BUKAN FITNAH, TAPI BUKTI ILMIAH!
Oleh: Syaikh Idahram
Dusta Firanda
ke-1, Firanda
Andirja Abidin dalam bukunya berjudul “Sejarah Berdarah Sekte Syi’ah,
Membongkar Koleksi Dusta Syaikh Idahram” berkata:[1]
“Sungguh terlalu banyak fitnah dan
tuduhan dusta yang telah dilontarkan kepada beliau (pendiri Wahabi, Ibnu Abdul
Wahab). Di antara tuduhan yang santer ditempelkan kepada beliau, yaitu sebagai
berikut:
a. Tuduhan bahwasanya beliau telah mengkafirkan seluruh umat Islam yang tidak
sepaham dengan beliau.”[2]
Ternyata Firanda tidak jujur dengan apa yang telah dia
baca dari buku-buku pendiri Salafi Wahabi, Ibnu Abdul Wahab. Padahal dirinya
mengaku telah membaca buku-buku tersebut!
Mari kita buka bersama-sama buku-buku karya Ibnu Abdul
Wahab, untuk membuktikan benarkah perkataan Firanda di atas, atau hanya dusta
belaka:
1. Buku
berjudul Muallafat asy-Syaikh al-Imam
Muhammad ibni Abdil Wahhab (tulisan-tulisan asy-Syaikh
al-Imam Ibnu Abdul Wahab) yang disusun oleh Abdul Aziz ibnu Zaid dkk.,
diterbitkan oleh Universitas Muhammad ibnu Saud al-Islamiyah, Riyad, Saudi
Arabia, pada halaman 186-187:
Di bawah ini hasil scan
teksnya dari buku di atas:
“Bismillaahi r-rahmaani r-rahiim. Dari muhammad ibnu Abdul
Wahab kepada orang Islam yang sampai kepadanya suratku ini. Salâmun ‘alaikum warahmatullâh
wabarakâtuh...
(lalu pada baris ke-15 Ibnu Abdul Wahab berkata, pen.) Aku beritahukan kepada kalian semua mengenai diriku. Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia, sesungguhnya aku telah menuntut ilmu dan orang-orang yang mengenalku meyakini bahwa aku mempunyai ilmu ma’rifat. Aku pada waktu itu tidak mengetahui makna lâ ilâha illallâh (dengan benar), dan aku tidak mengetahui agama Islam (dengan benar) sebelum kebaikan yang Allah berikan ini. Begitu juga dengan guru-guruku tidak ada seorang pun di antara mereka yang mengetahui itu. Maka siapa saja dari ulama yang telah ada (jika dia) mengklaim bahwa dirinya mengetahui makna lâ ilâha illallâh, ataupun (mengklaim) mengetahui makna Islam sebelum waktu ini, ataupun mengklaim salah seorang dari para gurunya mengetahui itu (yakni makna lâ ilâha illallâh), maka sesungguh orang itu telah berdusta, mengada-ada, dan mengelabui orang-orang, serta memuji diri sendiri dengan sesuatu yang tidak ada padanya.”[1]
2. Kitab ad-Durar
as-Saniyyah fi al-Ajwibah an-Najdiyah, berupa kumpulan tulisan-tulisan pendiri Wahabi dan
ulama-ulamanya yang disusun oleh Abdurrahman ibnu Muhammad ibnu Qasim
al-Hanbali an-Najdi, jilid 10, pada halaman 51:
(lalu pada baris ke-15 Ibnu Abdul Wahab berkata, pen.) Aku beritahukan kepada kalian semua mengenai diriku. Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia, sesungguhnya aku telah menuntut ilmu dan orang-orang yang mengenalku meyakini bahwa aku mempunyai ilmu ma’rifat. Aku pada waktu itu tidak mengetahui makna lâ ilâha illallâh (dengan benar), dan aku tidak mengetahui agama Islam (dengan benar) sebelum kebaikan yang Allah berikan ini. Begitu juga dengan guru-guruku tidak ada seorang pun di antara mereka yang mengetahui itu. Maka siapa saja dari ulama yang telah ada (jika dia) mengklaim bahwa dirinya mengetahui makna lâ ilâha illallâh, ataupun (mengklaim) mengetahui makna Islam sebelum waktu ini, ataupun mengklaim salah seorang dari para gurunya mengetahui itu (yakni makna lâ ilâha illallâh), maka sesungguh orang itu telah berdusta, mengada-ada, dan mengelabui orang-orang, serta memuji diri sendiri dengan sesuatu yang tidak ada padanya.”[1]
Kitab ad-Durar as-Saniyyah ini, dapat diunduh di alamat:
http://www.waqfeya.com/book.php?bid=7836
Gambar di bawah ini versi
Maktabah Syamilahnya:
Inilah teks Ibnu Abdul Wahab dalam
kitab ad-Durar as-Saniyyah yang
isinya mengkafirkan banyak orang:
Aku beritahukan
kepada kalian semua mengenai diriku. Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain
Dia, sesungguhnya aku telah menuntut ilmu dan orang-orang yang mengenalku
meyakini bahwa aku mempunyai ilmu ma’rifat. Aku pada waktu itu tidak mengetahui
makna lâ ilâha illallâh (dengan
benar), dan aku tidak mengetahui agama Islam (dengan benar) sebelum kebaikan
yang Allah berikan ini. Begitu juga
dengan guru-guruku tidak ada seorang pun di antara mereka yang mengetahui
itu. Maka siapa saja dari ulama yang telah ada (jika dia) mengklaim
bahwa dirinya mengetahui makna lâ ilâha
illallâh, ataupun (mengklaim) mengetahui makna Islam sebelum waktu ini,
ataupun mengklaim salah seorang dari para gurunya mengetahui itu (yakni makna lâ ilâha illallâh), maka sesungguh orang
itu telah berdusta, mengada-ada, dan mengelabui orang-orang, serta memuji diri
sendiri dengan sesuatu yang tidak ada padanya.”[1]
Pembaca budiman, apakah perkataan
pendiri Wahabi di atas bukan bentuk pengkafiran kepada seluruh umat Islam yang
tidak sepaham dengan beliau?! Sungguh itu pengkafiran nyata!
Dari
perkataannya itu jelas, Ibnu Abdul Wahab telah melakukan beberapa kesalahan
fatal, di antaranya adalah:
a. Mengaku
hanya dirinya yang memahami konsep Tauhid dari kalimat lâ ilâha illallâh dan telah mengenal Islam dengan sempurna.
b. Menuduh
para ulama lain tidak memahami konsep Tauhid dan telah menyebarkan ajaran Islam
secara sesat.
c. Hanya
dirinya yang mendapat anugerah khusus Ilahi itu, dan hanya dirinya pulalah yang
berhak mendapat pujian, baik di dunia maupun di akhirat. Karena menurutnya,
mustahil jika kebatilan akan memberikan keselamatan sejati di akhirat.
d. Semua
ulama dari sejak zaman Nabi s.a.w. sampai sebelum dirinya mendapat makrifat
khusus –yakni selama 12 abad berlalu– adalah sesat dalam berakidah, sehingga
mereka semua adalah orang-orang kafir karena tidak paham makna Lâ ilâha Illallaâh, termasuk juga
dirinya sendiri adalah kafir sebebelum dia mendapat ilmu ma’rifat dari
Allah.
Jika kita
berpikir, masuk akalkah pernyataan pendiri Wahabi ini? Dia mengatakan, selama
berabad-abad lamanya tidak ada seorang pun yang paham tentang makna lâ ilâha illallâh sampai dirinya datang,
yang dengan itu dia mengkafirkan semua orang yang tidak sejalan dengannya.
Tidak adakah satu ulama saja yang mengerti syahadat, baik sebelum dirinya
maupun yang sezaman dengannya, yang rentang waktu itu sangatlah panjang? Tidak
adakah satu pun ulama Mesir, Yaman, Syam (Palestina, yordania, Syiria, dan
sekitarnya), Irak, Maghrib, atau yang lainnya?
Berarti
para Sahabat Nabi s.a.w., Tabi’in, Tabi’ Tabi’in, dan ulama-ulama yang hidup
setelahnya juga adalah sesat, hingga kedatangan Muhammad ibnu Abdul Wahab di abad
ke 12 Masehi? Maasya Allaah! Juga berarti, seluruh masyarakat
muslim baik dari kalangan ulamanya maupun dari kalangan awamnya adalah, kafir
sebelum kedatangan dirinya?! Termasuk guru-gurunya dan para ulama terdahulu
yang sudah mengamalkan Islam sebelum ajarannya timbul!
Jika begitu, sungguh ‘benar’ klaim Ibnu Abdul Wahab itu,
karena memang para ulama terdahulu tidak pernah memiliki pemahaman menyimpang
seperti pemahaman dirinya. Bukankah Nabi s.a.w. telah menjamin, umatnya secara
umum tidak akan menjadi musyrik sebagaimana dalam sabdanya:
"إِنِّي أُعْطِيتُ مَفَاتِيحَ خَزَائِنِ
الْأَرْضِ أَوْ مَفَاتِيحَ الْأَرْضِ وَإِنِّي وَاللَّهِ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ أَنْ
تُشْرِكُوا بَعْدِي وَلَكِنْ أَخَافُ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنَافَسُوا فِيهَا." (رواه
البخاري ومسلم وأحمد والبيهقي والطبراني وابن حبان وغيرهم)
“Sesungguhnya aku telah diberikan berbagai kunci gudang-gudang
dunia atau kunci-kunci dunia, dan sesungguhnya aku tidak takut (sama sekali)
kalian akan musyrik setelahku, namun yang aku takutkan terhadap kalian adalah
kalian memperebutkan dunia.” (HR. Bukhari,
Muslim, Ahmad, Baihaqi, Thabarani Ibnu Hibban dan lainnya)[2]
“لاَ تَجْتَمِعُ أُمَّتِي عَلَى
ضَلَالَةٍ.” (رواه الترمذي والبيهقي وغيرهم)
“(Ulama) umatku tidak akan berkumpul dalam kesesatan.” (HR. Tirmidzi, Baihaqi dan lainnya)[3]
Lalu, bagaimana mungkin para
ulama Islam sepakat dalam kemusyrikan dan kekafiran seperti dakwaan Ibnu Abdul
Wahab, yang itu sangat bertentangan dengan hadis Nabi s.a.w. di atas? Bahkan
Nabi s.a.w. telah menjamin, umatnya tidak akan terjerumus ke dalam kemusyrikan
global, sebagaimana tuduhan pendiri Wahabi bahwa, mayoritas umat Islam di dunia
telah musyrik dan kafir kecuali paham yang diusung olehnya. Lantas jika begitu,
ajaran siapakah yang diikuti oleh pendiri Salafi Wahabi?
BERSAMBUNG...
[1] Muhammad ibnu Abdul Wahab dkk., ad-Durar
as-Saniyyah fi al-Ajwibah an-Najdiyah, disusun oleh
Abdurrahman ibnu Muhammad ibnu Qasim al-Hanbali an-Najdi, Dar al-Qasim, jilid
10, cet. Ke-5, hal. 51.
[2] Shahih al-Bukhari, bab ash-Shalah
‘ala asy-Syahid 5/124 no. 1258, bab Ahad Yuhibbuna wa Nuhibbuh
12/487 no. 3776, bab Ma Yuhadzdzar min Zahrah ad-Dunya 20/52 no. 5946,
bab fi al-Haudh 20/253 no. 6102. Shahih Muslim, bab Itsbat Haudh Nabiyyina
11/415 no. 4248, 4249. Musnad Ahmad, bab Hadits Uqbah ibnu ‘Amir al-Juhni
35/215 no. 16705, 266. al-Baihaqi, as-Sunan al-Qubra 4/14. Thabarani,
al-Mu’jam al-Kabir bab 4, 12/243 no. 14185, 14188, 14189. Shahih Ibnu
Hibban, bab Fashl fi asy-Syahid 13/393 no. 3267, 3268.
[3] Kementerian Urusan Islam, Wakaf, Dakwah
dan Bimbingan, Kerajaan Saudi Arabia, Ushul al-Iman fi Dhau`i al-Kitab wa As-Sunnah,
tulisan sekumpulan ulama, cet. ke-1, www.al-islam.com, jilid 1 h. 395. Ibnu
Taimiyah, Iqtidha ash-Shirath al-Mustaqim, cet. ke-7, Dar Alam al-Kutub 1419 H/1999 M. (Versi Maktabah
Syamilah). Ahmad ibnu Athiyyah ibnu Ali al-Ghamidi, al-Baihaqi wa Mauqifuh mi al-Ilahiyyat, disertasi
doktoral Kuliyah Syariah dan Islamic Studies Univ. King Abdul Aziz, diterbitkan
oleh Bidang Kajian Ilmiah Jamiah Islamiyah Madinah, 1423 H/2992 M., h. 152.
[1] Muhammad ibnu Abdul Wahab, Muallafâtu sy-syeikh Muhammadi bni Abdil Wahhâb, disusun oleh Abdul Aziz ibnu Zaid ar-Rumi dkk, diterbitkan oleh Universitas Muhammad ibnu Saud al-Islamiyah, Riyadh, Saudi Arabia, jilid ke-7, pada bagian kelima: ar-Rasail asy-Syakhsiyyah, h. 186-187.
[1] Buku tersebut diterbitkan oleh penerbit Salafi Wahabi bernama Penerbit
Naashirussunnah tahun 2012, tanpa alamat penerbit. Penerbit yang sama juga
telah menerbitkan buku senada atas nama Majelis Ulama Indonesia dengan judul
“Mengenal & Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia” dengan tulisan di
cover bagian atasnya “Buku Panduan Majelis Ulama Indonesia”, juga tanpa alamat
penerbit.
[2] Firanda Andirja Abidin, Sejarah Berdarah Sekte Syiah, Membongkar
Koleksi Dusta Syaikh Idahram, Naashirusunnah, tanpa alamat penerbit, cet.
Ke-1, 2012, hal. xvii.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon tinggalkan pesan dan komentar anda...