Assad bersama Tentara Arab Suriah |
Di Libanon, misalnya, blok politik pendukung teroris telah mengambil prakarsa agresif untuk mendukung aksi-aksi terorisme dengan sumber daya manusia dan logistik yang massif sejak hari-hari pertama krisis politik di Suriah. Sejumlah media massa nasional Libanon sejak awal mengumumkan perang atas rezim Bashar Assad. Media yang sama kemudian mulai membeber prediksi bahwa masa kekuasaan Assad akan berakhir dalam dua atau tiga bulan.
Tidak lebih. Lalu para komentator dalam acara-acara itu mengumbar ancaman dan prediksi suram poros Iran-Suriah-Hizbullah pasca kejatuhan Assad.
Dari sejak itu pula media massa pro teroris Suriah terus mencuci otak publik dunia dengan propaganda yang, seperti tombak bermatalamat dua, menyerang Hizbullah dengan harapan kelompok perlawanan tercekam dan menggigil ketakutan. Degungnya membesar di tengah aksi pengusiran, penculikan, pembantaian, dan pembakaran rumah-rumah warga Syiah simpatisan Hizbullah yang tinggal di wilayah perbatasan Suriah-Libanon, tepatnya di wilayah Qusair.
Dalam berbagai kesempatan, Sekjen Hizbullah, Sayyid
Hasan Nashrallah, mengajak seluruh pihak yang bertikai untuk
menyelesaikan konflik di Suriah lewat negosiasi dan kompromi politik.
Dengan berbagai pertimbangan matang, dia berpendapat tak ada solusi militer atas krisis politik di Suriah. Namun, tampaknya, ajakan bijak ini ditanggapi secara keliru kelompok teroris-takfiri dan para pendukungnya di kawasan (Arab dan Turki) dan Barat (AS, Israel dan Eropa). Mereka mengira ajakan perdamaian itu isyarat kelemahan dan ungkapan kekalahan.
Maka itu, seiring berjalannya waktu, wilayah Qusair yang berbatasan dengan Bekaa dan Hermel yang dihuni oleh mayoritas Syiah justru dijadikan sebagai markas militer Jabhat An-Nusra. Tidak hanya itu, tiap hari kelompok takfiri ini tak henti-hentinya memprovokasi para penduduk Syiah di kota-kota perbatasan dengan berbagai ujaran kebencian dan aksi teror. Tiap pekan satu dua mortir ditembakkan oleh jaringan teroris ke salah satu kota di wilayah Bekaa yang menampung ribuan pengungsi Syiah yang terusir dari Qusair.
Setelah provokasi yang bertubi-tubi, kembali Sayyid Nashrullah muncul di televisi memperingatkan kelompok teroris dan pendukungnya agar tidak mengganggu warga yang tidak bersenjata hanya karena perbedaan pandangan politik. Tapi, tampaknya, tiap kali Sekjen Hizbullah itu muncul mengemukakan pesan, media pendukung teroris selalu menemukan cara untuk memutarbalik fakta dan mengeskalasi ketegangan. Keadaan ini kemudian diperburuk dengan munculnya ustadz-ustadz karbitan yang tiap Jum’at naik mimbar untuk mengobarkan semangat jihad melawan kaum "kafir Syiah" di Suriah, khususnya di wilayah Qusair dan menuduh Hizbullah ikut berperang di sana membela rezim Assad.
Dan akhirnya, sejak akhir April silam, Tentara Arab Suriah (TAS) memutuskan untuk merebut kembali kota Qusair yang strategis tersebut. Nilai strategis kota ini terletak pada posisinya yang berbatasan dengan wilayah Libanon sehingga menjadi jalur suplai logistik dan senjata yang efektif bagi manuver pemberontak di Provinsi Homs. Selain itu, kota ini juga merupakan jalur yang menghubungkan Damaskus dengan Laut Tengah. Setelah lebih dari setahun dikuasai pemberontak dan menjadi pusat penampungan, pelatihan dan penyaluran teroris anti Damaskus, jatuhnya kota ini dapat dianggap sebagai salah satu titik-balik dalam keseluruhan peta strategis peperangan selanjutnya.
Dalam beberapa pekan terakhir, TAS yang dibantu oleh kekuatan paramiliter yang disebut dengan Komite Pertahanan Sipil berhasil memukul para pemberontak dan mengepung mereka di Qusair. Kota ini secara strategis dapat dianggap telah berhasil direbut kembali oleh pemerintah Damaskus.
Pembersihan kantong-kantong teroris di dalam kota tentu membutuhkan waktu yang lebih lama, mengingat watak perang kota yang berbeda dengan perang konvensional.
Tapi sejarah telah mencatat kesigapan TAS beradaptasi dan bermetamorfosa guna meredam dengus kebiadaban teroris Suriah yang kian hari kian memperlihatkan kebangkrutan moral. Untuk yang terakhir, bisa dilihat dari kebengisan mereka memakan jantung tentara Suriah yang mereka bunuh dengan keji dan mempertontonkannya via video di Youtube sebagai bukti 'kejantanan'.
Sejarah juga bakal mencatat kalau dua tahun pertempuran absurd yang terjadi di Suriah mendatangkan berkah, berupa terbukanya mata banyak umat Islam akan sosok sejati di balik jubah Islam para pemberontak-cum-teroris di Suriah. Menggambarkan diri dan digadang-gadang pers Barat sebagai “mujahidin”, mereka sejatinya sangat berbeda dengan “mujahidin” Afghanistan di era 80-an yang mendapat dukungan penuh dari seluruh umat Islam kala itu -- meski untuk yang satu ini kemudian diketahui kalau mereka banyak dimanfaatkan oleh dinas intelijen Amerika Serikat.
Jika mau jeli, sebenarnya ada banyak faktor yang membedakan dua kelompok ini.
Pertama, mujahidin Afghanistan merupakan penduduk asli yang sedang melawan penjajah asing (Uni Soviet kala itu), sebagaimana pejuang Hizbullah melawan invasi Israel.
Kedua, mujahidin era 80-an itu tidak pernah mengumandangkan kebencian sektarian dan tidak membawa ideologi takfiri sebagaimana “mujahilin” Suriah saat ini. Para komandan mujahidin Afghanistan berasal dari berbagai mazhab dan aliran Islam yang hidup berdampingan dan saling membahu demi satu tujuan: mengusir penjajah.
Dengan berbagai pertimbangan matang, dia berpendapat tak ada solusi militer atas krisis politik di Suriah. Namun, tampaknya, ajakan bijak ini ditanggapi secara keliru kelompok teroris-takfiri dan para pendukungnya di kawasan (Arab dan Turki) dan Barat (AS, Israel dan Eropa). Mereka mengira ajakan perdamaian itu isyarat kelemahan dan ungkapan kekalahan.
Maka itu, seiring berjalannya waktu, wilayah Qusair yang berbatasan dengan Bekaa dan Hermel yang dihuni oleh mayoritas Syiah justru dijadikan sebagai markas militer Jabhat An-Nusra. Tidak hanya itu, tiap hari kelompok takfiri ini tak henti-hentinya memprovokasi para penduduk Syiah di kota-kota perbatasan dengan berbagai ujaran kebencian dan aksi teror. Tiap pekan satu dua mortir ditembakkan oleh jaringan teroris ke salah satu kota di wilayah Bekaa yang menampung ribuan pengungsi Syiah yang terusir dari Qusair.
Setelah provokasi yang bertubi-tubi, kembali Sayyid Nashrullah muncul di televisi memperingatkan kelompok teroris dan pendukungnya agar tidak mengganggu warga yang tidak bersenjata hanya karena perbedaan pandangan politik. Tapi, tampaknya, tiap kali Sekjen Hizbullah itu muncul mengemukakan pesan, media pendukung teroris selalu menemukan cara untuk memutarbalik fakta dan mengeskalasi ketegangan. Keadaan ini kemudian diperburuk dengan munculnya ustadz-ustadz karbitan yang tiap Jum’at naik mimbar untuk mengobarkan semangat jihad melawan kaum "kafir Syiah" di Suriah, khususnya di wilayah Qusair dan menuduh Hizbullah ikut berperang di sana membela rezim Assad.
Dan akhirnya, sejak akhir April silam, Tentara Arab Suriah (TAS) memutuskan untuk merebut kembali kota Qusair yang strategis tersebut. Nilai strategis kota ini terletak pada posisinya yang berbatasan dengan wilayah Libanon sehingga menjadi jalur suplai logistik dan senjata yang efektif bagi manuver pemberontak di Provinsi Homs. Selain itu, kota ini juga merupakan jalur yang menghubungkan Damaskus dengan Laut Tengah. Setelah lebih dari setahun dikuasai pemberontak dan menjadi pusat penampungan, pelatihan dan penyaluran teroris anti Damaskus, jatuhnya kota ini dapat dianggap sebagai salah satu titik-balik dalam keseluruhan peta strategis peperangan selanjutnya.
Dalam beberapa pekan terakhir, TAS yang dibantu oleh kekuatan paramiliter yang disebut dengan Komite Pertahanan Sipil berhasil memukul para pemberontak dan mengepung mereka di Qusair. Kota ini secara strategis dapat dianggap telah berhasil direbut kembali oleh pemerintah Damaskus.
Pembersihan kantong-kantong teroris di dalam kota tentu membutuhkan waktu yang lebih lama, mengingat watak perang kota yang berbeda dengan perang konvensional.
Tapi sejarah telah mencatat kesigapan TAS beradaptasi dan bermetamorfosa guna meredam dengus kebiadaban teroris Suriah yang kian hari kian memperlihatkan kebangkrutan moral. Untuk yang terakhir, bisa dilihat dari kebengisan mereka memakan jantung tentara Suriah yang mereka bunuh dengan keji dan mempertontonkannya via video di Youtube sebagai bukti 'kejantanan'.
Sejarah juga bakal mencatat kalau dua tahun pertempuran absurd yang terjadi di Suriah mendatangkan berkah, berupa terbukanya mata banyak umat Islam akan sosok sejati di balik jubah Islam para pemberontak-cum-teroris di Suriah. Menggambarkan diri dan digadang-gadang pers Barat sebagai “mujahidin”, mereka sejatinya sangat berbeda dengan “mujahidin” Afghanistan di era 80-an yang mendapat dukungan penuh dari seluruh umat Islam kala itu -- meski untuk yang satu ini kemudian diketahui kalau mereka banyak dimanfaatkan oleh dinas intelijen Amerika Serikat.
Jika mau jeli, sebenarnya ada banyak faktor yang membedakan dua kelompok ini.
Pertama, mujahidin Afghanistan merupakan penduduk asli yang sedang melawan penjajah asing (Uni Soviet kala itu), sebagaimana pejuang Hizbullah melawan invasi Israel.
Kedua, mujahidin era 80-an itu tidak pernah mengumandangkan kebencian sektarian dan tidak membawa ideologi takfiri sebagaimana “mujahilin” Suriah saat ini. Para komandan mujahidin Afghanistan berasal dari berbagai mazhab dan aliran Islam yang hidup berdampingan dan saling membahu demi satu tujuan: mengusir penjajah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon tinggalkan pesan dan komentar anda...