومن ناحيتها يخرج يأجوج ومأجوج والدجال، في أكثر ما يروى من الأخبار
“Najd adalah arah timur.
Dan bagi Madinah, najd-nya gurun ‘Iraaq dan sekelilingnya. Itulah arah
timur bagi penduduk Madinah. Asal makna dari najd adalah : setiap tanah
yang tinggi; sedangkan ghaur adalah setiap tanah yang rendah. Seluruh wilayah Tihaamah adalah ghaur,
termasuk juga Makkah. Fitnah muncul dari arah timur; dan dari arah itu
pula akan keluar Ya’juuj, Ma’juuj, dan Dajjaal sebagaimana terdapat
dalam kebanyakan riwayat” [I’laamus-Sunan, 2/1274].
Anehnya Al Khattabi mengatakan kalau Najd adalah arah timur dan menurut Al Khaththabi timurnya madinah adalah Iraq
maka Najd-nya madinah adalah Iraq. Pertanyaannya sejak kapan Najd yang
secara etimologi [asal kata] bermakna tanah yang tinggi berubah maknanya
menjadi “arah timur”?. Kemudian apa gunanya perkataan Ibnu Mandzur “semua tanah yang tinggi dari Tihamah sampai Iraq maka itu Najd” padahal Al Khaththabi mengatakan seluruh wilayah Tihamah adalah ghaur. Salafy itu hanya bisa bertaklid tetapi tidak bisa memahami perkataan ulama yang ia kutip.
Pada dasarnya setiap kata memiliki makna
secara etimologi tetapi selain itu ternyata ada beberapa kata yang dalam
perkembangannya berubah secara historis. Seperti halnya kata Najd
secara etimologi memang bermakna tanah yang tinggi, tetapi secara
historis maksud Najd yang ada dalam hadis Tanduk setan adalah nama suatu
negri yang masyhur saat itu yaitu Najd di sebelah timur Madinah oleh
karena itu para sahabat menisbatkannya dengan kata “Najd kami”.
Negri ini dinamakan Najd karena memang tempat tersebut adalah dataran
tinggi. Tidak hanya Najd, kata Iraq pun secara etimologi bermakna “daerah tepian” atau “daerah yang terletak diantara sungai sungai”
dan secara historis Iraq dikenal sebagai nama suatu negri karena memang
negri tersebut terletak diantara sungai sungai sehingga dinamakan Iraq.
Pada hadis tanduk setan, kata Najd dan Iraq yang dinisbatkan dengan
kata “kami” adalah nama suatu Negri bukan makna kata secara etimologi.
Adapun ‘Ubaidullah sendiri, maka Al-Bukhaariy berkata : “Ma’ruuful-hadiits” [At-Taariikh Al-Kabiir, 5/388 no. 1247]. Abu Haatim berkata : “Shaalihul-hadiits” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 5/322 no. 1531].
Kita telah buktikan kalau Najd dan Iraq yang ada di hadis Ibnu Umar adalah dua negri yang berbeda
sehingga penjamakan yang dilakukan oleh salafy itu terlalu memaksa.
Kesannya justru malah mendistorsi makna hadis tersebut. Yang
meriwayatkan dari Ibnu ‘Aun dari Nafi’ ada tiga orang yaitu Husain bin
Hasan, Azhar bin Sa’d dan Ubaidillah. Husain dan Azhar menyebutkan kalau
tempat yang dimaksud adalah Najd sedangkan Ubaidillah menyebutkan Iraq.
Ubaidillah telah menyelisihi dua orang perawi tsiqat yang meriwayatkan
dari Nafi’ sedangkan kedudukannya sendiri paling tinggi hanya dikatakan “shalihul hadits”.
Perawi seperti ini jika bertentangan dengan perawi yang lebih tsiqat
maka hadisnya tidak bisa diterima. Kaidah ini sesuai dengan yang berlaku
dalam ilmu hadis.
.
.
.
Hadis Ziyaad bin Bayaan
حدثنا علي بن سعيد قال نا حماد بن إسماعيل بن علية قال نا ابي قال نا زياد بن بيان قال نا سالم بن عبد الله بن عمر عن ابيه قال صلى النبي صلى الله عليه و سلم صلاة الفجر ثم انفتل فأقبل على القوم فقال اللهم بارك لنا في مدينتنا وبارك لنا في مدنا وصاعنا اللهم بارك لنا في شامنا ويمننا فقال رجل والعراق يا رسول الله فسكت ثم قال اللهم بارك لنا في مدينتنا وبارك لنا في مدنا وصاعنا اللهم بارك لنا في حرمنا وبارك لنا في شامنا ويمننا فقال رجل والعراق يا رسول الله قال من ثم يطلع قرن الشيطان وتهيج الفتن
Telah menceritakan kepada kami ‘Ali
bin Sa’id yang berkata telah menceritkankepada kami Hammaad bin
Ismaa’iil bin ‘Ulayyah yang berkata telah menceritakan kepada kami
ayahku yang berkata telah mencertakan kepada kami Ziyaad bin Bayaan
yangberkata telah menceritakan kepada kami Saalim bin ‘Abdillah bin
‘Umar dari ayahnya yang berkata Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
pernah shalat shubuh, kemudian berdoa, lalu menghadap kepada
orang-orang. Beliau bersabda “Ya Allah berikanlah keberkatan kepada kami
pada Madinah kami berikanlah keberkatan kepada kami pada mudd dan shaa’
kami. Ya Allah, berikanlah keberkatan kepada kami pada Syaam kami dan
Yaman kami”. Seorang laki-laki berkata “dan ‘Iraq, wahai Rasulullah ?”.
Beliau diam, lalu bersabda “Ya Allah berikanlah keberkatan kepada kami
pada Madinah kami berikanlah keberkatan kepada kami pada mudd dan shaa’
kami. Ya Allah, berikanlah keberkatan kepada kami pada tanah Haram kami,
dan berikanlah keberkatan kepada kami pada Syaam kami dan Yaman kami”.
Seorang laki-laki berkata “dan ‘Iraq, wahai Rasulullah ?”. Beliau
bersabda “dari sana akan muncul tanduk setan dan bermunculan fitnah” [Mu'jam Al Awsath Ath Thabraani 4/245 no 4098].
Pada tulisan sebelumnya kami menyatakan bahwa hadis ini tidak shahih karena mengandung illat [cacat] pada Ziyaad bin Bayaan. Ziyaad bin Bayaan dikatakan oleh Adz Dzahabi “tidak shahih hadisnya”. Bukhari berkata “dalam sanad hadisnya perlu diteliti kembali”
[Al Mizan juz 2 no 2927] ia telah dimasukkan Adz Dzahabi dalam kitabnya
Mughni Ad Dhu’afa no 2222 Al Uqaili juga memasukkannya ke dalam Adh
Dhu’afa Al Kabir 2/75-76 no 522. Salafy itu menanggapi dengan berkata
Saya katakan : Ia hanya menyebutkan jarh-nya saja. Padahal kedudukan yang benar atas diri Ziyaad bin Bayaan adalah shaduuq lagi ‘aabid [Taqriibut-Tahdziib, hal. 343 no. 2068]. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak mengapa dengannya (laisa bihi ba’s)”. Ibnu Hibbaan memasukkanya dalam Ats-Tsiqaat, dan berkata : “Ia seorang syaikh yang shaalih”. Tautsiq Ibnu Hibbaan jika dijelaskan seperti ini adalah diterima, sebagaimana penjelasan Al-Mu’allimiy Al-Yamaaniy dalam At-Tankiil.
Mengenai perkataan Nasa’i maka begitulah
yang dinukil Ibnu Hajar dalam At Tahdzib tetapi mengenai perkataan Ibnu
Hibban maka ini patut diberikan catatan. Ibnu Hibban tidak hanya
menta’dil Ziyaad bin Bayaan, Ibnu Hibban juga memasukkan nama Ziyaad bin
Bayaan dalam kitabnya Adh Dhu’afa yang memuat nama perawi dhaif menurutnya. Ibnu Hibban berkata “Ziyaad bin Bayaan mendengar dari Ali bin Nufail, dalam sanad hadisnya perlu diteliti kembali (fii isnad nazhar)” [Al Majruhin no 365].
Ibnu ‘Adiy memasukkan dalam Al-Kaamil karena mengambl pertimbangan perkataan Al-Bukhaariy. Dan sebab pendla’ifan Al-Bukhaariy pun dijelaskan, yaitu dengan sebab hadits Al-Mahdiy. Al-Bukhaariy berkata : “Fii isnadihi nadhar”. Jarh ini kurang shariih.
Perkataan salafy kalau jarh ini kurang
sharih hanyalah andai-andai dirinya yang memang tidak bisa memahami
dengan baik. Justru jarh Bukhari telah dijelaskan bahwa dalam sanad
hadis Ziyaad bin Bayaan perlu diteliti kembali [fii isnadihi nazhar]. Ziyaad bin Bayaan terbukti meriwayatkan hadis mungkar dan
kemungkarannya terletak pada sanad hadis tersebut. Hadis yang dimaksud
adalah hadis Al Mahdi dimana Ziyad bin Bayaan membawakan dengan sanad
dari Ali bin Nufail dari Ibnu Musayyab dari Ummu Salamah secara marfu’.
Hadis ini yang diingkari oleh Bukhari dan pengingkaran tersebut terletak
pada sanadnya. Ibnu Ady dalam Al Kamil dengan jelas mengatakan kalau
Bukhari mengingkari hadis Ziyad bin Bayaan ini.
Al Uqaili sependapat dengan pengingkaran
Bukhari dan menunjukkan kalau yang tsabit hadis dengan lafaz seperti itu
adalah perkataan Sa’id bin Al Musayyab bukan hadis Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam [Adh Dhu’afa Al Uqaili 2/75 no 522]. Ibnu Jauzi dalam
Al Ilal Al Mutanahiyah juga menegaskan bahwa hadis dengan lafaz seperti
itu adalah perkataan Ibnu Musayyab bukan hadis Nabi dan disini Ziyaad
bin Bayaan yang merafa’kan atau menyambungkan hadis tersebut kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam. Jadi kesimpulannya Ziyaad bin Bayaan
tertuduh meriwayatkan hadis mungkar dan pengingkaran Bukhari terhadap
hadisnya justru menunjukkan kalau disisi Bukhari Ziyaad bin Bayaan
adalah seorang yang dhaif. Perkataan Bukhari ini adalah perkataan yang
tsabit bersumber darinya dan kedudukan dirinya lebih dijadikan pegangan
daripada penta’dilan Nasa’i. Apalagi telah ma’ruf dalam ilmu hadis bahwa
jarh yang mufassar lebih didahulukan dari ta’dil.
Ibnu ‘Adiy pun menyebutkan pentautsiqan Abul-Maliih (Al-Hasan bin ‘Umar – seorang yang tsiqah) pada Ziyaad bin Bayaan saat menyebutkan sanad hadits Al-Mahdiy; Abul-Maliih berkata : “Telah menceritakan kepada kami seorang yang tsiqah”. Ibnu ‘Adiy menjelaskan : “Telah menceritakan kepada kami sorang yang tsiqah, maksudnya adalah Ziyaad bin Bayaan”. Kemudian Ibnu ‘Adiy menyebutkan sanad yang lain yang menjelaskan hal tersebut [Al-Kaamil, 4/144-145 no. 697].
Perkataan salafy ini sangat patut diberikan catatan, entah ia pura-pura tidak tahu atau memang tidak tahu bahwa tautsiq Abul Maliih ini tidaklah tsabit. Ibnu Ady membawakan dengan sanad telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Abdurrahman bin Yazid bin ‘Aqaal Al Harrani
yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Ja’far An Nufaili yang
berkata telah menceritakan kepada kami Abul Maliih yang berkata telah
menceritakan kepada kami seorang yang tsiqah [Al Kamil 3/196. Hadis ini
tidak tsabit karena Ahmad bin Abdurrahman Al Harrani adalah seorang yang
dhaif. Adz Dzahabi memasukkannya kedalam perawi dhaif seraya mengutip
jarh Abu Arubah [Al Mughni 1/46 no 346]. Ibnu Jauzi memasukkannya dalam
Adh Dhu’afa [Adh Dhu’afa Ibnu Jauzi no 200]. Al Haitsami berkata “riwayat Thabrani dalam Al Ausath dari syaikh-nya Ahmad bin ‘Abdurrahman bin ‘Aqaal dan dia dhaif”
[Majma’ Az Zawaid 5/65 no 8057]. Jadi tautsiq Abul Maliih disini
tidaklah benar. Apalagi penetapan kalau orang yang dimaksud Ziyaad bin
Bayaan tidak nampak dalam sanad tersebut melainkan dugaan Ibnu Adiy.
Hal yang sama pada Al-‘Uqailiy, dimana ia memasukkan dalam Adl-Dlu’afaa dengan pijakan perkataan Al-Bukhaariy di atas [2/430-431 no. 523]. Adz-Dzahabiy pun demikian, yaitu menyandarkan ketidakshahihan haditsnya pada hadits Al-Mahdiy. Akan tetapi ia memberikan penghukuman akhir terhadap Ziyaad : “Shaduuq” [Al-Kaasyif, 2/408 no. 1671].
Al Uqaili dalam hal ini sepakat dengan Al
Bukhari dan disini ia telah menjelaskan kalau hadis Ziyaad bin Bayaan
adalah mungkar dan yang benar hadis tersebut adalah perkataan Ibnu
Musayyab. Mengenai perkataan Adz Dzahabi walaupun ia menyatakan Ziyaad
bin Bayaan shaduq ia sendiri telah menyebutkan dalam Al Mizan dan Al Mughni kalau Ziyaad bin Bayaan tidak shahih hadisnya
dan penulisannya dalam dua kitab tersebut menunjukkan kalau Adz Dzahabi
lebih cenderung dengan pendapat yang menjarh Ziyaad bin Bayaan.
Oleh karenanya, pentautsiqan An-Nasaa’iy, Ibnu Hibbaan, dan Abul-Maliih lebih kuat dari perkataan yang mendla’ifkannya. Kaidah mengatakan : Ta’diil lebih didahulukan daripada jarh yang mubham.
Pentautsiqan Nasa’i adalah penukilan
sedangkan jarh Bukhari terhadap Ziyaad bin Bayaan berasal dari kitab
Bukhari sendiri. Pentautsiqan Ibnu Hibban juga bertentangan dimana ia
sendiri memasukkan Ziyaad bin Bayaan dalam kitabnya Adh Dhu’afa
sedangkan pentautsiqan Abul Maliih tidak tsabit. Tidak benar kalau jarh
terhadap Ziyaad dikatakan mubham justru jarh terhadapnya mufassar yaitu
dimana ia telah meriwayatkan hadis dengan sanad yang mungkar dan ini
telah terbukti dari riwayat-riwayat yang disebutkan oleh para ulama
seperti Al Bukhari, Al Uqaili dan Ibnu Jauzi. Mengenai pernyataan Ibnu
Hajar dalam At Taqrib kalau Ziyaad bin Bayaan seorang yang shaduq, itu
telah dikritik dalam Tahrir Taqrib At Tahdzib bahwa kedudukan sebenarnya
Ziyaad bin Bayaan adalah “dhaif ya’tabaru bihi” [Tahrir At Taqrib no 2057].
Kedudukan hadis yang diriwayatkan perawi
seperti Ziyaad bin Bayaan jika bertentangan dengan hadis shahih maka
hadisnya mesti ditolak. Hadis tanduk setan yang sanadnya shahih adalah
hadis dengan lafaz Najd sedangkan hadis dengan lafaz Iraq matannya
mungkar. Sebagaimana telah kami tunjukkan bahwa di hadis shahih Najd
merupakan tempat timbulnya fitnah.
.
.
.
Hadis ‘Abdullah bin Syawdzab
حدثنا محمد بن عبد العزيز الرملي حدثنا ضمرة بن ربيعة عن ابن شوذب عن توبة العنبري عن سالم عن ابن عمر قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اللهم بارك لنا في مدينتنا وفي صاعنا، وفي مدِّنا وفي يمننا وفي شامنا. فقال الرجل يا رسول الله وفي عراقنا ؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم بها الزلازل والفتن، ومنها يطلع قرن الشيطان
Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin ‘Abdul Aziiz Ar Ramliy yang berkata telah menceritakan
kepada kami Dhamrah bin Rabi’ah dari Ibnu Syaudzab dari Taubah Al Anbariy
dari Salim dari Ibnu ‘Umar yang berkata Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam bersabda “Ya Allah berikanlah keberkatan kepada kami pada
Madinah kami, pada shaa’ kami, pada mudd kami, pada Yaman kami, dan pada
Syaam kami”. Seorang laki-laki berkata “Wahai Rasulullah, dan pada
‘Iraaq kami ?”. Beliau menjawab “di sana terdapat kegoncangan dan fitnah
dan di sana pula akan muncul tanduk setan” [ Ma’rifah Wal Tarikh Yaqub Al Fasawiy 2/746-747]
Mengenai hadis ini kami katakan Ibnu Syawdzab melakukan tadlis,
ia tidak mendengar hadis ini dari Taubah Al ‘Anbari. Terdapat hadis
yang menyebutkan kalau ia mendengar hadis tersebut melalui perantara.
حدثنا عبد الله بن العباس بن الوليد بن مزيد البيروتي حدثني أبي أخبرني أبي حدثني عبد الله بن شوذب حدثني عبد الله بن القاسم ومطر الوراق وكثير أبو سهل عن توبة العنبري عن سالم بن عبد الله بن عمر عن أبيه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال اللهم بارك في مكتنا وبارك لنا في مدينتنا وبارك لنا في شامنا وبارك لنا في يمننا اللهم بارك لنا في صاعنا وبارك لنا في مدنا فقال رجل يا رسول الله وعراقنا فأعرض عنه فرددها ثلاثا وكان ذلك الرجل يقول وعراقنا فيعرض عنه ثم قال بها الزلازل والفتن وفيها يطلع قرن الشيطان
Telah menceritakan kepada kami
Abdullah bin ‘Abbas bin Walid bin Mazyad Al Bayruutiy yang berkata telah
menceritakan kepadaku ayahku yang berkata telah menceritakan kepadaku Abdullah
bin Syawdzab yang berkata telah menceritakan kepadaku Abdullah bin
Qasim, Mathr Al Waraaq dan Katsir Abu Sahl dari Taubah Al Anbariy
dari Salim bin Abdullah bin Umar dari ayahnya bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Ya Allah berikanlah keberkatan
kepada Mekkah kami, dan berikanlah keberkatan kepada kami pada Madinah
kami, pada shaa’ kami, pada mudd kami, pada Yaman kami, dan pada Syaam
kami”. Seorang laki-laki berkata “Wahai Rasulullah, dan pada ‘Iraaq kami
?”. Beliau menjawab “di sana terdapat kegoncangan dan fitnah dan di
sana pula akan muncul tanduk setan” [Musnad Asy Syamiyyin Thabrani 2/246 no 1276]
Pada riwayat pertama Ibnu Syawdzab membawakan hadis dengan lafaz ‘an ‘anah dari Taubah Al ‘Anbari kemudian pada riwayat kedua
Ibnu Syawdzab membawakan hadis dengan lafaz telah menceritakan padanya
Abdullah bin Qasim, Mathr Al Waraaq dan Katsir Abu Sahl dari Taubah.
Sanad ini menjadi bukti bahwa pada riwayat pertama Ibnu Syawdzab
melakukan tadlis. Riwayat ‘an ‘an ah-nya dari Taubah ia dengar dari para
syaikh-nya.
Illat [cacat] riwayat Ibnu Syawdzab disini adalah ia
menggabungkan hadis dari ketiga syaikh-nya yaitu Abdullah bin Qasim,
Mathr Al Waraaq dan Katsir Abu Sahl dalam satu lafaz matan hadis.
Tetapi tidak disebutkan lafaz matan hadis yang ia sebutkan itu adalah
milik siapa. Apakah ketiga syaikh-nya menyebutkan dengan matan yang sama
yang mengandung lafaz Iraq atau hanya salah satu saja dari syaikh-nya
yang menyebutkan lafaz Iraq. Jika kemungkinan yang kedua maka itu
berarti Ibnu Syawdzab menggabungkan sanad hadis ketiga syaikh-nya dengan
menyebutkan matan yang mengandung lafaz Iraq. Kemungkinan ini cukup
beralasan mengingat Ibnu Syawdzab sendiri terbukti melakukan tadlis dari
hadis ini. Jika semua syaikh-nya itu tsiqat tsabit maka tidak ada
masalah dengan kemungkinan ini tetapi ternyata diantara syaikh-nya
terdapat perawi yang banyak melakukan kesalahan dalam hadis yaitu Mathr Al Waraaq
jadi terdapat kemungkinan kalau lafaz Iraq itu berasal dari kesalahan
Mathr Al Waraaq. Mengapa dikatakan kesalahan karena telah disebutkan di
awal pembahasan di atas kalau tempat yang dimaksud adalah Najd bukannya
Iraq. Jadi kemungkinan kalau perawi disini melakukan kesalahan dengan
menyebutkan lafaz Najd menjadi illat [cacat] hadis tersebut. Salafy itu
mengatakan
Pertama, menyandarkan keterputusan Ibnu Syaudzab dengan Taubah hanya karena Ibnu Syaudzab juga meriwayatkan melalui perantaraan ‘Abdullah bin Al-Qaasim, Mathr, dan Katsiir bin Sahl; dari Taubah, bukan sebab yang kuat. Alasannya, telah ma’ruf bahwa salah satu guru/syaikh dari Ibnu Syaudzab adalah Taubah Al-‘Anbariy [lihat : Tahdziibul-Kamaal, 15/94]. Jadi bukan satu hal yang mustahil ia meriwayatkan dari Taubah, dan bersamaan dengan itu ia juga meriwayatkan melalui perantaraan orang lain. Semuanya dihukumi bersambung.
Alasan yang dikemukan salafy kalau Taubah
ma’ruf dikenal sebagai syaikh-nya Ibnu Syawdzab patut diberikan
catatan. Dalam Tahdzib Al Kamal juga disebutkan kalau salah satu Syaikh
Ibnu Syawdzab adalah Hasan Al Bashri [Tahdzib Al Kamal 15/94] dan Abu
Hatim mengatakan kalau Ibnu Syawdzab tidak melihat Hasan dan tidak mendengar dari-nya
[Al Marasil Ibnu Abi Hatim 1/116 no 94]. Bagaimana mau dikatakan
syaikh-nya kalau tidak pernah melihat dan tidak pernah mendengar
darinya?. Jadi mengatakan Taubah ma’ruf sebagai syaikh Ibnu Syawdzab
berdasarkan penyebutan dalam Tahdzib Al Kamal bukan hujjah yang kuat.
Sejauh yang kami tahu, tidak ada hadis Ibnu Syawdzab dari Taubah Al
‘Anbari kecuali dari hadis ini dan di hadis ini ia terbukti melakukan
tadlis.
Misalnya, Hafsh bin Ghiyaats meriwayatkan hadits puasa Syawal melalui jalan Sa’d bin Sa’iid bin Qais [Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykilil-Aatsaar 6/123 no. 2345 dan Ath-Thabaraaniy 4/136 no. 3912]. Namun, di lain kesempatan ia juga meiwayatkan melalui perantaraan Yahyaa bin Sa’iid bin Qais. Keduanya adalah riwayat bersambung. Hafsh bin Ghiyaats sendiri berkata : “Kemudian aku bertemu dengan Sa’d bin Sa’iid, lalu ia menceritakan kepadaku (hadits ini)” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy 4/136 no. 3912].
Dalam contoh yang disebutkan salafy itu jelas-jelas Hafsh bin Ghiyaats mengatakan “kemudian aku bertemu Sa’d bin Sa’id lalu ia menceritakan kepadaku”.
Kalau sudah seperti ini ya mana mungkin mau dikatakan tadlis berbeda
dengan contoh yang ia sebutkan tidak ada pengakuan dari Ibnu Syawdzab
kalau ia bertemu dengan Taubah atau tidak ada Ibnu Syawdzab menyebutkan
dengan lafaz sima’ langsung dari Taubah. Riwayat Ibnu Syawdzab dari
Taubah adalah riwayat ‘an anah dan riwayat Ibnu Syawdzab dari ketiga
syaikhnya dari Taubah itu dengan lafaz sima’ langsung. Jadi dalam hadis
tanduk setan dengan lafaz Iraq, Ibnu Syawdzab terbukti melakukan tadlis.
Kasus seperti ini termasuk salah satu cara ulama untuk menetapkan
seseorang itu melakukan tadlis atau tidak.
Kedua, taruhlah kita terima bahwa riwayat Al-Fasawiy di atas munqathi’; maka sejak kapan meriwayatkan hadits secara munqathi’ seperti ini langsung di-ta’yin melakukan tadlis ? Jelas beda antara irsal dan tadlis. Pensifatan tadlis itu hanya diterima jika ada perkataan para ulama yang menjelaskan bahwa ia orang yang melakukan tadlis.
Pernyataan salafy ini menunjukkan kalau
ia memang susah sekali untuk memahami tulisan orang dengan baik.
Sebelumnya kami mengatakan kalau Ibnu Syawdzab tidak mendengar hadis ini dari Taubah.
Apa buktinya? Buktinya adalah terdapat riwayat kalau Ibnu Syawdzab
mengambil hadis ini dengan perantaraan ketiga syaikh-nya dari Taubah.
Kami pribadi tidak pernah memastikan bahwa Ibnu Syawdzab tidak mendengar
satupun hadis dari Taubah atau Ibnu Syawdzab tidak pernah bertemu
dengan Taubah. Illat [cacat] yang kami sebutkan adalah Ibnu Syawdzab
tidak mendengar hadis ini dari Taubah. Bisa saja dikatakan kalau Ibnu Syawdzab pernah bertemu dengan Taubah Al Anbari,
tetapi ini adalah kemungkinan yang perlu dibuktikan walaupun kami
sendiri tidak menafikan kemungkinan ini. Berbeda halnya dengan salafy
yang dengan angkuhnya mengatakan kalau Taubah ma’ruf dikenal sebagai
syaikh-nya Ibnu Syawdzab padahal kemungkinan irsal tetap ada. Oleh
karena kemungkinan bertemu antara Ibnu Syawdzab dan Taubah itu masih ada
maka kami menggunakan kata-kata tadlis bukan irsal. Sangat maklum kalau
pengertian tadlis adalah seorang perawi semasa dan pernah bertemu
dengan perawi lain tetapi ia meriwayatkan suatu hadis dari perawi lain
tersebut [yang sebenarnya ia dengar melalui perantara] tetapi ia
mengatakan seolah-olah ia mengambil hadis itu langsung dari perawi lain
tersebut.
Yang lebih lucu bin ajaib adalah
perkataan salafy kalau pensifatan tadlis hanya diterima jika ada ulama
yang menjelaskan bahwa ia melakukan tadlis. Lha memangnya seorang ulama
bisa tahu si perawi melakukan tadlis dengan cara apa, wangsit dari
langit, asal tebak sesuai selera, atau sok berasa-rasa. Dalam ilmu hadis
justru disebutkan kalau salah satu cara ulama mensifatkan tadlis kepada
seorang perawi adalah dengan melihat hadis yang ia riwayatkan. Jika
terdapat riwayat bahwa ia membawakan suatu hadis dengan ‘an anah dari
seorang perawi [semasa dan pernah bertemu] dan disaat lain ia
menyebutkan riwayat dengan sima’ langsung melalui perantara dari perawi
tersebut maka orang ini dikatakan melakukan tadlis.
Kalau hanya sekedar meriwayatkan secara maushul di satu jalan dan mursal/munqathi’ di jalan yang lain, itu bukan tadlis namanya. Saya pingin tahu rujukannya di kitab ilmu hadits yang menjelaskan kaedah aneh ini. Jika ini diterapkan, maka jumlah perawi mudallis yang ditulis Ibnu Hajar dalam Ath-Thabaqaat akan bertambah tebal dua kali lipat atau lebih.
Lha iya, saya juga pingin tahu rujukan
mana yang mengatakan seperti yang salafy katakan itu. Seharusnya salafy
itu memahami dulu tulisan orang lain dengan baik baru membantah. Jika
kasus seperti Ibnu Syawdzab ini tidak dikatakan tadlis dengan alasan mungkin saja Ibnu Syawdzab juga mendengar hadis ini dari Taubah secara langsung
maka kami katakan dengan cara seperti ini mungkin jumlah perawi
mudallis yang ditulis Ibnu Hajar dalam Ath Thabaqaat akan berkurang dua
kali lipat atau lebih. Kenapa? karena setiap perawi tidak bisa dituduh
melakukan tadlis [kecuali ia sendiri yang mengaku] bisa saja dikatakan
mungkin saja ia mendengar secara langsung. Kami perjelas kembali jika
ada suatu hadis diriwayatkan oleh seorang perawi [kita sebut A] dengan
dua kondisi
- A meriwayatkan dengan ‘an anah dari B
- A meriwayatkan dengan sima’ langsung dari C dari B
Maka si A dikatakan melakukan tadlis
dalam riwayat ini. Jika mau dikatakan A juga mendengar langsung hadis
ini dari si B maka harus dicari riwayat yang memang menyebutkan riwayat
A dari si B dengan lafal sima’ langsung sehingga dari sini baru kita
dapat menyebutkan kalau A mengambil hadis ini secara langsung dari B dan
C sehingga terangkatlah ia dari tuduhan melakukan tadlis dalam hadis
tersebut.
Ketiga, taruhlah kita terima bahwa riwayat Al-Fasaawiy di atas munqathi’, justru riwayat Ibnu Syaudzaab yang secara shaarih berkata : “Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah bin Al-Qaasim, Mathr, dan Katsiir bin Sahl, dari Taubah Al-‘Anbariy” menunjukkan penyambungan riwayat munqathi’ tadi.
Lha iya, justru riwayat inilah yang
langsung kita fokuskan untuk dibahas dan dikritik dengan menunjukkan
illat [cacat] yang berupa kemungkinan kesalahan perawinya yaitu Mathar Al Warraq. Riwayat Al Fasawy langsung kita palingkan pada riwayat Ibnu Syawdzab dari ketiga syaikh-nya.
Keempat, ‘Abdullah bin Al-Qaasim adalah seorang yang shaduuq. Mathr Al-Warraaq ini adalah shaduuq, namun banyak salahnya. Katsiir (bin Ziyaad) Abu Sahl ini adalah seorang yang tsiqah. Ketiganya meriwayatkan dari Taubah, dari Saalim, dari Ibnu ‘Umar secara marfuu’. Riwayat ketiganya saling menjadi saksi dengan yang lain, sehingga tidak ragu untuk mengatakan bahwa riwayat ini shahih.
Pernyataan ini kembali membuktikan ia
tidak memahami atau tidak berniat mau memahami illat [cacat] yang kami
sebutkan. Satu hal yang harus kami tekankan kembali disini, Ibnu
Syawdzab menggabungkan ketiga sanad dari gurunya itu dalam satu sanad
hadis bukannya membawakan sanad beserta matan hadis dari guru-gurunya
secara terpisah. Pada pembahasan sebelumnya kami menunjukkan bahwa dalam penggabungan sanad seperti ini terdapat dua kemungkinan
- Ibnu Syawdzab mendengar langsung dari ketiga Syaikhnya yaitu Abdullah bin Qasim, Mathr dan Katsir Abu Sahl dimana ketiganya memang menyebutkan lafaz “Iraq”.
- Ibnu Syawdzab mendengar langsung dari ketiga syaikhnya dimana lafaz Iraq tersebut hanya berasal dari salah satu Syaikhnya sehingga disini Ibnu Syawdzab menggabungkan sanad hadis tersebut dan matan hadis yang berlafaz Iraq berasal dari salah satu syaikhnya.
Untuk kemungkinan pertama maka benarlah
apa yang dikatakan oleh salafy itu bahwa ketiga syaikh-nya itu saling
menjadi saksi dengan yang lain. Tetapi mengenai kemungkinan kedua maka
itu tidak bisa, jika lafaz Iraq itu berasal dari Mathar Al Warraq maka
sudah jelas dhaif.
Oleh karena itu, perkataan : Illat atau cacat yang ada pada riwayat Ibnu Syawdzab adalah tidak diketahui dari syaikhnya yang mana lafaz Iraq tersebut berasal; tidak perlu dihiraukan.
Silakan saja, sejak kapan salafy itu
menghiraukan argumen orang lain. Pada pembahasan sebelumnya kami telah
menunjukkan kepada pembaca contoh penggabungan sanad seperti ini, kami
tidak keberatan untuk menyebutkannya kembali.
أخبرنا أبو عبد الله الحافظ ثنا أبو علي الحسين بن علي الحافظ أنا أبو يعلى الموصلي ثنا واصل بن عبد الأعلى و عبد الله بن عمر ثنا محمد بن فضيل عن أبيه قال سمعت سالم بن عبد الله بن عمر يقول : يا أهل العراق و ما أسألكم للصغيرة و أركبكم للكبيرة سمعت أبي عبد الله بن عمر يقول : رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول : إن الفتنة تجيء من ها هنا و أومأ بيده نحو المشرق من حيث يطلع قرنا الشيطان و انتم يضرب بعضكم رقاب بعض و إنما قتل موسى الذي قتل من آل فرعون خطا فقال الله عز و جل قتلت نفسا فنجيناك من الغم و فتناك فتونا
Telah menceritakan kepada kami Abu
‘Abdullah Al Hafizh yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Ali
Husain bin Ali Al Hafizh yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Ya’la Al Maushulli yang berkata telah menceritakan kepada kami Waashil bin ‘Abdul A’laa dan ‘Abdullah bin ‘Umar
berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudlail, dari
ayahnya yang berkata Aku mendengar Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar
berkata “Wahai penduduk ‘Iraaq, aku
tidak bertanya tentang masalah kecil dan aku tidak mendorong kalian
untuk masalah besar. Aku pernah mendengar ayahku, Abdullah bin ‘Umar
berkata Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa salam bersabda ‘Sesungguhnya
fitnah itu datang dari sini ia menunjukkan tangannya ke arah timur dari
arah munculya dua tanduk setan’. Kalian saling menebas leher satu sama
lain. Musaa hanya membunuh orang yang ia bunuh yang berasal dari
keluarga Fir’aun itu karena tidak sengaja. Lalu Allah ‘azza wa jalla
berfirman padanya ‘Dan kamu pernah membunuh seorang manusia, lalu kami
selamatkan kamu dari kesusahan dan Kami telah mencobamu dengan beberapa
cobaan.” (Thaahaa: 40)”. [Syu’aib Al Iman Baihaqi 4/346 no 5348].
Pada hadis riwayat Baihaqi ini disebutkan bahwa Abu Ya’la menggabungkan sanad kedua syaikh-nya yaitu Abdullah bin Umar bin Aban dan Washil bin ‘Abdul A’la
dengan satu matan hadis. Padahal sebenarnya matan hadis Abdullah bin
Umar bin Aban berbeda dengan matan hadis Washil bin Abdul A’la. Hadis
riwayat Baihaqi di atas yang mengandung lafaz “wahai penduduk irak” adalah matan hadis Abdullah bin Umar bin Aban sedangkan matan hadis Washil bin Abdul A’la tidak ada lafaz “wahai penduduk irak”. Buktinya adalah apa yang tertera dalam Musnad Abu Ya’la
حدثنا واصل بن عبد الأعلى الكوفي حدثنا ابن فصيل عن ابيه عن سالم عن ابن عمر قال سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم – يقول : إن الفتنة تجيء من ها هنا وأومأ بيده نحو المشرق حيث يطلع قرن الشيطان وأنتم يضرب بعضكم بعض رقاب بعض وإنما قتل موسى الذي قتل من آل فرعون خطأ قال الله له : { وقتلت نفسا فنجيناك من الغم وفتناك فتونا }
Telah menceritakan kepada kami Washil bin Abdul A’la Al Kufiy
yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudhail dari ayahnya
dari Salim dari Ibnu Umar yang berkata aku mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “‘Sesungguhnya fitnah itu datang
dari sini ia menunjukkan tangannya ke arah timur dari arah munculya dua
tanduk setan’. Kalian saling menebas leher satu sama lain. Musaa hanya
membunuh orang yang ia bunuh yang berasal dari keluarga Fir’aun itu
karena tidak sengaja. Lalu Allah ‘azza wa jalla berfirman padanya ‘Dan
kamu pernah membunuh seorang manusia, lalu kami selamatkan kamu dari
kesusahan dan Kami telah mencobamu dengan beberapa cobaan.” [Musnad Abu Ya’la 9/383 no 5511 dishahihkan oleh Husain Salim Asad]
حدثنا عبد الله بن عمر بن أبان حدثنا محمد فضيل عن أبيه قال : سمعت سالم بن عبد الله بن عمر يقول يا أهل العراق ما أسألكم عن الصغير وأترككم للكبير ! ! سمعت أبي عبد الله بن عمر يقول : سمعت رسول الله ـ صلى الله عليه و سلم ـ يقول : الفتنة تجيء من ها هنا ـ وأومأ بيده نحو المشرق ـ وأنتم يضرب بعضكم رقاب بعض وإنما قتل موسى ـ صلى الله عليه و سلم ـ الذي قتل من آل فرعون خطأ قال الله { وقتلت نفسا فنجيناك من الغم وفتناك فتونا }
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Umar bin Aban
yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail dari
ayahnya yang berkata aku mendengar Salim bin Abdullah bin Umar berkata “Wahai penduduk ‘Iraaq, aku tidak bertanya tentang masalah kecil dan aku tidak mendorong kalian untuk masalah besar.
Aku pernah mendengar ayahku, Abdullah bin ‘Umar berkata Aku pernah
mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa salam bersabda
‘Sesungguhnya fitnah itu datang dari sini ia menunjukkan tangannya ke
arah timur dari arah munculya dua tanduk setan’. Kalian saling menebas
leher satu sama lain. Musaa hanya membunuh orang yang ia bunuh yang
berasal dari keluarga Fir’aun itu karena tidak sengaja. Lalu Allah ‘azza
wa jalla berfirman padanya ‘Dan kamu pernah membunuh seorang manusia,
lalu kami selamatkan kamu dari kesusahan dan Kami telah mencobamu dengan
beberapa cobaan.” [Musnad Abu Ya’la 9/420 no 5570 dishahihkan oleh Husain Salim Asad]
Perhatikanlah riwayat Baihaqi sebelumnya,
Abu Ya’la menggabungkan sanad hadis dimana ia mengambil hadis tersebut
dari kedua syaikhnya yaitu Abdullah bin Umar bin Aban dan Washil bin
Abdul A’la kemudian meriwayatkan dengan satu matan yang ada lafaz “wahai
penduduk Iraq”. Lafaz ini berasal dari Abdullah bin Umar bin Aban
sedangkan pada riwayat Washil bin Abdul A’la tidak ada lafaz tersebut.
Ini contoh nyata kalau seorang perawi bisa saja menggabungkan sanad para
syaikhnya dan membawakan matan salah satu syaikhnya saja. Seandainya
ini seandainya lho, Abdullah bin Umar bin Aban ini dhaif maka lafaz
tersebut “wahai penduduk Irak…” adalah dhaif. Tidak bisa dikatakan kalau
Washil bin ‘Abdul A’la menjadi saksi atas lafaz tersebut karena matan
hadis Washil tidak memuat lafaz yang dimaksud.
Kembali ke riwayat Ibnu Syawdzab dari ketiga syaikh-nya maka kami katakan tidak ada penjelasan dari Ibnu Syawdzab kalau lafaz tersebut milik syaikh-nya yang mana.
Bisa saja memang dari ketiga syaikh-nya tetapi bisa saja dari salah
satu syaikhnya. Poin kami disini kemungkinan dhaif itu ada apalagi Ibnu Syawdzab terbukti melakukan tadlis
maka bisa saja disini lafaz matan itu milik Mathar Al Waraaq tetapi
Ibnu Syawdzab menggabungkan sanadnya dengan syaikh-nya yang lain.
Anehnya, ada metode pilih-pilih perawi saat orang itu berkata : Terdapat kemungkinan kalau riwayat Ibnu Syawdzab dengan lafaz Iraq ini berasal dari Mathar bin Thahman Al Warraq dan disebutkan Ibnu Hajar kalau ia seorang yang shaduq tetapi banyak melakukan kesalahan [At Taqrib 2/187]. Mengapa harus Mathar bin Thahmaan ? Ya, karena ia adalah perawi yang paling mungkin untuk dijadikan alasan pendla’ifan. Padahal, sanad hadits itu satu, dimana Mathar ini diikuti (punya mutaba’ah) dari ‘Abdullah bin Al-Qaasim dan Katsiir bin Ziyaad Abu Sahl.
Lucu sekali salafy ini, kami telah panjang lebar menjelaskan dan jelas-jelas kami katakan disitu terdapat kemungkinan kalau lafaz tersebut berasal dari Mathar Al Warraq. Kami tidak berani memastikan tetapi kami menunjukkan kemungkinan ini apalagi telah kami kutip perkataan Abu Nu’aim
كذا رواه ضمرة عن ابن شوذب عن توبة ورواه الوليد بن مزيد عن ابن شوذب عن مطر عن توبة
Begitulah riwayat Dhamrah dari Ibnu
Syawdzab dari Taubah dan telah meriwayatkan Walid bin Mazyad dari Ibnu
Syawdzab dari Mathar dari Tawbah [Hilyatul Auliya 6/133]
Perhatikan baik-baik disini Abu Nu’aim
hanya menyebutkan Mathar padahal setelah itu ia menyebutkan hadis Ibnu
Syawdzab dari ketiga syaikh-nya. Mengapa Abu Nu’aim hanya menyebutkan
Mathar dalam komentarnya di atas?. Mengapa Abu Nu’aim tidak menyebutkan
Abdullah bin Qasim dan Katsir Abu Sahl?. Abu Nu’aim pilih-pilih perawi?.
Bagi kami disini terdapat isyarat kalau matan tersebut adalah milik
Mathar Al Warraq. Kemungkinan dhaif yang kami paparkan disini menjadi
illat [cacat] karena hadis ini bertentangan dengan hadis shahih kalau
tempat keluarnya fitnah tersebut adalah Najd. Jadi pada awalnya kami
menganggap hadis Iraq matannya mungkar sehingga kemungkinan dhaif atau
illat yang seperti itu sudah cukup menjadi alasan kalau hadis tersebut
tidak bisa dijadikan hujjah
.
.
Hadis Salim bin ‘Abdullah bin Umar
حدثنا عبدالله بن عمر بن أبان وواصل بن عبدالأعلى وأحمد بن عمر الوكيعي ( واللفظ لابن أبان ) قالوا حدثنا ابن فضيل عن أبيه قال سمعت سالم بن عبدالله بن عمر يقول يا أهل العراق ما أسألكم عن الصغيرة وأركبكم للكبيرة سمعت أبي عبدالله بن عمر يقول سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول إن الفتنة تجئ من ههنا وأومأ بيده نحو المشرق من حيث يطلع قرنا الشيطان وأنتم يضرب بعضكم رقاب بعض وإنما قتل موسى الذي قتل من آل فرعون خطأ فقال الله عز و جل له { وقتلت نفسا فنجيناك من الغم وفتناك فتونا } [ 20 / طه / 40 ] قال أحمد بن عمر في روايته عن سالم لم يقل سمعت
Telah menceritakan kepada kami
‘Abdullah bin ‘Umar bin Abaan, Waashil bin ‘Abdul A’laa, dan Ahmad bin
‘Umar Al Wakii’iy [dan lafaznya adalah lafaz Ibnu Abaan] ketiganya
berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudlail, dari ayahnya yang
berkata Aku mendengar Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar berkata “Wahai penduduk ‘Iraaq, aku tidak bertanya tentang masalah kecil dan aku tidak mendorong kalian untuk masalah besar.
Aku pernah mendengar ayahku, Abdullah bin ‘Umar berkata Aku pernah
mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa salam bersabda
‘Sesungguhnya fitnah itu datang dari sini ia menunjukkan tangannya ke
arah timur dari arah munculya dua tanduk setan’. Kalian saling menebas
leher satu sama lain. Musaa hanya membunuh orang yang ia bunuh yang
berasal dari keluarga Fir’aun itu karena tidak sengaja. Lalu Allah ‘azza
wa jalla berfirman padanya ‘Dan kamu pernah membunuh seorang manusia,
lalu kami selamatkan kamu dari kesusahan dan Kami telah mencobamu dengan
beberapa cobaan.” [Thaahaa: 40]”. Berkata Ahmad bin Umar dalam
riwayatnya dari Salim tanpa mengatakan “aku mendengar” [Shahih Muslim 4/2228 no 2905].
Hadis ini shahih dan menunjukkan kalau
Salim bin ‘Abdullah bin Umar sedang mengingatkan penduduk Iraq atas
sikap mereka. Perhatikan baik-baik perkataan Salim terhadap penduduk
Iraq hanya berupa kata-kata “Wahai penduduk ‘Iraaq, aku tidak bertanya tentang masalah kecil dan aku tidak mendorong kalian untuk masalah besar”
selebihnya ia menyebutkan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
tentang fitnah sampai akhir hadis. Jadi sangat wajar kalau kami katakan
Salim sedang mengingatkan atas sikap penduduk Irak karena sikap mereka
tersebut dapat menimbulkan fitnah.
Adapun perkataannya bahwa perkataan tabi’in tidak menjadi hujjah, maka ini bukan konteksnya. Konteks yang berlaku di sini adalah perkataan Saalim diterima dalam penafsiran hadits. Asal perkataan perawi terhadap hadits yang dibawakannya lebih didahulukan daripada selainnya. Ini yang ma’ruf.
Silakan saja, sebagai suatu penafsiran
maka itu mengandung kemungkinan benar atau salah. Apalagi jika hadis
yang dimaksud terkait dengan ramalan maka penafsiran Salim tidak
bersifat mutlak. Kaidah perkataan perawi terhadap hadis yang dibawakannya lebih didahulukan
jelas tidak relevan disini karena perkara yang ada dalam hadis Salim
adalah Nubuwat atau ramalan, bisa jadi si perawi kurang memahami hadis
tersebut karena dimasa ia hidup belum nampak nubuwatnya. Diketahui dari
hadis shahih yang diriwayatkan oleh Salim sendiri bahwa arah timur yang
dimaksud dalam hadis tanduk setan adalah arah matahari terbit sedangkan Irak tidak terletak pada arah matahari terbit dari Madinah.
Berdasarkan fakta yang ada sekarang Irak terletak di arah timur laut
yang lebih dekat ke utara dari Madinah. Sejak kapan matahari terbit dari
arah ini di madinah. Silakan bagi siapa yang berminat untuk pergi ke
Madinah dan lihat dimana arah matahari terbit disana, kemudian teruslah
berjalan menelusuri arah itu. Apakah akan sampai di Irak? silakan
pembaca menjawabnya sendiri.
Lagipula terdapat hadis lain riwayat Nafi
dari Ibnu Umar kalau tempat yang dimaksud adalah Najd dan ini sesuai
dengan hadis Salim bahwa tempat tersebut terletak pada arah matahari
terbit dari Madinah. Jadi bisa saja Salim tidak mengetahui dengan tepat
arah yang dimaksud [karena keterbatasan ilmu alam saat itu] dan bisa
saja Salim tidak mengetahui hadis Najd yang diriwayatkan oleh Nafi’.
Yang ia tahu adalah hadis dengan lafaz timur sehingga ia menafsirkan
timur disini bisa termasuk Irak. Oleh karena itu kami katakan perkataan
tabiin tidak menjadi hujjah disini karena yang menjadi hujjah adalah
hadis shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Terakhir ada hadis pamungkas yang dijadikan hujjah oleh salafiyun bahwa
timur yang dimaksud Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Iraq.
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا بن نمير ثنا حنظلة عن سالم بن عبد الله بن عمر عن بن عمر قال رأيت رسول الله صلى الله عليه و سلم يشير بيده يؤم العراق ها ان الفتنة ههنا ها ان الفتنة ههنا ثلاث مرات من حيث يطلع قرن الشيطان
Telah menceritakan kepada kami
‘Abdullah telah menceritakan kepadaku ayahku [Ahmad bin Hanbal] yang
berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair yang berkata telah
menceritakan kepada kami Hanzalah dari Salim bin ‘Abdullah bin Umar dari
Ibnu Umar yang berkata “aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam mengisyaratkan tangannya ke Iraq [dan bersabda] “fitnah datang dari sini, fitnah datang dari sini, tiga kali dari arah munculnya tanduk setan” [Musnad Ahmad 2/143 no 6302]
Hadis ini khata’ [salah] dan
kesalahan ini kemungkinan berasal dari Ibnu Numair [atau bisa saja
terjadi tashif]. Telah diriwayatkan dari Salim, Nafi dan Abdullah bin
Dinar dari Ibnu Umar semuanya dengan lafaz timur dan telah diriwayatkan dari jama’ah tsiqat dari Salim hadis tersebut semuanya dengan lafaz “timur” bukan Iraq bahkan Hanzalah bin Abi Sufyan sendiri juga meriwayatkan dari Salim hadis dengan lafaz timur.
Disebutkan dalam Shahih Muslim 4/2228 no 2905 dan Musnad Ahmad 2/40 no
4980 riwayat Ishaq bin Sulaiman dari Hanzalah bin Abi Sufyan dari Salim
dari ayahnya secara marfu’ dengan lafaz timur
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا إسحاق بن سليمان سمعت حنظلة سمعت سالما يقول سمعت عبد الله بن عمر يقول رأيت رسول الله صلى الله عليه و سلم يشير إلى المشرق أو قال إن رسول الله صلى الله عليه و سلم يشير إلى المشرق يقول ها إن الفتنة ههنا ها إن الفتنة ههنا ها إن الفتنة ههنا من حيث يطلع الشيطان قرنيه
Telah menceritakan kepada kami
‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku ayahku yang berkata
telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Sulaiman yang berkata aku
mendengar Hanzalah berkata aku mendengar Salim berkata aku mendengar
Abdullah bin Umar berkata “aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam mengisyaratkan tangannya ke arah timur atau [Ibnu Umar] berkata
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengisyaratkan tangannya ke arah timur dan bersabda “ fitnah datang dari sini, fitnah datang dari sini, fitnah datang dari sini dari arah munculnya tanduk setan” [Musnad Ahmad 2/40 no 4980]
Riwayat Ishaq bin Sulaiman Ar Razi dari
Hanzalah ini sesuai dengan riwayat shahih yang lain dimana disebutkan
dengan lafaz timur. Ishaq bin Sulaiman adalah seorang yang tsiqat dan
memiliki keutamaan [At Taqrib 1/81] sedangkan Abdullah bin Numair adalah
seorang yang tsiqat [At Taqrib 1/542]. Jadi riwayat Ishaq bin Sulaiman
dari Hanzalah lebih didahulukan daripada riwayat Ibnu Numair.
Selain itu bukti kalau hadis ini khata’
adalah pada hadis Muslim dimana Salim mengingatkan penduduk Iraq, Salim
sendiri tidak mengutip hadis ini padahal hadis ini mengandung lafaz
Iraq. Salim malah membawakan hadis dengan lafaz timur yang menunjukkan
bahwa lafaz timur itulah yang tsabit sedangkan lafaz Iraq adalah
kesalahan dari perawinya. Bukankah kalau mau mengingatkan penduduk Irak
maka digunakan hadis yang memang menunjukkan kata Irak. Ada baiknya
salafy itu melihat hadis berikut
حدثنا موسى بن إسماعيل حدثنا جويرية، عن نافع، عن عبد الله رضي الله عنه قال قام النبي صلى الله عليه وسلم خطيبا، فأشار نحو مسكن عائشة، فقال هنا الفتنة – ثلاثا – من حيث يطلع قرن الشيطان
Telah menceritakan kepada kami Musa
bin Ismail yang berkata telah menceritakan kepada kami Juwairiah dari
Nafi’ dari ‘Abdullah radiallahu’anhu yang berkata Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam berdiri menyampaikan khutbah kemudian Beliau berisyarat menunjuk tempat tinggal Aisyah dan berkata “disini fitnah” tiga kali dari arah munculnya tanduk setan [Shahih Bukhari no 2937]
Hadis dengan lafaz seperti ini anehnya
ditolak oleh para salafiyun dengan alasan telah diriwayatkan oleh
jama’ah dengan lafaz timur dan itulah yang tsabit. Pada hadis ini
dikatakan kalau yang sebenarnya ditunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam adalah arah timur. Kalau tempat tinggal Aisyah yang sangat
dekat itu saja bisa terjadi salah persepsi maka apalagi hadis dengan
lafaz Iraq. Karena telah ma’ruf bahwa Iraq itu terletak sangat jauh dari
Madinah. Jadi jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengarahkan
tangannya ke suatu arah maka yang dipersepsi oleh mereka yang melihat
adalah arah seperti arah timur atau barat. Jika memang tempatnya dekat
seperti rumah Aisyah ra, rumah Hafsah ra atau rumah salah satu sahabat
ra maka mereka yang melihat dapat mengetahui bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam memang menunjuk ke tempat tersebut. Tetapi jika tempat
yang dimaksud adalah Iraq yang jauh sekali dari Madinah, bagaimana
mungkin orang tahu kalau yang ditunjuk oleh Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam adalah Iraq padahal dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam tidak ada disebutkan Iraq, disinilah keanehan lafaz
tersebut. Sudah jelas bahwa hadis-hadis shahih dari Ibnu Umar [termasuk
riwayat Salim] menyebutkan kalau Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
mengisyaratkan tangannya ke arah timur dan timur yang dimaksud disini
adalah arah matahari terbit arah munculnya tanduk setan dan sekali lagi
Irak tidak terletak pada arah matahari terbit dari Madinah.
Soal pernyataan salafy bahwa para ulama
terdahulu menjelaskan kalau tempat yang dimaksud adalah Irak maka kami
katakan terdapat juga ulama yang mengatakan kalau tempat yang ada pada
hadis fitnah itu adalah tepat di timur Madinah termasuk Najd. Kami
sebelumnya sudah mengutip pernyataan Ibnu Hibban
dimana ia setelah mengutip hadis tanduk setan menyebutkan kalau timur
yang dimaksud adalah timur madinah yaitu bahrain tempat keluarnya
Musailamah yang pertama kali membuat bid’ah di dalam islam dengan
mengaku sebagai Nabi [Shahih Ibnu Hibban 15/24 no 6648]
.
.
.
Kesimpulan
Kesimpulannya hadis
tanduk setan dengan lafaz Iraq tidaklah shahih baik dari segi matan
maupun sanad, sebagiannya dhaif dan sebagian mengandung illat.
Seandainya kita menutup mata terhadap illat [cacat] tersebut, itu tetap
saja tidak mendukung hujjah salafy. Karena itu berarti ada dua hadis
yang menunjukkan tempat munculnya fitnah yaitu Najd dan Irak. Jika kedua
hadis tersebut diterima maka ada dua tempat dimana munculnya fitnah
yang dimaksud oleh hadis tersebut yaitu Najd dan Irak. Sedangkan logika salafy kalau Najd adalah Irak
sudah jelas fallacy. Adakah salafy memahami hal ini? Tidak tidak dan
tidak, sejak kapan salafy bisa memahami logika berpikir yang baik.
Kebanyakan mereka hanya sibuk membaca kitab dan sibuk membantah
disana-sini tapi cara berpikir benar tidak dipelajari dengan baik.
Akibatnya sangat susah berdialog dengan mereka yang ngaku-ngaku salafy,
sudah ditunjukkan kalau mereka fallacy ya tetap tidak paham dan
berulang-ulang mereka membantah kembali hal yang sama. Salam Damai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon tinggalkan pesan dan komentar anda...